Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten Media Partner
Tan Aris Nio: Perempuan Tionghoa yang Dinilai Layak Jadi Pahlawan Kuliner Jogja
6 Februari 2025 17:53 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Setelah semua usahanya bangkrut, Tan Aris Nio hanya memiliki satu perhiasan terakhir peninggalan suaminya. Ia bimbang, akan memakai emas terakhir itu untuk biaya hidup 7 anaknya, atau untuk modal usaha dengan risiko bangkrut lagi.
ADVERTISEMENT
Tan memilih pilihan kedua dengan semua risikonya. Ia menjual semua emas terakhirnya untuk modal usaha bakpia, makanan yang berasal dari kebudayaan Tionghoa.
“Ketimbang menjual emas untuk kebutuhan keluarga akan habis sekitar 3 bulanan, tetapi dengan ikhtiar usaha membangun usaha bakpia ada harapan untuk memanjangkan hidupnya,” kata Peneliti BRIN yang juga penulis buku ‘Babahe & Bakpia Pathok 25: Pelipur Bara Keistimewaan Jogja’, Muhammad Alie Humaedi.
Tan belajar dari bisnis-bisnis sebelumnya yang bangkrut, seperti bisnis bakso dan bakmi. Banyak yang menuduhnya memakai bahan baku babi yang tidak halal, sehingga membuat dagangannya tak laku.
Di bakpia ini, Tan memilih tidak membuat bakpia versi asli yang sudah ada sebelumnya, yakni bakpia dengan isian daging yang tidak halal. Sekitar tahun 1980-an, Tan Aris Nio mulai membuat bakpia dengan isian kacang hijau dalam skala kecil.
ADVERTISEMENT
“Saat dibagi-bagikan kepada tetangga sekitar, ternyata orang-orang cocok dengan rasa dari bakpia kacang hijau yang dibuat Ibu Tan Aris Nio,” ujarnya.
Tak hanya mengubah semua bahan baku dengan yang halal, Tan Aris Nio juga memberikan dua stempel halal pada kemasan bakpianya untuk meyakinkan pembeli bahwa bakpia yang ia jual benar-benar halal. Tak cukup dengan 2 stempel halal, ia juga menuliskan alamat toko bakpianya ‘di Depan Masjid’.
“Ini untuk menegaskan, bahwa tidaklah mungkin Ibu Tan Aris Nio menjual barang atau makanan yang tidak halal kalau tokonya ada di depan masjid,” kata Alie.
Bakpia yang ia buat itu, bakpia pertama dengan isian kacang hijau, adalah cikal bakal dari Bakpia Pathok 25, salah satu merek bakpia terbesar di Jogja saat ini.
ADVERTISEMENT
Dari Bakpia 38 ke Bakpia 25
Awalnya, bakpia buatan Tan Aris Nio dijual tanpa merek dengan cara dititipkan di toko-toko kelontong sekitar Tugu Jogja. Tapi orang-orang sudah akrab dengan bakpia Tan Aris Nio dengan isian kacang hijau.
Karena permintaan makin besar, salah satu anak Tan Aris Nio, Siek Lita Sanjaya, usul untuk memberikan nama Bakpia Pathok 38 sebagai merek dagang mereka. Nama 38 itu diambil dari nomor rumah tempat usaha mereka. Sebelumnya, sudah ada juga usaha bakpia di Pathok yang memiliki merek serupa, yakni Bakpia Pathok 75, yang juga diambil namanya dari nomor rumah.
Tak hanya memberi nama merek, Lita Sanjaya juga memberi slogan ‘Oleh-Oleh Khas Jogja’ pada kemasan Bakpia Pathok 25, yang kini slogan tersebut telah dipatenkan sebagai hak cipta mereka.
Nama Bakpia Pathok 38 bertahan cukup lama. Hingga pada 1997-an, Siek Angling Saputra Sanjaya alias Babahe, adik Lita Sanjaya, mendapatkan pencerahan untuk mengganti nama Bakpia Pathok 38 menjadi Bakpia Pathok 25.
ADVERTISEMENT
Nama 25 muncul karena dalam Bahasa Jawa mudah disebut: Selawe. Angka 25 juga sangat berbeda penyebutannya dengan angka lain seperti 21 sampai 29 dalam Bahasa Jawa.
Dan yang lebih penting, angka 25 melambangkan anak-anak Tan Aris Nio sebagai pelopor Bakpia Pathok 25.
“Angka 2 itu merujuk pada Babahe dan Ibu Lita Sanjaya, sedangkan angka 5 itu merujuk pada 5 anak kandung lain dari Ibu Tan Aris Nio,” ujar Alie Humaedi.
Layak Menyandang Gelar Pahlawan Kuliner dari Jogja
“Kalau ada sebutan pahlawan kuliner, saya akan mendorong 2 nama ini, Ibu Tan Aris Nio (pelopor Bakpia Pathok 25), dan Babahe Siek Angling Saputra Sanjaya, sebagai pahlawan kuliner dari Jogja spesifikasi kudapan atau camilan,” kata Alie Humaedi.
ADVERTISEMENT
Predikat itu kata Alie tidak berlebihan dilekatkan pada Tan Aris Nio dan Babahe Siek Angling Saputra Sanjaya.
Tan kata Alie telah melakukan langkah besar yang membuat bakpia, kuliner dari Tiongkok, justru menjadi kuliner khas Jogja dengan memodifikasi isiannya dari daging menjadi kacang hijau. Dan untuk melakukan itu, Tan mesti bertaruh, menjual emas terakhirnya sebagai modal usaha bakpia.
“Saya sepertinya mengiyakan, bahwa seandainya Ibu Tan Aris Nio tidak berani waktu itu memodali dengan perhiasan terakhirnya, mungkin kita tidak pernah mengalami situasi merasakan nikmatnya dan lezatnya kuliner Bakpia Pathok 25 ini,” ujarnya.
Alie menyebut hampir tidak ada camilan khas Jogja yang bisa dikemas dan dibawa pulang sebagai oleh-oleh, sampai akhirnya muncul bakpia yang mengisi kekosongan itu. Kehadiran bakpia sangat penting untuk menunjang Jogja sebagai kota wisata.
ADVERTISEMENT
“Dan sekarang, bakpia justru dikenal sebagai kuliner khas Jogja, bukan Tiongkok. Kita bicara bakpia, ya Jogja. Bicara Jogja, ya bakpia,” kata Alie Humaedi.
Alie Humaedi, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menulis buku ‘Babahe & Bakpia Pathok 25: Pelipur Bara Keistimewaan Jogja’, dengan melakukan wawancara langsung dengan Siek Angling Saputra Sanjaya, penerus bisnis Bakpia Pathok 25 saat ini. Buku ini akan segera diterbitkan oleh Penerbit Gramedia.