Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Tak Punya Senjata Nuklir Jadi Kelebihan Jokowi saat Mengunjungi Ukraina-Rusia
2 Juli 2022 13:46 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo bertolak ke Ukraina dan Rusia di tengah situasi perang. Jokowi juga menemui dan berdialog dengan Presiden Zelensky dan Presiden Putin untuk menyampaikan pesan damai.
ADVERTISEMENT
Pakar perdagangan ekonomi dunia dan politik internasional UGM, Riza Noer Arfani, menilai kunjungan Jokowi itu sangat bermakna dan berbeda dengan kunjungan pimpinan negara lain.
Menurutnya, negara-negara besar selama ini sesungguhnya telah berusaha menengahi konflik meski belum menunjukkan hasil. Di sinilah keuntungan dan kelebihan Presiden Jokowi saat melakukan kunjungan di dua negara yang tengah berkonflik.
Jokowi disebut sebagai juru damai yang tulus dan juru damai yang tidak memiliki kepentingan selain berharap agar mereka yang berkonflik segera berdamai.
Hal ini, kata Riza, berbeda dengan negara-negara besar dan negara-negara pemilik senjata nuklir yang tergabung dalam aliansi militer dan memiliki kepentingan.
“Turki pernah, Israel pernah, Perancis pernah, tetapi mereka tidak genuine. Jadi mereka memihak dan oleh karenanya dipandang dari sisi Rusia mereka dianggap tidak netral. Kita dalam posisi yang netral dan sejak awal kita memiliki konsistensi sikap yang seperti itu," ujar Riza dalam pesan tertulis, Jumat (1/7).
Selain itu, kunjungan tersebut sangat strategis karena Indonesia saat ini tengah memegang Presidensi G-20 dan sebagai upaya pemulihan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kunjungan tersebut, menurutnya, memperlihatkan keseriusan, konsistensi, sikap dan posisi Indonesia dalam menanggapi konflik yang melibatkan kedua negara dengan target adalah perundingan damai dari kedua negara.
“Saya melihat maknanya sangat strategis. Kunjungan ini bermakna bahwa Presiden Jokowi atau Indonesia serius dalam hal itu, karena semua sepakat bila Forum G-20 adalah forum ekonomi bukan forum politik," ujar Riza.
Meski mendapat kritik bahkan kecaman dari negara-negara barat karena mengundang Presiden Putin dalam Forum KTT G-20 di bulan September mendatang, Presiden Jokowi tetap pada pendirian dan jawaban bila Forum G-20 merupakan forum ekonomi. Oleh karena itu, kunjungan tersebut merupakan upaya mendamaikan dalam konteks pemulihan ekonomi.
Riza menandaskan kunjungan tersebut betul-betul bermakna dan strategis karena pemulihan ekonomi yang sudah digagas sejumlah pihak, termasuk negara anggota G-20 saat ini sangat terancam akibat peperangan. Jika kemungkinan besar perang ini akan berlangsung lama tentu akan sangat berdampak pada tiga sektor penting, yaitu sektor pangan, energi, dan sektor kesehatan.
ADVERTISEMENT
Problem pangan, kata Riza, sudah disampaikan Presiden Jokowi pada Forum G-7 bahwa persoalan ini telah mengancam negara-negara sedang berkembang. Sebab, jika rantai pasok pangan terganggu, dampaknya harga-harga bahan pokok akan naik. Kondisi tersebut tentu sangat berpengaruh pada negara-negara yang sedang berkembang.
Demikian pula soal energi yang secara perlahan berpengaruh terhadap negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia karena adanya gejolak harga minyak akibat perang. Sanksi terhadap Rusia akibat peperangan ini menimbulkan ketidakpastian harga energi global terutama minyak.
“Kalau tidak ada langkah-langkah terobosan terhadap perang ini, kemungkinan harga minyak akan terus naik, bisa menimbulkan resesi global dan stagflasi. Menimbulkan fenomena inflasi yang tinggi dibarengi dengan kemandekan ekonomi. Itu makna strategis kunjungan yang berkaitan dengan energi," jelasnya.
Sementara pada sektor kesehatan, Covid-19 memang sudah mereda kendati penyebaran virus belum sepenuhnya aman. Jika perang berlarut-larut, situasi ini tentu berpengaruh pada distribusi vaksin, apalagi di level global capaian vaksinasi masih timpang.
ADVERTISEMENT
“Ada negara-negara berkembang, negara-negara menengah bawah yang capaiannya masih di bawah 50 persen. Ini sangat berat. Jika perang terus berlanjut tentu akan berpengaruh pada program-program terkait obat untuk penanganan pandemi," paparnya.
Secara geopolitik atau situasi kawasan, menurut Riza, kunjungan Presiden Jokowi tidak akan terlalu tampak karena tanggung jawab masalah lebih banyak pada negara-negara besar. Secara geografis, Asia Tenggara atau Asia pada umumnya tidak terlalu rampak pengaruhnya di Asia, kecuali jika perang berlanjut dengan menggunakan persenjataan nuklir.
“Itu efek beratnya mungkin bisa memicu Perang Dunia ketiga. Tapi proyeksi saya itu agak jauh karena ini lebih banyak dibatasi dampaknya agar secara geografis tidak sampai meluas ke kawasan-kawasan lain," katanya.
Riza mengakui, kunjungan memang tidak bisa menghadirkan perdamaian dengan segera. Namun langkah itu setidaknya mampu menurunkan tensi ketegangan.
ADVERTISEMENT
Ia mengungkapkan kunjungan Presiden Jokowi memperlihatkan sinyal politik luar negeri Indonesia yang tetap menginginkan adanya stabilitas di kawasan internasional. Politik luar negeri Indonesia tetap menginginkan perdamaian sebagai tujuan utama.
Agenda paling penting lainnya dari kunjungan Presiden Jokowi adalah memitigasi dampak terhadap pemulihan ekonomi.
Riza optimistis hal itu bisa tercapai karena sudah ada beberapa inisiatif, misalnya dibukanya koridor untuk suplai pangan. Koridor suplai pangan yang terkait rantai pasok pangan ini sangat penting karena Ukraina selama ini kehilangan akses ekspor.
“Hal ini saya kira yang mengganggu sektor pangan di dunia. Kalau nanti disepakati paling tidak ada pernyataan awal dari kedua belah pihak menggagas koridor terkait rantai pasok pangan, dan saya kira itu capaian yang besar dari pak Jokowi. Kita tunggu juga yang menyangkut energi," imbuhnya. (Akh)
ADVERTISEMENT