Usaha Lurah Wahyudi di Bantul Selamatkan Warganya dari Kematian karena COVID-19

Konten Media Partner
15 Juli 2021 14:49 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“Luka paling pedih itu ketika melihat rakyat kita sudah mau mati, tapi kita tak bisa ngapa-ngapain, tak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali hanya menemani,” kata Lurah Wahyudi.
Lurah Wahyudi, sedang memberi bantuan oksigen kepada salah watu warganya yang menjalani Isoman. Foto: Widi Erha Pradana
Belum genap setengah jam Wahyudi Anggoro Hadi tiba di Shelter Gabungan Kapanewon Sewon, tempat pasien-pasien COVID-19 dari beberapa desa melakukan isolasi mandiri. Dia belum lama duduk di atas lantai tanpa alas, punggungnya baru beberapa menit disandarkan ke kaki meja, dan rokok Sampoerna Mild-nya baru habis setengahnya ketika salah seorang relawan menghampirinya.
ADVERTISEMENT
“Ada pasien yang sesak napas, Pak. Alamatnya Krapyak Wetan, dekat masjid Al-Amin,” kata relawan tersebut kepada Wahyudi, Rabu (7/7) siang.
Wahyudi adalah Lurah Desa Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Bantul. Pasien COVID-19 yang sedang melakukan isolasi mandiri dan mengalami tanda-tanda peningkatan gejala, adalah warganya. Mendapat kabar ada warganya sesak napas, Wahyudi langsung mematikan rokok yang sebenarnya masih tersisa beberapa isap ke sebuah asbak di depannya.
Wahyudi melepas kemeja putih lengan panjangnya, hanya menyisakan kaos oblong tipis warna putih juga. Dia bergegas mengambil hazmat yang masih sedikit basah di tempat jemuran karena baru dicuci pada pagi hari. Tak butuh waktu lama, Hazmat itu sudah menutup rapat seluruh tubuhnya, lengkap dengan masker, sarung tangan karet, dan pelindung wajah.
ADVERTISEMENT
Di tasnya tidak ketinggalan sejumlah peralatan pengecekan kesehatan sederhana seperti pengukur tekanan darah, oximeter, serta termometer. Karena ada keluhan sesak napas, Wahyudi juga membawa oksigen tabung untuk memberikan pertolongan kepada pasiennya.
“Kami agak khawatir kalau ada keluhan sesak napas, karena beberapa hari ini pasien yang meninggal selalu diawali dengan keluhan sesak napas,” ujarnya sembari merapikan sarung tangannya dengan lakban dibantu relawan lain.
Belum lima menit mengenakan pakaian APD lengkap, keringat sudah mulai menetes saja dari sekujur tubuhnya. Kacamata yang dia kenakan berembun karena napasnya sendiri. Pandangannya semakin terganggu karena pelindung wajah dan hazmat yang dia kenakan.
“Tapi yang paling berat karena selama berjam-jam enggak bisa ngerokok,” kelakarnya, masih saja sempat bercanda di tengah situasi yang serba sulit itu.
ADVERTISEMENT
Ketika Kesedihan dan Kemarahan Memuncak
Sudah menggunakan APD lengkap, Lurah Wahyudi memacu Avanza silvernya. Foto: Widi Erha Pradana
Tanpa ba-bi-bu, Wahyudi memacu Avanza silvernya. Sebenarnya di shelter gabungan tersebut ada satu unit ambulans yang dipinjami oleh puskesmas setempat. Tapi di siang yang terik itu, ada dua laporan keluhan pasien COVID-19 yang sedang isolasi mandiri secara bersamaan, masalahnya serupa: sesak napas.
“Jadi ambulans-nya dipakai untuk ke tempat yang satu biar enggak ada yang nunggu terlalu lama,” katanya tak lama setelah mobil meninggalkan shelter.
Wahyudi masih sangat terpukul dengan meninggalnya salah seorang warganya bernama Muji karena COVID-19 beberapa hari yang lalu. Mati memang ketentuan Tuhan, tapi dia merasa mestinya nyawa warganya itu masih bisa diselamatkan jika diberikan penanganan yang tepat. Yang membuatnya makin terpukul adalah, Muji merupakan korban keempat di keluarga besar Muji yang meninggal karena COVID-19 dalam jangka waktu kurang dari dua pekan.
ADVERTISEMENT
“Sebelumnya istrinya meninggal lebih dulu, kemudian disusul dua anaknya, terus kemarin Pak Muji sendiri yang meninggal,” ujarnya.
Lurah Wahyudi sempat marah besar dengan pengelola rusun, tempat Muji dan keluarganya tinggal. Kemarahannya lantaran dia menilai tidak ada itikad baik dari pengelola rusun untuk memperbaiki manajemennya sehingga menyebabkan empat orang penghuninya meninggal dunia dalam waktu singkat.
Lurah Wahyudi membawa tabung oksigen ke rumah warganya. Foto: Widi Erha Pradana
Tiga orang meninggal beruntun dalam waktu kurang dari 10 hari menurutnya tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting. Indikasinya, tidak adanya perbaikan sistem pengelolaan dan pengetatan, sehingga harus membuat meninggalnya orang keempat, yang tidak lain adalah Muji sendiri.
“Penghuni rusun itu hanya dianggap penting ketika bayar tunggakan, nunggak dua bulan saja dikirimin surat, didodok pintunya, didatengin. Sementara ada yang mau mati dibiarkan saja, padahal sudah mati tiga,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Wahyudi makin jengkel ketika kondisi Muji semakin parah tapi tak kunjung bisa mendapatkan perawatan yang layak. Rumah sakit dan puskesmas rujukan penuh, begitu juga shelter yang dikelola oleh kabupaten. Padahal, belum lama sebelumnya, pengelola shelter masih bisa menerima pasien COVID-19 dengan gejala yang tidak separah Muji.
Muji juga sempat dilarikan ke RS Nur Hidayah Bantul, yang notabene bukan rumah sakit rujukan COVID-19. RS sempat geger karena kedatangan pasien COVID-19. Namun setelah proses lobi-lobi, RS bersedia memberikan pertolongan darurat seperti oksigenasi. Tapi Muji tetap saja tidak tidak mendapatkan kamar, semalaman dia dirawat di halaman RS di dalam tenda.
“Karena RS meminta untuk segera dipulangkan, akhirnya kami bawa ke shelter gabungan ini, kami coba rawat semampu kami tentu dengan segala keterbatasan. Paling tidak, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, dia sedang dalam penanganan oleh negara,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi Muji sempat membaik setelah sekitar sehari dirawat di shelter gabungan dan mendapatkan bantuan oksigen. Saturasinya perlahan juga mulai stabil di angka 90-an dari yang sebelumnya hanya 73. Kabar yang cukup melegakan juga datang, ada bangsal kosong di Rumah Sakit Lapangan Khusus COVID-19 (RSLKC) Bantul.
Para relawan bergegas merujuk Muji ke RSLKC supaya bisa segera mendapatkan perawatan yang layak. Bahkan, Muji sempat bisa jalan sendiri dari ambulans ke RS. Namun situasi berubah, ketika Muji meminta relawan untuk mengambilkan tasnya di ambulans. Tak sampai lima menit ketika relawan kembali, Muji sudah menghembuskan napas terakhir di atas kursi roda.
“Luka paling pedih itu ketika kita melihat rakyat kita sudah mau mati, tapi kita juga tidak bisa ngapa-ngapain. Kita sudah maksimal melakukan apapun dan tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain hanya menemani,” kata alumni Farmasi UGM itu.
ADVERTISEMENT
Sengkarut Pengelolaan Data
Lurah Wahyudi memeriksa kondisi warganya. Foto: Widi Erha Pradana
Lurah Wahyudi menyebut, salah satu muara dari semua masalah ini adalah soal pengelolaan data yang tidak profesional. Dia mengambil contoh di Sewon, dimana Puskesmas masih mengelola data pasien melalui grup WhatsApp. Padahal, satu subyek atau pasien saja, memiliki sekitar 20 data yang mesti dihimpun seperti data identitas sampai gejala yang dirasakan.
Jika satu desa saja ada 400 kasus aktif, seperti yang ada di Panggungharjo saat ini, itu artinya ada 8.000 unit data yang harus dikelola lewat grup WhatsApp. Bahkan laporan harian dari Puskesmas masih dikirimkan berupa coret-coretan di papan tulis.
“Bayangkan bagaimana crowded-nya, scroll up, scroll down, ada nama yang sama tapi domisili beda saja pusingnya minta ampun. Dari dulu kita ngapain, sistem input data sampai sekarang belum punya?,” kata Wahyudi.
ADVERTISEMENT
Baru beberapa hari kemarin, Wahyudi dan para relawan di Desa Panggungharjo menginisiasi pembangunan sistem laporan harian pasien melalui laman Bantultangguh.com yang merupakan pengembangan sistem pelaporan harian sebelumnya. Melalui sistem itu, nantinya pasien atau warga yang merasakan gejala COVID-19 bisa melaporkan kondisinya sehingga mempermudah pemantauan oleh petugas.
Sistem manajemen data ini juga bertujuan untuk mempermudah pembuatan standar penapisan pasien, klasifikasi pasien mana yang mengalami gejala berat, ringan, sedang, maupun OTG bisa dipetakan secara jelas. Sebab sampai saat ini, standar yang dimiliki oleh puskesmas satu dan yang lainnya berbeda-beda.
“Sehingga tidak terjadi lagi kasus seperti Pak Muji kemarin, yang gejala sedang bisa dirujuk tapi yang gejala berat malah tidak bisa dirujuk. Kalau masalah seperti ini saja belum beres, enggak usah dulu lah ngomongin revolusi industri 4.0,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dan saat ini, sistem tersebut sedang dikembangkan untuk ditambah fitur peringatan. Sehingga jika ada peningkatan status pasien, sistem secara otomatis akan langsung memberikan notifikasi kepada petugas sehingga pasien bisa segera ditangani.
Berartinya Sebuah Kehadiran
Lurah Wahyudi menuju rumah warganya. Foto: Widi Erha Pradana
Tak sampai setengah jam, Wahyudi sampai di rumah pasien yang dituju. Di tepi jalan sudah ada beberapa warga dan keluarga pasien yang menanti. Air muka mereka tampak sangat lega ketika melihat Wahyudi keluar dari mobilnya.
Maturnuwun sanget, Pak Lurah,” kata salah seorang warga sambil memberikan salam siku kepada Wahyudi.
Wahyudi langsung diantar oleh salah seorang warga menuju kamar tempat warganya melakukan isolasi mandiri. Di depan kamar, seorang perempuan sedang melakukan gerakan-gerakan kecil, dia adalah Nita, pasien isolasi mandiri yang dilaporkan mengalami sesak napas.
ADVERTISEMENT
“Sudah enggak apa-apa Pak Lurah, cuma lemes,” kata Nita kepada Wahyudi menggunakan bahasa Jawa halus.
Wahyudi langsung mengeluarkan semua peralatan yang ada di dalam tas kecilnya. Sembari dicek kondisinya, Nita tak henti-hentinya menceritakan kondisinya selama isolasi mandiri. Pagi tadi, dia memang merasa sesak dan pusing.
“Habis nyuci itu saya langsung sesak sama pusing banget Pak,” kata Nita.
“Lah ya iya, orang Ibu disuruh istirahat malah nyuci. Ibu banyakin istirahat saja, kalau tetap nyuci nanti malah saya suruh nyapu sama ngepel,” jawab Wahyudi santai sembari mencoba menghibur Nita sembari mengecek kesehatan warganya itu.
Secara umum, kesehatan Nita sebenarnya stabil. Tekanan darahnya normal, di angka 130/80, suhu tubuhnya juga normal di angka 36 derajat. Hanya saja, saturasinya memang sedikit di bawah garis normal, yakni 93 dimana saturasi normal ada di angka 95 ke atas.
ADVERTISEMENT
Untuk meningkatkan saturasinya, Wahyudi memberikan oksigen kepada Nita. Sekitar setengah jam dia duduk lesehan di lantai, tepat di samping Nita yang sedang terbaring dengan masker oksigen yang menutup rapat mulut dan hidungnya. Setelah memastikan Nita tak lagi merasakan sesak, Wahyudi melepas masker oksigen sembari terus memberikan arahan kepada pasiennya itu.
“Kalau merasa pusing lagi, ini Paracetamol-nya diminum, terus laporkan terus kondisinya supaya bisa terus kami pantau ya Bu,” ujarnya.
Nita yang tadinya sangat tenang, mulai menampakkan air muka yang was-was lagi. Dia paham, kalau sebentar lagi Wahyudi akan segera pamit dan meninggalkannya.
“Nanti terus dipantau kan Pak?” tanya Nita.
“Iya Bu, nanti kami pantau terus, kan di shelter kami juga harus nanganin 40 orang,” jawab Wahyudi mencoba menenangkan Nita.
Bantun oksigen Lurah Wahyudi langsung menenangkan warga. Foto: Widi Erha Pradana
Tapi Wahyudi tak bisa langsung beranjak. Sebelum pulang, anggota keluarga Nita yang merasa kesehatannya mulai terganggu juga meminta untuk dicek kesehatannya. Sementara di dalam hazmatnya, tubuhnya sudah basah kuyup oleh keringatnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Di dalam mobil, AC yang sudah disetel maksimal sama sekali tak terasa dinginnya. Wahyudi mulai bercerita, bahwa secara medis sebenarnya apa yang barusan dilakukan sama sekali tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap pasien. Oksigen yang hanya diberikan beberapa menit, Paracetamol, dan beberapa vitamin yang diberikan, tak bisa berbuat banyak.
“Tapi yang jelas mereka butuh teman, karena berhari-hari dikurung di dalam kamar sendirian itu berat, itu kenapa kehadiran itu menjadi sangat penting,” ujarnya.
Lurah Wahyudi usai membuka APD yang selalu dengan disiplin ia kenakan saat menolong warganya menjalani Isoman. Foto: Widi Erha Pradana
Banyak keluhan yang dilaporkan oleh pasien menurutnya juga banyak disebabkan oleh psikosomatis, keluhan fisik yang timbul karena tekanan pikiran dan emosi. Sebelum puncak pandemi, mereka masih bisa mendapatkan kepastian, kapan akan dites, kapan mendapatkan obat, dan kapan akan dirawat di RS.
ADVERTISEMENT
Tapi saat ini, situasinya penuh ketidakpastian. Tak ada yang bisa menjamin, kapan seseorang bisa mendapatkan jadwal tes, kapan dia akan mendapatkan kiriman obat, dan kapan dia bisa mendapatkan perawatan medis yang layak. Semua menjadi serba tak pasti dan menakutkan.
“Ketika ada yang datang, seenggaknya ikut menemani. Jika tidak bisa memberikan kepastian, paling tidak kita membuat mereka tidak merasa sendirian,” ujarnya.
Akhirnya Avanza silver yang dikemudikan Wahyudi tiba juga di shelter gabungan, tempatnya pulang. Rasanya sudah tidak sabar untuk melepas semua APD yang sedari tadi membuat pergerakan jadi tak leluasa. Wahyudi segera melakukan dekontaminasi dan segera melepas satu per satu APD yang melekat di tubuhnya. Dan di dalamnya, kaos yang dia kenakan benar-benar basah kuyup oleh keringat. Benar-benar seperti baru saja disiram air satu ember.
ADVERTISEMENT
“Bisa dua sampai tiga kali sehari kayak gini, kemarin baru saja lepas APD ada telepon lagi, ya saya pakai APD lagi,” kata Wahyudi sembari menyalakan rokoknya setelah bersih-bersih badan.