Konten Media Partner

Tak Sekadar Tutup Kepala, Blangkon Adalah Simbol Kewibawaan Pria Jawa

26 Mei 2022 19:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Jokowi menggunakan blangkon seperti yang digunakan oleh pengantin pria, Anwar Usman, dalam pernikahan Idayati-Anwar Usman, di Graha Saba Buana, Solo, Kamis (26/05/2022). FOTO: Tangkap layar Pengantin Production.
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi menggunakan blangkon seperti yang digunakan oleh pengantin pria, Anwar Usman, dalam pernikahan Idayati-Anwar Usman, di Graha Saba Buana, Solo, Kamis (26/05/2022). FOTO: Tangkap layar Pengantin Production.
ADVERTISEMENT
Tak sekadar menjadi penutup kepala seperti topi, blangkon yang merupakan bagian dari pakaian adat pria Jawa ternyata juga menjadi simbol kepribadian penggunanya. Bagi pria Jawa, blangkon adalah simbol kewibawaan dia sebagai seorang pria.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari jurnal penelitian yang ditulis oleh Anugrah Cisara dari Seni Rupa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, blangkon mempunyai fungsi yang menunjukkan martabat atau kedudukan sosial bagi pemiliknya, selain sebagai pelindung dari terik matahari.
“Sebagian besar masyarakat Jawa menjadikan blangkon sebagai simbol atau ciri khas dan konon dulunya digunakan sebagai pembeda antara kaum ningrat keraton dengan masyarakat jelata yang hanya memakai iket sebagai penutup kepala,” tulis Anugrah Cisara.
Masyarakat Jawa, berdasarkan studi itu, beranggapan bahwa kepala lelaki mempunyai arti penting sebagai simbol kehormatan, sehingga pelindung kepala lelaki sebagai penutup tubuh sangat diutamakan. Zaman dulu, blangkon hanya dibuat oleh para seniman yang ahli dengan pakem atau aturan tentang iket. Semakin memenuhi pakem yang ditetapkan, maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya.
ADVERTISEMENT
Selain sebagai pelindung kepala dan simbol kewibawaan, blangkon juga menjadi wujud keindahan. Bentuk dan motif blangkon merupakan kesatuan ide yang dikeluarkan oleh orang Jawa dan kemudian disalurkan ke dalam suatu proses sehingga menciptakan benda pakai yang dikehendaki dan memiliki nilai keindahan bagi pemakainya.
Pakar blangkon di Solo, Ranggajati Sugiyanto, dalam studi tersebut juga mengatakan bahwa di dalam blangkon tersimpan nilai-nilai kehidupan sehari-hari seperti keindahan, ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Blangkon yang bagus, bisa memiliki 14 hingga 17 wiru atau lipatan yang rapi di kanan dan kiri.
“Tanpa kesabaran dan ketelitian yang besar, sangat mustahil blangkon tersebut bisa diselesaikan. Keindahan blangkon juga bisa dilihat dari batik selebar 105 cm x 105 cm sebagai bahan dasar blangkon,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ketika agama Islam Masuk ke tanah Jawa, blangkon kemudian dikaitkan dengan nilai-nilai spiritualitas. Di bagian belakang, blangkon yang pasti memiliki dua ujung terikat dikaitkan dengan dua kalimat Syahadat. Hal ini bermakna bahwa syahadat mesti ditempatkan di tempat yang paling atas, yakni di kepala sebagai bagian tubuh yang terhormat.
“Pemikiran apapun yang keluar dari kepala, harus dilingkupi oleh sendi-sendi Islam,” tulis jurnal tersebut.
Sri Sultan HB X dan Paku Alam X menggunakan blangkon dalam salah satu busana kebesaran. Foto: Humas Pemda DIY
Secara umum, terdapat dua jenis blangkon, yakni blangkon gaya Yogyakarta yang memiliki mondolan atau tonjolan di bagian belakang, dan blangkon gaya Solo yang bagian depannya rata atau disebut trepes. Tonjolan dalam blangkon khas Yogya awalnya karena kebanyakan pria Jawa berambut panjang, sehingga harus digelung lebih dulu sebelum ditutup iket. Gelung rambut inilah yang kemudian membentuk tonjolan yang ditutup dengan iket.
ADVERTISEMENT
Setelah perjanjian Giyanti pada 1755, Kasultanan Mataram terpecah jadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakat dari dua kerajaan ini kemudian tumbuh dengan caranya masing-masing, pria Yogyakarta masih mempertahankan rambut panjang dan menggelung rambutnya, sedangkan pria di Surakarta yang lebih dekat dengan orang-orang Belanda lebih banyak yang berambut pendek.
Namun kemudian pria di Yogyakarta pun mulai ikut mencukur rambutnya jadi pendek. Sebagai pembeda dengan blangkon Surakarta, maka dibuatlah mondolan atau tonjolan yang dijahit langsung pada blangkon khas Yogyakarta.
“Itu mengapa blangkon dengan mondholan dapat ditemukan di Yogya, sementara yang trepes ditemukan di Solo,” tulis Anugrah Cisara.