Konten Media Partner

Wabah Penyakit dari Peternakan Ayam di Jogja Jadi Bom Waktu, Ini Penyebabnya

14 Juli 2022 18:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustari peternakan ayam. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustari peternakan ayam. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Peternakan ayam di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berpotensi menjadi bom waktu munculnya wabah penyakit. Pasalnya, hampir seluruh peternakan di DIY masih menggunakan sistem kandang baterai yang membuat kesejahteraan ternak tak terjamin.
ADVERTISEMENT
Government Advocacy Manager Animal Friends Jogja (AFJ), Andi Suryo mengatakan, kandang-kandang baterai yang dimiliki para peternak di Jogja banyak yang kurang terawat.
Misalnya manajemen kotoran yang buruk, tidak adanya pengolahan limbah yang baik, serta penggunaan obat-obatan dan antibiotik yang terus menerus. Cepat atau lambat, hal itu menurut Andi akan memunculkan masalah kesehatan yang serius, bukan hanya untuk hewan ternaknya tapi juga bagi manusia di sekitarnya.
"Salah satu masalah ketika bakteri salmonela meresap ke air tanah, kemudian dikonsumsi masyarakat di sekitarnya, pasti akan jadi masalah serius. Jadi risiko wabah di Jogja cukup tinggi," kata Andi Suryo ketika ditemui di Kantor Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY, Kamis (14/7).
Government Advocacy Manager Animal Friends Jogja (AFJ), Andi Suryo. Foto: Widi Erha Pradana
Andi mencontohkan wabah flu burung (H5N1) yang sempat menjadi masalah kesehatan dunia pada awal 2000-an. Awalnya, flu burung bisa menyebar dan menular ke manusia menurut dia juga disebabkan karena sistem peternakan yang buruk.
ADVERTISEMENT
"Flu burung itu juga karena manajemen peternakannya yang kurang bagus," ujarnya.
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS), peternakan ayam di DIY, terutama ayam petelur, memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2021, jumlah populasi ayam petelur di DIY tercatat sebanyak 6 juta ekor lebih.
Jumlah ini memang termasuk kecil jika dibandingkan daerah lain di sekitarnya seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tapi yang perlu digaris bawahi, luas wilayah DIY juga lebih sempit ketimbang Jateng dan Jatim, hal itu membuat peternakan di DIY cukup padat.
"Dan 95 persen lebih masih menggunakan sistem kandang baterai," kata Andi.
Campaign Manager World Animal Protection, Rully Prayoga
Campaign Manager World Animal Protection, Rully Prayoga, juga mengatakan bahwa peternakan dengan sistem kandang baterai berpengaruh buruk terhadap kesehatan ternak. Karena membuat ayam terkurung di ruang yang sempit dan tak bisa leluasa bergerak, ayam menjadi gampang stress.
ADVERTISEMENT
Karena gampang stress, maka ayam butuh lebih banyak obat-obatan terutama antibiotik untuk mencegahnya terserang penyakit.
"Jadi residu antibiotiknya tinggi, berakibat ke telurnya juga, ini kan akan berakibat ke kesehatan kita," ujar Rully Prayoga.
Residu antibiotik itu akan meningkatkan risiko seseorang terkena kanker. Selain itu, residu antibiotik tersebut dalam jangka waktu tertentu juga dapat membuat seseorang kebal dengan antibiotik.
"Risiko terhadap kesehatan untuk manusianya itu sangat tinggi, tidak hanya yang di sekitar kandang, tapi mereka yang mengonsumsi daging dan telurnya," ujarnya.
Salah satu alternatif yang bisa dilakukan menurutnya adalah mengubah metode peternakan dari kandang baterai dengan metode cage free atau tanpa kandang. Hal ini menurut dia akan membuat hewan ternak lebih sejahtera dan sehat sehingga tak perlu banyak mengonsumsi berbagai macam obat-obatan.
ADVERTISEMENT
Namun, yang mungkin akan menjadi masalah selanjutnya adalah ketersediaan lahan, sebab metode ini akan membutuhkan lahan yang lebih luas dari biasanya. Minimal untuk metode peternakan ini dibutuhkan lahan seluas 400 meter persegi, dengan kepadatan 8 ekor per meter persegi.
"Kalau skala pabrikasi memang akan menjadi masalah, solusinya adalah tidak dilakukan secara masal, tidak jadi sebuah industri, tapi dilakukan oleh komunitas atau UMKM," ujarnya.
Meski produktivitasnya tidak sebesar metode konvensional kandang baterai, namun telur yang dihasilkan dari metode cage free ini memiliki nilai jual yang lebih tinggi, bisa mencapai dua kali lipat.
"Jadi mestinya peternak tidak perlu khawatir, karena dari segi pendapatan justru bisa lebih besar meski telur yang dihasilkan lebih sedikit," kata Rully Prayoga.
ADVERTISEMENT