Tanam Paksa Kolonial Rusak Tatanan Orang Jawa yang Sangat Memanusiakan Difabel

Konten Media Partner
11 Juli 2022 18:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Jogja Disability Arts (JDA), Sukri Budi Dharma alias Bhutong beberapa saat usai pembukaan ARTJOG 2022 pekan lalu. Foto: Ikram Artopologi
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Jogja Disability Arts (JDA), Sukri Budi Dharma alias Bhutong beberapa saat usai pembukaan ARTJOG 2022 pekan lalu. Foto: Ikram Artopologi
ADVERTISEMENT
Peradaban leluhur Jawa disebut sudah sangat inklusif dengan memberikan ruang yang layak kepada para penyandang disabilitas. Tak sekadar layak, di era kerajaan-kerajaan Jawa, para penyandang disabilitas bahkan mendapatkan tempat yang mulia dan setara dengan masyarakat lain.
ADVERTISEMENT
Ketua Jogja Disability Arts (JDA), sebuah komunitas seni yang didirikan para penyandang disabilitas di Jogja, Sukri Budi Dharma, mengatakan dari literatur lama -baik naskah maupun relief candi-, ditemukan bahwa inklusivitas terhadap penyandang disabilitas di dalam peradaban Nusantara sudah dilakukan sejak era Kerajaan Singosari sekitar tahun 1222 Masehi.
Dalam catatan Cerita Panji, dituliskan kisah Bancak dan Doyok, dua penyandang disabilitas, yang menjadi abdi dalem sekaligus pengawal dan penasihat Raden Panji Inu Kertapati, pangeran dari Jenggala. Hal yang sama juga terjadi pada era-era selanjutnya, dari mulai Kerajaan Majapahit, Demak, hingga Mataram Islam.
“Hal itu menunjukkan kalau leluhur kita sudah sangat inklusif dan memberikan kesempatan yang sama besarnya kepada penyandang disabilitas, bahkan jauh sebelum peradaban Barat yang baru mulai belajar inklusivitas pada abad ke-20,” kata Butong, sapaan akrab Sukri Budi Dharma, ketika ditemui di Jogja National Museum (JNM), setelah pembukaan pameran ARTJOG 2022 akhir pekan kemarin.
ADVERTISEMENT
Pengunjung difabel tuna netra di ruang pamer JDA ARTJOG 2022. Foto: Ikram Artopologi
Namun, tatanan yang sudah sangat ramah terhadap penyandang disabilitas itu mengalami kemunduran ketika bangsa Barat mulai masuk ke Nusantara dan melakukan penjajahan. Sejak era kolonial, peradaban Barat mulai melakukan pembedaan kasta antara penyandang disabilitas dengan non-disabilitas.
Hal itu ditengarai saat diberlakukannya tanam paksa oleh penjajah, dimana penyandang disabilitas dikelompokkan ke dalam masyarakat atau manusia yang tidak produktif.
“Pembedaan masyarakat produktif dan tidak produktif itu kan jelas sekali menunjukkan adanya pembedaan kasta,” lanjutnya.
Begitu juga dengan dunia medis modern yang dibawa oleh orang-orang Barat, dimana penyandang disabilitas dianggap sebagai orang sakit. Bahkan, peradaban Barat, terutama di Yunani dan Romawi kuno, terdapat era kegelapan dimana setiap anak yang lahir dalam keadaan disabilitas akan dibunuh.
ADVERTISEMENT
“Orang-orang Jawa dulu itu lebih beradab kok, bahkan dibandingkan orang Eropa, jauh kalau menurut saya. Abad 20 mereka (Barat) baru bisa menteorikan, nenek moyang kita sudah praktik,” ujarnya.
Seorang pengunjung difabel di ruang pamer DJA ARTJOG 2022. Foto: Ikram Artopologi
Apa yang ditinggalkan oleh peradaban Barat di Nusantara itu kemudian mengubah persepsi publik atas penyandang disabilitas 180 derajat. Yang sebelumnya penyandang disabilitas mendapatkan ruang dan tempat yang layak, kemudian menjadi aib bahkan bagi keluarganya sendiri.
Maka tak jarang sampai saat ini masih banyak ditemukan penyandang disabilitas yang dipasung oleh keluarganya karena dianggap aib. Dalam konteks negara, masih banyak juga penyandang disabilitas yang belum bisa mendapat akses terhadap layanan pendidikan hingga administrasi kependudukan.
“Berbeda dengan kalau kita tarik ke 8 abad yang lalu pada masa Kerajaan Singosari, penyandang disabilitas sudah mendapatkan peran, status, artinya mereka kan sudah dihargai,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Peradaban kolonialisme di Indonesia menurut Butong telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap kemunduran inklusivitas di Indonesia. Meskipun pelayanan terhadap penyandang disabilitas di Indonesia sudah mulai dilakukan sejak akhir 1990-an, namun sampai saat ini kondisinya masih jauh tertinggal dibandingkan ratusan tahun silam.
“Karena sudah sekian lama didoktrin dengan pemahaman Barat, maka untuk menumbuhkan inklusivitas itu lagi tentu butuh waktu yang sangat panjang,” tegas Sukri Budi Dharma.