Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten Media Partner
Tradisi Makan Kacang Beracun Sianida di NTT Jadi Pameran Seni Rupa di Jogja
18 Oktober 2021 19:46 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Mendengar nama sianida membuat setiap orang langsung bergidik, tapi tidak untuk Mama Fun. Mama Fun adalah seorang mama muda berusia 38 tahun dari Desa Taiftob, Kecamatan Molo Utara, Timor Tengah Selatan, NTT. Nama aslinya Marlinda Nau. Sejak kecil, dia sudah biasa memakan kacang beracun yang mengandung sianida.
ADVERTISEMENT
“Namanya kacang kotlaso, di sana masyarakat nyebutnya kacang beracun,” kata Mama Fun ketika ditemui di Jogja Nasional Museum (JNM), Jumat (15/10).
Lima tahun terakhir, ketika bergabung dengan Lakoat Kujawas, sebuah komunitas kewirausahaan sosial anak muda yang bergerak di bidang seni dan budaya di Desa Taiftob, Mama Fun mulai aktif memasak kacang beracun dan mengolahnya jadi berbagai macam olahan makanan seperti kue kering, cake, hingga es krim. Sebelumnya, kacang beracun hanya diolah dengan cara direbus lalu diberi garam atau madu sebagai penyedap.
Karena memasak kacang beracun dan mengembangkannya jadi berbagai jenis olahan makanan, Mama Fun diundang sebagai seniman residensi dalam gelaran Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
Tapi ini bukan kisah sedih warga yang terpaksa memakan makanan beracun karena kekurangan makanan.
ADVERTISEMENT
“Ini soal kami melanjutkan apa yang dilakukan orangtua kami, leluhur kami di Molo,” lanjutnya.
Kacang beracun itu banyak sekali tumbuh di dalam hutan di Kecamatan Molo. Saat musim penghujan, kacang yang berbentuk seperti kacang koro ini akan mulai tumbuh dengan sendirinya dengan jumlah yang sangat banyak, tanpa ditanam apalagi dipupuk. Sementara pada musim kemarau, masyarakat sudah bisa memanen buahnya.
Mama Fun masih ingat jelas, bagaimana ketika masih kecil, dia selalu diajak masuk hutan oleh neneknya untuk memetik kacang beracun pada musim kering. Kacang itu kemudian dikupas, dijemur, dan setelah kering disimpan di dalam Rumah Bulat khas Timor, atau Ume Khubu.
Ketika musim penghujan tiba dan stok makanan makin menipis, kacang beracun itulah yang kemudian dimasak untuk dimakan. Namun karena standar pemerintah tentang rumah sehat, dimana syarat rumah sehat salah satunya mesti memiliki jendela, Rumah Bulat itu hilang.
ADVERTISEMENT
“Karena hilangnya Rumah Bulat itu, maka pengetahuan lokal kami untuk mengolah bahan pangan lokal yang tersedia hilang,” ujarnya.
Minimal Direbus 12 Kali, Menghargai Hilangnya Nyawa Para Leluhur
Pada abad internet ini, memasak kacang beracun yang mengandung sianida, bukan lah upaya untuk bertahan hidup. Ini adalah upaya menghargai peradaban leluhur Timor.
Ada sebuah alasan bagi nenek moyangnya untuk menaklukkan kacang sianida ini sehingga bisa dimakan. Bisa saja menambah kekuatan atau strategi bertahan hidup di masa paceklik panjang. Yang jelas, tanaman ini entah bagaimana berbiak banyak sekali di daerahnya, di Kecamatan Molo Utara, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Mama Fun membayangkan, bagaimana sulit dan rumitnya para leluhurnya meracik dan mengolah kacang beracun mematikan itu supaya aman untuk dikonsumsi.
ADVERTISEMENT
Tak terbayang, berapa banyak leluhurnya yang meninggal selama proses pencarian dan eksperimen itu. Bagaimana mereka mulai memetik, mengupas, menjemur, menyimpan, hingga mengolahnya, merupakan suatu keajaiban baginya.
“Kunci untuk menghilangkan racunnya adalah dengan merebusnya minimal sebanyak 12 kali, dengan hitungan waktu masing-masing 15 menit. Bagaimana mereka menemukan ini? Pasti panjang eksperimennya,” ujarnya.
Selain merebusnya sebanyak 12 kali, api yang digunakan juga mesti api dari kayu bakar. Menurut Mama Fun, api dari kayu bakar ini memiliki temperatur yang lebih panas jika dibandingkan dengan api dari kompor. Karena itu, jika akan memakai api kompor, tentu hitungannya akan berbeda lagi.
Mama Fun sampai sekarang tak pernah berani melewatkan satu proses pun dari pengolahan kacang beracun itu. Termasuk mengurangi jumlah perebusan. Sebab, leluhurnya pasti punya alasan kenapa minimal harus 12 kali, bukan sekadar karena angka cantik atau biar genap saja.
ADVERTISEMENT
“Belum pernah kurang dari 12 kali, dan tidak berani. Karena leluhur kami pasti punya alasan, kenapa minimal harus 12 kali,” kata Mama Fun.
Setelah direbus, barulah kacang beracun itu bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan. Bisa dimakan langsung, atau bisa juga diolah jadi kue hingga es krim.
Apa Itu Miskin?
NTT kerap kali diidentikan dengan stunting dan kemiskinan. Rilis BPS tahun ini, empat provinsi termiskin di Indonesia ditempati oleh provinsi dari Indonesia Timur, salah satunya NTT di posisi ketiga. Tapi, Mama Fun menolak 100 persen predikat itu. Sebaliknya, bagi dia NTT adalah provinsi yang sangat kaya. Bagaimana tidak, NTT adalah penghasil jagung, sorgum, hingga kelor.
“Tapi sorgum, kelor, jagung, malah diekspor. Sedangkan kita sendiri dikatakan miskin, disebut stunting,” kata Mama Fun menggebu-gebu.
ADVERTISEMENT
Mereka dipaksa makan beras, padahal, NTT, terutama di Molo tidak ada sawah, tidak ada beras. Maka, mereka harus membeli beras dari luar jika tak mau disebut miskin. Sementara makanan lokal bergizi yang ada di ladang mereka, banyak sekali yang terbuang sia-sia.
“Kalau sekarang saya hanya makan jagung dan ubi, saya dikatakan sangat miskin. Sedangkan kacang, ubi, dan makanan di ladang kami banyak terbuang,” kata Mama Fun.
Seniman Oseania
Biennale Jogja kali ini, bekerja sama dengan negara-negara Oseania untuk menampilkan budaya dan tradisi dari tiap negara dan daerah. Karena itu, kali ini banyak seniman-seniman dari Indonesia Timur yang terlibat dalam pameran ini.
Direktur Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, Gintani Nur Apresia Swastika, mengatakan bahwa dihadirkannya seniman dari Indonesia Timur telah memberikan pandangan baru tentang budaya dan peradaban di Indonesia Timur.
ADVERTISEMENT
Misalnya, daerah Indonesia Timur yang selama ini dianggap tertinggal dalam hal teknologi, namun sebenarnya mereka punya teknologi lain yang berbeda.
“Misalnya apa yang dilakukan Mama Fun, namun karena tidak berdasarkan pada teknologi Barat, maka tidak diakui sebagai sebuah kemajuan teknologi,” kata Gintani.
Masyarakat di Indonesia Timur, menurut dia punya kedekatan dengan alam sebagai tempat tinggal mereka. Mereka memperlakukan alam bukan sebagai suatu hubungan hirarkis yang menganggap manusia lebih tinggi dari alam sehingga berhak mengeksploitasinya.
Tapi, mereka menempatkan alam pada tempat yang setara dengan manusia, bahkan manusialah yang bergantung pada alam sehingga mau tidak mau mereka harus menjaganya.
Hubungan itu kemudian terekspresi dalam budaya mereka, sekaligus cara bagaimana mereka hidup. Dan itu semua adalah sebuah capaian artistik yang dahsyat. Namun kehadiran budaya modern kemudian membatasi ekspresi budaya mereka.
ADVERTISEMENT
“Modernisasi itu terkadang hanya bangunan global semata yang membuat kita sering lupa dan tidak percaya diri dengan budaya sendiri,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)