Usaha Seniman Wayang Jogja 'Stay Relevan': Pentas Sejam Saja pun Bisa Keren

Konten dari Pengguna
19 Oktober 2020 13:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pada Kamis (15/10), para pegiat kesenian wayang berkumpul di Royal House, di Jalan Gito Gati, Ngaglik, Sleman. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Pada Kamis (15/10), para pegiat kesenian wayang berkumpul di Royal House, di Jalan Gito Gati, Ngaglik, Sleman. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
Sejumlah seniman di Yogyakarta sedang gencar-gencarnya memasyarakatkan kembali wayang sebagai salah satu warisan budaya penting leluhur Nusantara. Para seniman wayang ini terus berusaha untuk stay relevan dengan penonton yang terus berubah.
ADVERTISEMENT
Pada Kamis (15/10), para pegiat kesenian wayang berkumpul di Royal House, di Jalan Gito Gati, Ngaglik, Sleman dan menampilkan pertunjukan wayang kontemporer dan uda rasa (saling berbagi) bagaimana cara beradaptasi dengan perubahan zaman.
MH Irawan, pemilik Royal House mengatakan, pertunjukan-pertunjukan wayang kontemporer seperti itu sangat penting untuk mengenalkan kembali wayang kepada generasi sekarang. Menurutnya, wayang perlu mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan budaya masyarakat sekarang sehingga tetap relevan dengan semua perkembangan yang ada.
“Kita bergerak itu menyesuaikan keadaan ya. Zaman sekarang dengan zaman dulu lain,” ujar MH Irawan selepas acara.
MH Irawan, pemilik Royal House. Foto: Widi Erha Pradana.
Dulu, untuk melakukan pertunjukan wayang sangat banyak komponen yang terlibat. Waktu pertunjukan pun bisa semalaman. Namun saat ini, dengan aktivitas manusia yang sudah sangat berbeda, pertunjukan wayang pun harus ikut menyesuaikan supaya tetap ada yang mau menyaksikan dan menikmatinya.
ADVERTISEMENT
Pertunjukan wayang menurutnya tidak harus serumit seperti pertunjukan wayang klasik pada umumnya. Karena keesokan paginya masyarakat banyak yang harus bekerja, waktu pertunjukan juga tidak harus semalam suntuk.
“Satu jam pun bisa, setengah jam pun bisa. Karena yang paling penting bagi kami sekarang adalah bagaimana generasi sekarang tahu dulu apa itu wayang. Setelah tahu, baru nanti mereka akan mengeksplorasi lebih dalam tentang nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya,” lanjutnya.
Pemilik Rumah Budaya Kahangnan, sebuah galeri wayang pertama di Yogyakarta, Hangno Hartono, mengatakan bahwa wayang yang sudah berusia lebih sekitar 500 tahun sangat sayang jika tidak dikembangkan. Inovasi-inovasi dalam dunia pewayangan menurutnya bukan sesuatu yang haram. Justru inovasi tersebut dibutuhkan supaya wayang bisa tetap relevan dengan perkembangan budaya masyarakat saat ini.
ADVERTISEMENT
Wayang menurutnya tidak harus tampil bersama imej tradisionalnya. Meskipun bagi Hangno, tradisionalitas pada wayang tetap harus dijaga sebagai referensi yang harus dipelajari dan menjadi dasar dari setiap inovasi yang ada.
“Tetapi tetap tidak menutup eksplorasi ide-ide yang baru. Harus ada kreasi-kreasi baru di era milenial ini,” ujar Hangno Hartono.
Pertunjukan Spontanitas dan Kolaborasi
Kis Ismoyo BS saat pentas di Royal House Kamis (15/10) malam. Foto: Widi Erha Pradana.
Ki Ismoyo BS, yang malam itu pentas menghibur para penonton di Royal House menampilkan pertunjukan yang sangat berbeda dengan pertunjukan wayang klasik pada umumnya. Dalam pertunjukannya, dia menjunjung aspek spontanitas dan kolaborasi.
Musik pengiringnya tidak harus dari perangkat gamelan yang dimainkan oleh banyak niyaga. Malam itu, musik yang mengiringinya berasal dari tabuhan barang-barang yang ada di sekitar, dari dandang, mesin ketik bekas, sampai batu. Dia juga mengajak orang-orang yang malam itu datang untuk berkolaborasi, dia ajak berdialog dan menjalani peran sesuai latar belakang mereka masing-masing.
ADVERTISEMENT
“Saya ketemu dengan teman-teman dari grup keroncong, saya ketemu teman-teman yang sekarang fokus di wayang milenium, akademisi, kemudian seperti ditantang, bisa enggak kita melakukan kolaborasi. Saya ajak teman-teman yang datang. Jadi saya memakai konsep srawung,” ujar Ki Ismoyo.
Menurutnya, semua itu dilakukan dengan tujuan utama untuk mendekatkan kembali wayang dengan masyarakat saat ini. Dia melibatkan para penontonnya, sehingga mereka merasa keberadaannya diakui, bukan hanya sebagai penikmat tetapi juga mengambil peran penting dalam pertunjukan tersebut.
Bagi Ki Ismoyo, metode pertunjukan seperti itu selain memberikan tantangan tersendiri juga selalu memberikan sesuatu yang baru. Setiap orang yang dia ajak berkolaborasi akan memberikan pengalaman dan pembelajaran baru.
“Harapannya ini bisa lebih mendekatkan wayang kepada mereka yang belum tahu, atau yang hanya tahu dari jauh. Jadi kita dekatkan sehingga bisa mereka terima,” ujarnya.
Foto: Widi Erha
Sebagai salah satu upaya memasyarakatkan wayang, Ki Ismoyo juga aktif bergerak di sekolah-sekolah. Dia membuat materi tentang wayang yang lebih inklusif bagi anak-anak sehingga lebih mudah diterima dan dipahami.
ADVERTISEMENT
“Jadi bagaimana membuat wayang menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari di sekolah, dan itu jarang dilakukan,” lanjutnya.
Menurutnya, perkembangan merupakan sebuah keniscayaan, termasuk dalam dunia wayang. Wayang mesti mengikuti perkembangan budaya masyarakat. Meski format atau pakem-pakem wayang sudah ada, namun konten-konten dan tema dalam pertunjukan wayang harus bisa dikemas sesuai dengan zamannya.
Malam itu, wayang yang dia mainkan memang masih wayang purwa atau wayang yang sudah dikenal secara luas. Karakter wayang yang dia mainkan tidak ada perbedaan dengan wayang-wayang klasik yang sudah ada. Namun bahan pembuatan wayangnya tidak dari kulit, melainkan dari limbah plastik.
Dia tertarik dengan wayang ini karena elemen bahan yang dipakai. Selain itu, memainkan wayang dari bahan limbah plastik ini juga memberikan tantangan tersendiri.
ADVERTISEMENT
Wayang berbahan plastik memiliki kekuatan dari transparansi bentuknya. Jika diterawang dengan seksama, wayang dari limbah plastik ini memiliki aspek transparansi yang kuat. Hal itu membuatkan dalang yang memainkannya ditantang untuk memainkan visual.
“Jadi aspek menariknya enggak harus dalam aspek sabet. Secara visual kita bisa mengeksplorasi lebih jauh sesuai dengan temuan-temuan dalam proses itu,” ujarnya.
Misalnya dari segi warna, dari balik layar, penampakan wayang dari limbah plastik ini tidak hanya siluet. Karena aspek transparansinya tadi, wayang berbahan limbah plastik ini dapat menampilkan warna-warna lain sehingga bisa dimainkan dengan konsep bolak-balik dari dua sisi.
“Saya menemukan keasyikan tersendiri di sini,” ujar Ki Ismoyo.
Tak Pernah Kekurangan Bahan Baku
Mbah Sajiman pembuat wayang dari limbah plastik. Foto: Widi Erha Pradana.
Mbah Samijan adalah pembuat wayang-wayang dari limbah plastik yang dimainkan oleh Ki Ismoyo. Ketika para pembuat wayang kulit kerap mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan-bahan yang berkualitas, dia justru sebaliknya: bahan baku melimpah.
ADVERTISEMENT
Sampah plastik yang selalu dikutuk, ternyata mampu disulap oleh Samijan menjadi wayang dengan bentuk yang nyaris sama dengan wayang-wayang pada umumnya.
“Jadi tidak harus dengan biaya yang mahal, dan tidak harus nyembelih lembu untuk membuat wayang. Ternyata bisa juga dari limbah-limbah plastik yang ada di sekitar kita,” ujar Mbah Samijan.
Dia memulai membuat wayang-wayang dari limbah plastik sejak 2001, berangkat dari rasa bingung dan takut kehilangan wayang sebagai warisan luhur Nusantara. Dia berpikir, jika membuat wayang harus membutuhkan biaya yang mahal, maka wayang akan semakin jauh dan kemudian hilang dari kehidupan masyarakat.
Mbah Samijan tidak langsung menggunakan limbah plastik sebagai bahan membuat wayang. Dia pernah mencoba membuatnya dari karton, seng, serta kertas-kertas bekas untuk membuat wayang secara otodidak.
ADVERTISEMENT
“Baru 2001 saya menemukan metode ini. Karena saya bingung dan takut wayang ini akan hilang, karena anak saya sendiri saja enggak kenal sama wayang,” ujarnya.
Selain membuat wayang-wayang purwa, dia juga kerap membuat wayang-wayang kontemporer yang biasa digunakan sebagai fragmen dalam pementasan kesenian lain seperti ketoprak.
Meski dia belum pernah membuat wayang dari kulit, namun menurutnya membuat wayang dari limbah plastik jauh lebih mudah. Pembuatan tatah pada wayang kulit menurutnya sangat rumit, dan memerlukan peralatan yang banyak. Sementara untuk membuat wayang dari limbah plastik, alat utamanya hanya satu buah solder.
“Karena sampah plastik kan semakin banyak juga, jadi hitung-hitung mengurangi sampah plastik. Karena kalau pakai kulit, saya kasihan sama lembunya mas,” ujar Mbah Samijan berkelakar. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT