Terendah se-Indonesia, Upah Buruh Tani di Yogyakarta Rp 31 Ribu per Hari

Konten Media Partner
17 November 2021 15:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua DPR Puan Maharani ikut menanam padi di Godean, Sleman, DIY. Foto: Dok. DPR
zoom-in-whitePerbesar
Ketua DPR Puan Maharani ikut menanam padi di Godean, Sleman, DIY. Foto: Dok. DPR
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru tentang upah nominal harian buruh tani per Oktober 2021, dimana upah nominal harian buruh tani nasional naik tipis sebesar 0,08 persen menjadi Rp 57.009 dibandingkan bulan sebelumnya Rp 56.962. Dari seluruh responden yang disurvei, ternyata upah harian buruh tani terendah terdapat di DIY, dengan upah sebesar Rp 31.962 per hari.
ADVERTISEMENT
“Upah buruh secara nominal tertinggi itu di Kalimantan Utara, yaitu sebesar Rp 73.872 per hari. Sedangkan terendahnya di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu sebesar Rp 31.961 per hari,” kata Kepala BPS, Margo Yuwono, dalam siaran pers secara daring pada Senin (15/11).
Dihubungi terpisah, Kepala BPS Provinsi DIY, Sugeng Arianto, mengatakan bahwa data tersebut sebenarnya belum bisa merepresentasikan upah harian buruh tani di seluruh DIY. Upah sebesar Rp 31.961 juga bukan rata-rata upah seluruh buruh tani yang ada di DIY, melainkan nominal upah harian buruh tani yang paling rendah dari semua sampel yang disurvei.
“Dari sekian banyak responden yang disurvei, ditemukan salah satu responden dengan upah terendah sebesar itu di DIY dan yang tertinggi ditemukan di Kalimantan Utara,” kata Sugeng Arianto saat dihubungi, Selasa (16/11).
ADVERTISEMENT
Selain itu, jumlah sampel yang disurvei menurutnya juga belum cukup untuk menggambarkan atau mewakili seluruh buruh tani di level provinsi.
“Karena itu bukan angka rata-rata provinsi,” ujarnya.
Kenapa Upah Buruh Bisa Sangat Rendah?
Petani di Salatiga sedang menggunakan traktor. Foto: ESP
Kordinator Fungsi Statistik Distribusi BPS Provinsi DIY, Amiruddin, menjelaskan bahwa upah harian buruh tani hanya satu variable dari nilai tukar petani (NTP). NTP sendiri terbagi dalam lima subsektor, yakni tanaman bahan pangan, tanaman perkebunan, hortikulturan, peternakan, serta perikanan. Tiap subsektor tersebut, terdapat variabel upah harian buruh tani dengan pekerjaan yang berbeda-beda.
Misalnya dalam subsektor tanaman pangan terdapat pekerjaan menanam, memanen, dan memupuk tanaman, sedangkan di subsektor perikanan ada pekerjaan membersihkan kapal. Nah, bisa jadi upah harian sebesar Rp 31.961 itu hanyalah upah untuk satu pekerjaan saja, misalnya hanya untuk memupuk tanaman.
ADVERTISEMENT
“Mungkin saja hanya satu pekerjaan saja yang memang tidak begitu berat,” ujar Amiruddin.
Meskipun tertulis upah harian, namun biasanya pekerjaan buruh tani itu hanya sekitar 4 sampai 6 jam, tidak sampai 8 jam. Misalnya upah harian buruh tani di subsektor perikanan, pantauan BPS DIY, ada yang menerima upah harian sebesar Rp 20 ribu. Namun, pekerjaannya hanya membersihkan kapal dengan waktu sekitar satu sampai dua jam saja.
“Harusnya kan itu dikonversikan, kalau dua jam Rp 20 ribu, mestinya kan dikali 4 supaya genap jadi 8 jam,” lanjutnya.
Di provinsi-provinsi lain, menurut Amiruddin sebenarnya banyak juga terjadi kasus-kasus seperti itu. Hanya saja karena sampel yang diambil oleh BPS Pusat kurang menyeluruh, maka buruh tani dengan upah harian Rp 30 ribuan di provinsi lain tidak tercatat. Misalnya di Jawa Tengah atau di Jawa Timur, sebenarnya banyak juga terdapat buruh tani dengan upah harian Rp 30 ribuan, bahkan di bawah Rp 30 ribu.
ADVERTISEMENT
“Jadi bukan potret mewakili Jogja, hanya saja kebetulan yang tersebut atau tercatat itu Jogja,” kata Amiruddin.
Terpengaruh Harga Anjlok dan Pengangguran Meningkat
Dua orang buruh tani sedang mengerjakan pembibitan padi. Foto: ESP
Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Fakultas Pertanian UGM, Masyhuri, mengatakan ada dua penyebab utama rendahnya upah buruh tani di DIY, terutama beberapa bulan terakhir. Pertama karena faktor musim panen yang mengakibatkan anjloknya komoditas pertanian, misalnya cabai dan bawang merah yang harganya bahkan di bawah HPP petani. Hal ini otomatis menurunkan kemampuan petani atau pemilik lahan membayar buruh atau tenaga kerja dengan nilai yang layak.
“Kalau harganya murah, enggak balik modal, bagaimana bisa membayar tenaga kerja petani?” ujar Masyhuri.
Faktor berikutnya adalah meningkatnya pengangguran karena pandemi. Sebagai kota wisata, membuat dampak pandemi sangat dirasakan oleh Jogja. Tempat-tempat wisata serta usaha-usaha di bidang pariwisata sepi, membuat masyarakat yang bekerja di dalamnya tak punya pendapatan atau bahkan di-PHK.
ADVERTISEMENT
“Kalau pengangguran meningkat, supply tenaga kerjanya lebih tinggi, tentu upahnya jadi murah. Terlebih di sektor informal, tentu lebih murah dan tidak mengikuti UMR,” lanjutnya.
Ada dua hal utama untuk memperbaiki kondisi ini, pertama harus ada upaya untuk meningkatkan kegiatan ekonomi. Misalnya saat musim panen kemarin, mestinya ada upaya untuk menstabilkan harga, misalnya dengan memperlancar arus distribusi komoditas pertanian ke luar DIY. Untuk mengurangi tenaga kerja, bisa dilakukan dengan program padat karya, misalnya dengan proyek-proyek pembangunan infrastruktur seperti jalan, irigasi, dan sebagainya yang bisa menyerap tenaga kerja sekaligus memperbaiki infrastruktur untuk memicu pertumbuhan ekonomi.
Sektor kesehatan juga mesti tetap jadi perhatian penting, meski kasus COVID-19 terpantau sudah menurun namun bukan berarti membuka akses selebar-lebarnya. Sebab, bukan tidak mungkin akan terjadi gelombang ketiga. Ketika kasus meningkat lagi seperti beberapa bulan lalu, otomatis pertumbuhan ekonomi akan terhambat kembali.
ADVERTISEMENT
“Jadi pencegahan COVID dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, itu intinya yang penting. Jika keduanya bagus, otomatis upah buruh tani akan ikut meningkat,” ujar Masyhuri. (Widi Erha Pradana / YK-1)