Wadas Memanas Lagi, Mengapa Proyek Infrastruktur Sering Picu Konflik?

Konten Media Partner
9 Februari 2022 21:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga yang sempat ditahan polisi bertemu ibunya saat dibebaskan. Foto: Hendra Nurdiyansyah/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Warga yang sempat ditahan polisi bertemu ibunya saat dibebaskan. Foto: Hendra Nurdiyansyah/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Desa Wadas di Kecamatan Bener, Purworejo, kembali memanas. Ribuan aparat kepolisian berseragam lengkap mendatangi desa tersebut sejak Selasa (8/2) pagi untuk mengawal pengukuran lahan yang akan digunakan sebagai pertambangan batuan andesit. Batuan andesit di Desa Wadas akan dikeruk sebagai material utama pembangunan Bendungan Bener.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagian warga Wadas ternyata masih menolak rencana pembangunan tambang andesit ini. Tak pelak, situasi di Wadas menjadi panas, bahkan kabar terakhir dari LBH Yogyakarta yang melakukan pendampingan hukum terhadap warga Wadas menyebutkan bahwa ada 64 warga Wadas yang ditangkap dan ditahan di Polres Purworejo, dimana 10 di antaranya adalah anak di bawah umur.
Konflik agraria di Wadas bukanlah satu-satunya sengketa yang terjadi akibat rencana pembangunan infrastruktur di Indonesia. Di Jawa Tengah, konflik agraria seperti ini beberapa kali mencuat seperti seperti konflik agraria di Rembang, Jawa Tengah, karena penolakan masyarakat Samin terhadap tambang semen di Pegunungan Kendeng. Ada juga konflik masyarakat yang menentang pembangunan PLTMH di Gunung Slamet dan Gunung Lawu.
ADVERTISEMENT
Di Yogyakarta, konflik serupa beberapa kali juga pernah terjadi. Misalnya konflik agraria yang melibatkan warga Temon, Kulon Progo, yang menolak pembangunan bandara internasional Yogyakarta International Airport (YIA). Ada juga konflik agraria yang melibatkan warga di pesisir Kulon Progo yang menolak tambang pasir besi.
Wawan Mas'udi. Foto: Dok. Pribadi
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM yang juga pakar pakar ilmu politik dan pelayanan publik, Wawan Mas’udi, mengatakan bahwa konflik-konflik yang disebabkan rencana pembangunan memang selalu muncul dari masa ke masa, dari rezim ke rezim. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan tanah dan lahan memang jadi aspek yang paling krusial dalam politik pembangunan.
Masalah konflik seperti ini sebenarnya juga selalu terjadi di negara lain di luar Indonesia. Namun di Indonesia persoalan itu memang relatif jauh lebih kuat karena ikatan masyarakat dengan lingkungannya memang sangat kuat.
ADVERTISEMENT
“Keterikatan masyarakat kita, komunitas kita, ke alam dan lingkungan itu sangat kuat. Tidak hanya di luar Jawa, tapi banyak juga di desa-desa di Jawa,” kata Wawan Mas’udi, Rabu (9/2).
Melihat 64 Warga Desa Wadas DibebaskanMereka tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Foto: Hendra Nurdiyansyah/ANTARA FOTO
Ikatan masyarakat dengan lingkungan tersebut justru seringkali dimaknai sebagai mitologi atau klenik. Padahal, seringkali hal itu adalah cara masyarakat dalam menjaga lingkungan dan tempat tinggalnya.
Sayangnya masalah-masalah seperti ini seringkali luput dari perhatian negara. Pemerintah hanya memakai logika teknokratis, bahwa secara hukum persoalan itu sudah selesai sehingga mereka bisa menggusur mereka untuk sebuah proyek yang akan dibangun.
Dalam sistem demokratis, mestinya pintu dan ruang-ruang dialog harus selalu dibuka untuk mengakomodir aspek-aspek tersebut. Selama masalah-masalah lain yang menyangkut sosiologis masyarakat belum mampu diselesaikan, maka akan selalu ada elemen-elemen yang merasa kecewa dan dirugikan.
ADVERTISEMENT
“Sayangnya cara negara meresponsnya kemudian selalu dengan menurunkan kekuatan yang mencerminkan represifitas, ini yang tidak tepat dan mengecewakan menurut saya,” lanjutnya.
Menurutnya harus selalu dicari formula bagaimana bisa mengakomodir semua kepentingan masyarakat dengan cara membuka ruang-ruang dialog. Sebab, mungkin saja selama ini memang masih banyak suara dan kepentingan yang belum didengar dan diakomodir.
“Sistem demokrasi itu memang tidak ringan dan tidak mudah, tapi perlu dicari terus formulanya,” kata Wawan Mas’udi.
Direktur Eksekutif Lokataru yang juga aktif mengawal isu agraria, Iwan Nurdin, mengatakan bahwa rencana pembangunan infrastruktur maupun tambang hampir selalu memicu konflik-konflik agraria karena selalu menyasar tanah-tanah yang sudah digarap dengan baik oleh warga. Namun tanah yang sudah memberikan kehidupan sejahtera itu justru dijadikan sasaran untuk proyek-proyek tersebut.
ADVERTISEMENT
“Negara ini merdeka kan buat menyejahterakan rakyatnya, terus di tanah itu sudah ada masyarakat yang sejahtera, hidup damai, menjaga lingkungan dengan baik, dan kecil sekali porsi pemerintah dalam proses-proses menyejahterakan itu,” kata Iwan Nurdin ketika dihubungi.
Masalah berikutnya menurutnya adalah terkait nilai ganti rugi yang tidak membuat masyarakat memiliki potensi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera. Apalagi jika bicara konteks Wadas, penolakan warga bukan hanya soal kerugian ekonomi, tapi juga soal keberlangsungan sosial dan lingkungan.
“Saya kira simpel saja, pemerintah mencabut keinginannya memberikan izin usaha tambang kepada perusahaan di area itu, apalagi kalau hanya untuk pembangunan infrastruktur kan bisa dicari di tempat lain,” lanjutnya.
Iwan Nurdin. Foto: Dok. Pribadi
Pendekatan pemerintah kepada masyarakat yang menggunakan kekuatan militer juga dinilai kurang tepat. Apalagi di Wadas saat ini ada 60 lebih orang yang dikriminalisasi karena dianggap menghalang-halangi proses pengukuran lahan.
ADVERTISEMENT
Hal itu menurut Iwan adalah bentuk memutasi masalah, dimana masalah penolakan tambang dijadikan kasus kriminal sehingga membuat masyarakat jadi takut untuk menyuarakan hak-hak mereka atas tanahnya.
Supaya bisa meminimalisir konflik, setiap perencanaan pembangunan infrastruktur menurutnya harus sejak awal dibuka ke publik. Sebab pada dasarnya, masyarakat cenderung bisa diajak bicara dengan baik jika memang pembangunan itu murni menyangkut kepentingan umum.
Jika pembangunan itu sebenarnya ditujukan untuk kepentingan bisnis korporasi namun berdalih kepentingan umum, maka dapat dipastikan akan memicu konflik dan perlawanan. (Widi Erha Pradana / YK-1)