UN Akan Diganti, Bagaimana Cara Menilai Siswa?

Konten dari Pengguna
13 Desember 2019 13:30 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi belajar siswa. Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi belajar siswa. Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, baru saja menetapkan empat pokok kebijakan pendidikan 'Merdeka Belajar'. Pokok kebijakan itu meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
ADVERTISEMENT
Salah satu pokok kebijakan yang paling menjadi perhatian adalah mengenai UN. Nadiem Makarim menegaskan bahwa tahun 2020 akan menjadi tahun terakhir penyelenggaraan UN. Pada 2021, UN akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
“Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter,” ujar Nadiem Makarim.
Dosen Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Andy Rudhito, menyambut baik rencana penggantian UN sebagai indikator keberhasilan proses pembelajaran. Pasalnya, UN dengan bentuk ujian seperti sekarang dinilai membelenggu kreativitas siswa dan tidak memberikan kemerdekaan kepada mereka untuk berpikir.
Di Indonesia, UN sebenarnya alat untuk melakukan evaluasi pembelajaran. Dari UN inilah tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang diharapkan dapat dilihat.
ADVERTISEMENT
“Tapi kenyataannya alat evaluasi itu, dalam hal ini UN, malah menjadi tujuan,” kata Andy, Kamis (12/12).
Akibatnya, semua pembelajaran justru difokuskan agar siswa bisa mengerjakan soal UN saja. Hal inilah yang disebut Andy membelenggu kreativitas dan kemampuan siswa. Peluang siswa untuk bisa belajar hal lain menjadi tertutup karena tujuan pembelajaran hanya sebatas siswa bisa mengerjakan soal UN.
“Lebih parah lagi, UN juga jadi patokan kinerja sekolah, kinerja Dinas Pendidikan, itu kan kelihatan ya, selalu dirangking,” lanjut Andy.
Kebijakan ini menurutnya patut dicoba dan tidak usah terburu-buru melihat hasilnya. Sebab, dampak dari pendidikan tidak bisa dilihat secara instan.
“Saya yakin kalau ini bergerak, jalan bareng semua pihak, nanti kayak tes PISA dan sebagainya itu akan bisa meningkat signifikan, mungkin sama dengan Singapura,” kata Andy.
ADVERTISEMENT
Kompetensi Literasi dan Numerasi
Foto : Pixabay
Doktor Program Penelitian dan Evaluasi Pendidikan UNY, Bambang Subali, menjelaskan kompetensi literasi merupakan kemampuan dan keterampilan seseorang dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, serta memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan di dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan numerasi, menurutnya adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol terkait masalah dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari serta menganalisis informasi yang ditampilkan dalam bentuk grafik, tabel, bagan, dan sebagainya, lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.
“Secara sederhana, numerasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya di rumah, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat sebagai warga negara. Serta kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif yang terdapat di sekeliling kita,” kata Bambang, Rabu (11/12).
ADVERTISEMENT
Andy Rudhito menjelaskan literasi secara lebih sederhana. Menurutnya, literasi merupakan kemampuan melakukan analisis melalui bahasa atau wacana. Dia menggambarkan, jika nantinya hal itu diujikan sebagai pengganti soal-soal UN, siswa akan diberikan sebuah bacaan. Dalam bacaan itu misalnya terdapat informasi berupa tahun, tokoh, dan sebagainya.
“Pertanyaannya nanti bukan siapakah yang ini? Pada tahun berapakah? Dan sebagainya yang bisa langsung diketahui dari bacaan tersebut,” papar Andy.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang levelnya masih rendah. Sementara pertanyaan-pertanyaan yang sudah termasuk pada ranah literasi pasti sudah sampai pada level analisis. Dalam artian dari bacaan itu ada informasi yang diolah dan anak tersebut diminta mengolah dan menganalisis untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Bahkan ada yang levelnya lebih tinggi lagi biasanya akan ke arah prediktif.
ADVERTISEMENT
“Seperti bagaimana menurutmu ke depan? Apa yang akan terjadi di tahun ini jika situasi ini diteruskan, dan sebagainya,” ujar Andy.
Kompetensi numerasi juga hampir serupa dengan literasi, hanya saja hubungannya dengan angka-angka. Dalam konteks ini, sangat diperlukan pemahaman matematika. Sebab, sebelum mencapai tahap analisis, seseorang harus bisa menerapkan prinsip-prinsip dan logika-logika matematika dulu.
Pertanyaan-pertanyaan numeris di level tinggi akan bersifat evaluasi dan kreasi. Misalnya siswa diminta untuk memberikan rekomendasi dari dua pilihan biro travel wisata. Siswa disajikan data berupa angka, grafik, dan sebagainya agar dia bisa memberikan rekomendasi berdasarkan analisisnya.
“Siswa harus bisa memberikan rekomendasi serta argumen-argumennya,” kata Andy.
Berubahnya alat ukur ketercapaian tujuan pembelajaran tentu akan mengubah metode evaluasi juga.
ADVERTISEMENT
Berubahnya Metode dan Evaluasi Belajar
Dosen Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Andy Rudhito. Foto : Widi Erha
Beberapa metode pembelajaran yang menurut Andy paling tepat digunakan untuk meningkatkan kompetensi literasi dan numerasi siswa di antaranya Problem Based Learning, Project Based Learning, dan Contextual Based Learning.
“Sehingga evaluasinya nanti juga bisa evaluasi kinerja,” kata Andy.
Dengan evaluasi kinerja guru dapat mengamati siswa ketika mengerjakan tugas-tugas dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Sistem kolaborasi juga penting diterapkan dalam proses pembelajaran, sehingga potensi siswa untuk bekerjasama dalam kelompok bisa dievaluasi. Proses evaluasi juga bisa dilakukan berdasarkan produk yang dihasilkan siswa sebagai portofolio.
“Bisa juga dari presentasi siswa, apa yang dia bikin, itu kan sambil menilai aspek komunikasinya. Bagaimana dia bisa menyajikan dengan menarik, lalu argumentasinya seperti apa jika ada pertanyaan,” kata Andy.
ADVERTISEMENT
Dengan banyaknya cara yang bisa dilakukan, USBN yang ada diperkirakan akan lebih bervariasi, bukan sekadar sebagai latihan siswa menghadapi UN seperti yang sudah biasa terjadi.
Yang lebih krusial menurut Andy justru sistem evaluasi karakter siswa, sebab karakter itu sudah menyatu dengan kepribadian. Misal, ketika siswa ditanya di mana dia harus membuang sampah, pasti jawabannya di tempat sampah. Namun siapa yang bisa menjamin jawaban siswa tersebut sesuai dengan karakternya.
Kuncinya menurut Andy adalah dengan mengembangkan sikap terbuka, jujur, dan transparan dalam diri siswa. Caranya, tak ada yang lain selain guru harus bisa dekat dengan siswa.
“Siswa bisa diminta menceritakan pengalamannya, apa yang sudah dia lakukan, dan sebagainya. Kalau guru bisa dekat dengan siswa, siswa nanti bisa sangat terbuka,” ujar Andy.
ADVERTISEMENT
Sudah Siapkah Guru Kita?
Ilustrasi proses belajar mengajar di kelas. Foto : Widi Erha
Kesiapan guru menurut Andy tidak mungkin dapat terwujud secara instan. Tapi menurutnya potensi untuk mengarah ke sana bukan hal yang mustahil.
“Tapi hati-hati juga, maksudnya tidak semua orang kalau diberikan kebebasan itu langsung bisa menyambut dan melaksanakan dengan baik,” kata Andy.
Terkadang, kebebasan justru akan merepotkan, di sini guru akan benar-benar diuji kesabarannya menghadapi karakter siswa yang sangat heterogen. Karena itu, rambu-rambu menurut Andy juga tetap diperlukan agar kebebasan yang diberikan tidak justru menjadi bumerang.
“Ini yang sulit dipahami ya, rambu-rambu dan ruangnya seberapa. Itu butuh orang-orang yang tingkat pemahamannya tinggi. Kalau yang nggak mau pusing kan, udah disuruh apa,” kata Andy.
Elemen lain seperti kepala sekolah dan pengawas juga harus bisa memahami hal tersebut. Jangan sampai karena tidak mau repot, akhirnya mereka membuat instruksi yang menghilangkan aspek kemerdekaan dalam belajar. Walaupun, bagi guru-guru yang malas berinovasi hal itu akan lebih memudahkan pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
“Jadi selain guru harus memiliki idealisme yang kuat untuk berinovasi, kepala sekolah dan pengawas juga harus mensupport itu,” kata Andy.
Di setiap sekolah, kata Andy pasti juga ada guru-guru inovatif yang nantinya bisa dijadikan sebagai pionir. Momentum ini harus bisa di manfaatkan guru-guru tersebut dan menjadi penggerak bagi guru-guru lainnya.
Salah satu hal yang perlu ditekankan menurutnya adalah mewujudkan atmosfer belajar yang menyenangkan. Dengan atmosfer belajar yang menyenangkan, secara mental siswa tidak akan terkekang sehingga akan mengikuti proses belajar dengan antusias.
“Kadang kan ada yang bilang belajar itu nggak ada yang menyenangkan. Kalau menurut saya itu keliru juga sih, kalau bisa dibuat menyenangkan, kenapa tidak” ujar Andy. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT