Wisata Adopsi Burung Liar di Kulon Progo, DIY, Belajar Cinta Tak Harus Memiliki

Konten Media Partner
10 Oktober 2021 15:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Adopsi burung liar di perbukitan Menoreh Kulon Progo kini menjadi paket wisata unik yang mengajarkanmu bahwa cinta tak harus memiliki.
Burung cucak jenggot dewasa memberi makan anaknya di sarangnya. Foto: Kelik Suparno
Wisata di Kulon Progo kian beragam dengan kehadiran wisata minat khusus adopsi burung liar di Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo. Ya, di desa ini, kamu bisa mengadopsi berbagai jenis burung liar yang hidup secara alami di kawasan yang berada di lereng perbukitan Menoreh itu.
ADVERTISEMENT
Tentu saja berbeda dengan membeli burung di pasar. Kalau beli burung di pasar, kita boleh membawanya pulang ke rumah, tapi jika mengadopsi di Desa Jatimulyo, kita justru memastikan mereka tetap hidup aman dan bebas di habitat alaminya.
“Seperti pepatah kan, cinta itu enggak harus memiliki,” kelakar Sekretaris Desa Jatimulyo, Mardiyanta, Rabu (6/10).
Anakan burung elang di Jatimulyo. Foto: Kelik Suparno
Apa yang dikatakan Mardiyanta ada benarnya, terkadang jika kita benar-benar mencintai sesuatu kita justru harus melepasnya dan membiarkannya bebas. Hukum itu juga yang berlaku jika kita mencintai burung. Kata dia, kalau orang benar-benar mencintai burung, maka dia tidak akan memeliharanya di dalam kandang. Sebaliknya, dia justru akan membiarkan burung-burung itu terbang bebas dan bernyanyi sepanjang hari di ranting-ranting pohon.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita mencintai seseorang, masa tega ngurung dia, kan sama saja dipenjara,” lanjutnya.
Ya, sejumlah uang yang dibayarkan oleh adopter nantinya akan digunakan untuk perawatan sarang-sarang burung di sana. Ada yang diberikan untuk penemu sarang, penjaga, RT/RW setempat, Kelompok Tani Hutan Wanapaksi sebagai komunitas masyarakat yang jadi penggerak kegiatan tersebut saat ini, serta untuk pemilik lahan tempat sarang burung itu ditemukan. Tujuannya, sebagai jaminan supaya pemilik lahan tidak menebang pohon yang di atasnya terdapat sarang burung.
Harga Paket Adopsi
Sekdes Mardiyanta. Foto: Widi Erha Pradana
Konsep adopsi burung seperti ini sebenarnya sudah dilakukan di beberapa negara di luar negeri. Di Thailand dan India misalnya, konsep adopsi sarang dijalankan untuk melindungi burung jenis rangkong. Di Amerika juga terdapat Adopt-A-Nest untuk jenis elang tiram atau osprey. Sedangkan di Kanada, adopsi burung dijalankan untuk melindungi Great Blue Heron atau bangau biru besar. Di Indonesia, konsep adopi burung seperti ini baru diaplikasikan di desa ujung barat Yogya ini.
ADVERTISEMENT
Ada tiga paket adopsi dengan berbagai jenis burung yang berbeda. Paket pertama dengan harga Rp 1,5 juta, merupakan paket yang berisi burung-burung terancam punah misalnya sikatan cacing atau sulingan, cucak jenggot, burung madu pengantin, burung madu belukar, burung kacamata biasa, burung pelatuk besi, serta prenjak jawa.
Burung pelatuk di sarangnya. Foto: Kelik
Paket dua, dengan harga adopsi Rp 1 juta, berisi kelompok burung pemangsa, burung pengicau, serta burung-burung yang populasinya mulai berkurang. Misalnya, semua jenis elang, cucak kuning, tukik tikus, mungguk beledu, gelatik batu, serat raja udang api.
Sementara paket tiga dengan harga adopsi Rp 800 ribu berisi kelompok burung endemik dan burung pengicau yang tergolong umum. Misalnya cekakak jawa, perenjak cokelat, kehicap ranting, burung madu jawa, serta bentet kelabu.
ADVERTISEMENT
“Sampai sekarang sudah ada sekitar Rp 200 juta uang yang masuk dari para adopter,” Sekdes Mardiyanta.
Sebenarnya, jenis burung yang ada di Jatimulyo jauh lebih banyak dari yang ada di paket adopsi itu. Burung-burung yang dimasukkan ke dalam paket adopsi adalah burung-burung dengan yang populasinya terancam, seperti burung-burung yang biasa jadi favorit para pemburu. Maka tak heran jika kamu berkunjung ke Jatimulyo, kamu akan mendengar nyanyian burung-burung yang cukup meriah.
“Total yang tercatat saat ini ada 106 jenis burung di Jatimulyo,” kata Mardiyanta.
Lenyapnya Nyanyian Burung di Jatimulyo
Kelik Suparno. Foto: Widi Erha Pradana
Sejak kecil, Kelik Suparno adalah pemburu burung yang andal di Jatimulyo. Dia tidak sendiri, hampir semua anak sebayanya adalah pemburu burung, terutama burung-burung kicauan. Anis merah dan sulingan adalah beberapa jenis burung yang paling diburu. Harga sulingan yang merupakan endemik Menoreh bisa mencapai satu juta lebih, sedangkan anis merah lebih fantastis lagi, bisa mencapai sepuluh bahkan belasan juta. Akibatnya, kini anis merah tak bisa lagi ditemukan di Jatimulyo.
ADVERTISEMENT
Selama bertahun-tahun Kelik jadi pemburu burung, hingga kesunyian yang sangat dahsyat dia rasakan. Suatu hari pada 2015, ketika sedang berada di kebunnya, Kelik merasa sangat sepi, tak ada lagi nyanyian burung seperti yang dia dengar setiap hari semasa kecil.
“Jangan-jangan ini gara-gara saya tangkepin, saya langsung merasa bersalah banget. Sejak saat itu saya tobat,” kata Kelik Suparno dengan nada menyesal.
Dia ingin menebus dosanya. Maka sejak 2015, dia ikut aktif dalam upaya menjaga dan mengembalikan lagi populasi burung di desanya hingga terbentuklah Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi, wana berarti hutan, paksi artinya burung. Saat ini, Kelik menjadi Kepala Divisi Konservasi di komunitas perlindungan burung itu.
Wisata desa Jatimulyo. Foto: Widi Erha Pradana
Adopsi burung sendiri pertama kali dilakukan pada 2016, saat itu dimotori oleh Kopi Sulingan dan Yayasan Kutilang Indonesia. Namun saat ini, kegiatan itu sepenuhnya dijalankan oleh KTW Wanapaksi dan seluruh warga Jatimulyo.
ADVERTISEMENT
“Saat ini semua warga mendukung, karena sudah merasakan sendiri manfaatnya,” ujarnya.
Selain mendapatkan tambahan penghasilan dari kegiatan adopsi burung, burung-burung itu juga jadi pemutar roda perekonomian masyarakat. Banyak komunitas-komunitas pecinta burung atau peneliti yang datang ke desa itu untuk melakukan pengamatan dan penelitian burung. Dari kegiatan itu, penginapan-penginapan warga jadi banyak yang menyewa, begitu juga dengan makanan maupun kerajinan yang mereka jual.
Hamparan perbukitan Menoreh di Kulon Progo. Foto: Widi Erha Pradana
Kini, burung sudah masuk ke dalam paket wisata minat khusus di Jatimulyo. Mereka tetap memberikan rezeki kepada masyarakat, tanpa harus ditangkap dan diburu.
“Saya yakin, kalau kita berbuat baik ke alam, alam juga akan baik sama kita, begitu juga sebaliknya,” kata Kelik.
Saat ini, Jatimulyo sudah mulai ramai lagi oleh nyanyian berbagai jenis burung. Perlahan, populasi berbagai jenis burung yang ada di sana mulai pulih, meskipun belum dapat mengembalikan anis merah, sang diva di pegunungan Menoreh. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT