Konten Media Partner

Wawan Harmawan Usung "Cultural Entrepreneur" untuk Membangkitkan Ekonomi Yogya

18 November 2024 15:27 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hasto-Wawan sehari sebelum pelaksanaan Debat Pilwalkot, di Hotel Senapati Yogya, Kamis (7/11). Foto: ESP
zoom-in-whitePerbesar
Hasto-Wawan sehari sebelum pelaksanaan Debat Pilwalkot, di Hotel Senapati Yogya, Kamis (7/11). Foto: ESP
ADVERTISEMENT
Calon wakil wali kota Yogyakarta nomor urut 2, Wawan Harmawan, berkomitmen untuk membangun kembali ekonomi kota dengan berfokus pada budaya dan etika lokal. Bersama pasangannya, Hasto Wardoyo, ia memperkenalkan konsep “cultural entrepreneur”. Wawan percaya bahwa membangkitkan kembali semangat kewirausahaan berbasis budaya adalah kunci untuk mencapai kesejahteraan berkelanjutan di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
"Saya Wawan Harmawan, saya pengusaha, saya anggota Kadin DIY, saya seorang ‘cultural entrepreneur’," ujar Wawan dengan tegas, menyatakan identitasnya sebagai pelaku bisnis yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya.
Wawan menyebutkan bahwa banyak pengusaha Yogyakarta terdahulu tidak hanya berfokus pada finansial, tetapi juga terlibat dalam kegiatan sosial dan budaya.
"Tahu nggak, orang kaya lama Kota Yogya itu banyak lahir di Pasar Beringharjo? Mereka bukan sembarang orang kaya,” kata Wawan dalam wawancara bersama Pandangan Jogja, Jumat (8/11) pagi.
“Mereka lebih mirip konglo di Kyoto. Saya menyebut mereka sebagai ‘cultural entrepreneur’, guru-guru saya," tambah Wawan, merujuk pada keluarga-keluarga pembatik besar di Pasar Beringharjo, seperti keluarga Tembong Kota Gedhe dan Haji Bilal.
Calon wakil wali kota Yogyakarta nomor urut 2, Wawan Harmawan, saat diwawancarai Pandangan Jogja pada Jumat (8/11) pagi. Foto: Pandangan Jogja
Menurutnya, konsep "cultural entrepreneur" ini tidak sekadar berorientasi pada profit, tetapi juga pada kontribusi terhadap masyarakat dan kebudayaan. Ia mencontohkan bahwa para pengusaha tradisional Yogyakarta selalu hadir dalam kegiatan sosial dan budaya, mulai dari berkumpul dengan seniman hingga aktif di pos ronda.
ADVERTISEMENT
"Karena karyanya dari batik, mereka tidak bisa hanya ngurus duit. Mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan dan kemasyarakatan. Nongkrong semalaman sama seniman atau di pos ronda sampai pagi. Bagi pebisnis sekarang, itu buang-buang waktu. Tapi itulah karakter pengusaha Yogya," jelasnya.
Pasangan Hasto-Wawan berencana menghidupkan kembali pusat kerajinan di Prawirotaman, Tirtodipuran, dan kawasan lain untuk mendukung ekonomi lokal. Wawan melihat konsep "cultural entrepreneur" sebagai bagian dari etika Yogyakarta, yaitu "Hamemayu Hayuning Bawono," yang mengedepankan keseimbangan antara profit dan kontribusi sosial.
"Orang kaya membantu yang miskin, hotel-hotel melibatkan masyarakat sekitar, tidak menyedot air tanah," ungkapnya.
Bagi Wawan, pendekatan ini akan memperkuat pariwisata dan ekonomi kreatif, selaras dengan tren global yang mengedepankan keberlanjutan.
"Tahu apa arti nama Beringharjo? Hutan beringin yang membawa kesejahteraan. Hutan atau planet. Kesejahteraan yakni ‘people’ atau rakyat dan profit. Jogja dibangun atas dasar humanisme, budaya, dan warisan. Ini selaras dengan tren global saat ini," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Melalui visi "cultural entrepreneur”, Wawan berharap generasi muda Yogya akan terdorong menjadi pengusaha yang juga menjaga dan menghormati warisan budaya setempat. Bagi pasangan Hasto-Wawan, program ini bukan sekadar rencana ekonomi, tetapi juga sebuah upaya menjaga identitas Yogyakarta sebagai kota budaya.