Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Wisata di Kerajaan Elang di Perbukitan Menoreh, Kulon Progo, DIY
9 Oktober 2021 11:53 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
Hamparan luas itu, tempat kita beriwisata, berfoto dengan latar belakang Menoreh, perbukitan hijau yang diselimuti kabut tipis di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu, adalah kerajaan besar yang dipimpin oleh burung-burung pemangsa. Elang brontok (Nisaetu cirrhatus), elang alap jambul (Accipiter trivigatus), elang ular bido (Cpilornis cheela), serta elang hitam (Ictinaetus malayensis), adalah para penguasanya. Kerajaan itu bernama Menoreh.
ADVERTISEMENT
Ketika kita sedang asyik berfoto atau ngopi di kafe-kafe yang kini mulai menjamur di kawasan Kulon Progo, bisa jadi para penguasa Menoreh itu sedang mengawasi kita sembari terbang berputar di udara bebas. Matanya yang tajam ketika bertengger di pohon gayam, sengon, atau pinus yang menjulang tinggi di punggung-punggung bukit Menoreh, membuat kita yang ada di bawah sulit lepas dari pengawasan mereka.
Dari puncak bukit dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter itu, mereka bisa mengawasi setiap musuh, manusia jahat yang menenteng senapan mengincarnya. Dari atas sana, dengan mudah mereka bisa memantau Pantai Selatan hingga Gunung Merapi di sebelah utara. Jika saja kita bisa menumpang di punggungnya, maka tak perlu drone atau pesawat tanpa awak untuk memotret pemandangan ajaib dari atas Menoreh yang membentang ratusan kilometer itu.
Elang brontok dan jajaran petinggi di Kerajaan Menoreh sebenarnya adalah para pemimpin yang menyukai perdamaian. Mereka lebih suka menghindari konflik, apalagi jika sudah berhubungan dengan manusia. Siapapun yang berbuat baik, maka akan dibalas kebaikan dalam bentuk keseimbangan ekologi berupa air yang melimpah, udara yang bersih dan sejuk, atau terkendalinya populasi keragaman hayati di dalam hutan.
ADVERTISEMENT
Tapi jika ada yang berusaha mengusik wilayah kekuasaannya, mereka tak akan segan merobek dan mencabik kulit dan daging para musuhnya dalam senyap dengan paruh dan kuku-kuku tajamnya. Jika nekat berperang dengan mereka, menang maupun kalah, petaka akan menghampirinya dalam bentuk hama tikus yang semakin merajalela, sumber air mati, serta bencana-bencana lain yang akan membuat kita menderita seumur hidup. Kita akan kehilangan bentang Menoreh, dengan semua keindahan yang akan membuat siapapun terperangah ketika melihatnya.
“Tanpa elang dan ekosistemnya, maka keindahan Menoreh hanyalah keindahan semu,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY, Muhammad Wahyudi, Rabu (6/10).
Burung-burung pemangsa adalah burung yang sangat pemilih untuk mendirikan kerajaan. Mereka hanya akan tinggal di tempat-tempat yang masih tersedia banyak sumber makanan serta pepohonan sebagai tempat bertengger, layaknya singgasana di kerajaannya.
ADVERTISEMENT
Selain masih banyak pepohonan tinggi, di Menoreh juga masih tersedia cukup banyak makanan untuk mereka. Mulai dari tupai, bunglon, kadal, tokek, tikus tanah, katak, serta berbagai jenis ular. Dengan keragaman hayati yang masih tersimpan di dalamnya, membuat pegunungan Menoreh ditetapkan sebagai sebagai cagar biosfer oleh UNESCO tepat setahun lalu bersama dengan Gunung Merapi dan Merbabu.
“Hanya ada 19 cagar biosfer di Indonesia, dan salah satunya adalah Menoreh. Sehingga kita patut bersyukur,” ujarnya.
Kembalinya Penguasa Menoreh
Rabu, 6 Oktober 2021, hari yang ditunggu-tunggu oleh Avtur dan Jalu akhirnya tiba. Avtur adalah seekor elang brontok jantan remaja, usianya sekitar setahun. Sedangkan Jalu merupakan elang alap jambul jantan remaja yang usianya juga sekitar setahun.
ADVERTISEMENT
Sejak September 2020, Avtur mesti menjalani proses rehabilitasi di Stasiun Flora Fauna Bunder, Gunungkidul. Sedangkan Jalu menjalani rehabilitasi di pusat rehabilitasi Wildlife Rescue Jogja (WRC) di Kulon Progo.
“Keduanya merupakan penyerahan dari warga,” kata Wahyudi.
Cukup lama hidup di dalam kandang, membuat sifat-sifat liar mereka mulai pudar. Karena itu, mereka perlu direhabilitasi untuk mengembalikan lagi sifat-sifat liarnya sebagai penguasa rimba Menoreh. Sebab, kekuatan dan ketangguhan adalah syarat utama untuk jadi raja rimba.
“Dan saat ini, Avtur dan Jalu sudah memenuhi syarat untuk kembali ke alam liar,” lanjutnya.
Pada tengah siang yang sedikit mendung, Avtur dan Jalu tinggal menunggu detik-detik kebebasannya untuk menjadi penguasa baru di Kerajaan Menoreh. Udara segar Punthuk Gondang Gunung Kelir di Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo, menyambut kedatangan dua penguasa baru itu.
ADVERTISEMENT
Wahyudi mengatakan, lokasi tersebut dipilih dengan beberapa alasan. Pertama, ketersediaan makanan yang memadai. Hal ini penting, karena bagaimanapun mereka cukup lama hidup di dalam kandang rehabilitasi sehingga perlu ketersediaan makanan yang melimpah supaya mereka bisa beradaptasi dan survive.
Desa Jatimulyo juga termasuk kawasan yang ramah untuk berbagai jenis satwa, termasuk burung. Bahkan, desa ini telah memiliki peraturan desa tentang perlindungan lingkungan hidup sejak 2014, dan burung menjadi salah satu prioritas yang paling dilindungi, apapun jenisnya. Dengan begitu, mereka relatif lebih aman terutama dari ancaman perburuan liar.
“Lokasi ini juga dekat dengan kawasan konservasi Suaka Margasatwa Sermo, jadi perlindungannya cukup ketat. Bagaimanapun mereka perlu beradaptasi dulu, kalau nanti sudah terbiasa, di lokasi yang ekstrempun mereka bisa survive,” kata Wahyudi.
ADVERTISEMENT
Satu, dua, tiga. Pintu kandang dibuka, Avtur dan Jalu akhirnya dan benar-benar bebas. Jalu langsung terbang bebas, sembunyi dalam rimbunnya pepohonan di Menoreh. Sedangkan Avtur, bertengger di batang pohon sengon, salah satu pohon tertinggi yang ada di sekitar lokasi pelepasan. Dari atas sana, Avtur seperti sedang memetakan wilayah kekuasaannya yang baru, layaknya seorang raja yang baru saja dilantik.
Burung-burung Itu Membawa Rezeki
Sudah sekitar satu dekade terakhir, masyarakat Desa Jatimulyo menjalin kemitraan dengan Kerajaan Menoreh yang dipimpin oleh para burung pemangsa. Karena yang dipunya hanyalah alam, maka tak ada pilihan lain bagi mereka untuk hidup berdampingan, selaras dengan alam dan seisinya.
Selain pertanian dan perkebunan, pariwisata adalah sumber pendapatan utama masyarakat Jatimulyo. Dulu, berburu burung liar dan menjualnya ke pasar maupun penghobi juga jadi salah satu pendapatan mereka yang cukup menjanjikan. Bagaimana tidak, satu ekor burung anis merah asal Menoreh bisa laku hingga belasan juta, berkali-kali lipat pendapatan mereka dari bertani.
ADVERTISEMENT
Tapi itu dulu, ketika burung anis merah dan sejumlah burung pengicau lain masih banyak ditemui di wilayah Jatimulyo. Saat ini, anis merah bahkan sudah tidak bisa dijumpai lagi di sana. Jatimulyo telah kehilangan satu burung dengan nyanyian yang paling merdu. Mereka mulai merasa kehilangan, rasanya ada sesuatu yang hilang dari hidup mereka, yakni makin sepinya nyanyian-nyanyian burung pada pagi, siang, maupun sore hari.
“Dari situlah kami mulai memperjuangkan pembuatan Perdes tentang pelestarian lingkungan hidup yang salah satu poin utamanya adalah melindungi burung-burung yang ada di Jatimulyo,” kata Sekretaris Desa Jatimulyo, Mardiyanta.
Perlahan, populasi burung di Jatimulyo mulai pulih hingga saat ini ada sekitar 106 jenis burung yang tercatat tinggal di sana. Tak disangka, kehadiran kembali burung-burung itu ternyata menarik minat wisatawan, terutama para pecinta burung. Mereka mulai berdatangan untuk melakukan pengamatan dan penelitian. Seiring berjalannya waktu, burung-burung yang ada di sana kini menjadi salah satu hal utama yang ditawarkan dalam paket wisata di Jatimulyo.
ADVERTISEMENT
“Masuknya wisata minat khusus, dan itu biasanya lebih dari satu hari sehingga mereka harus menginap. Dengan begitu bisa menambah pendapatan untuk warga yang punya homestay, warga yang jualan oleh-oleh atau makanan juga lebih laku,” ujarnya.
Mereka juga membuka peluang untuk orang-orang yang ingin mengadopsi sarang burung yang ada di Jatimulyo. Para donatur memberikan sejumlah uang, nantinya uang tersebut akan digunakan dalam proses perawatan sarang tersebut. Pemilik lahan juga akan mendapat bagian, sebagai jaminan supaya dia tidak menebang pohon yang di atasnya terdapat sarang burung yang telah diadopsi.
Dengan cara itu, bukan hanya burung-burungnya saja yang selamat, tapi juga pohon-pohon tempat tinggal mereka. Dengan selamatnya pohon-pohon itu, maka 40 mata air yang sekarang ada di Jatimulyo juga selamat, udara yang mereka hirup setiap hari tetap bersih dan sejuk, serta risiko tanah longsor yang cukup besar di kawasan itu bisa diminimalkan.
ADVERTISEMENT
“Jadi dimulai dari burung, semuanya bisa selamat, termasuk kehidupan manusia. Soalnya burung kan juga tidak bisa hidup sendiri, banyak komponen pendukung lain yang harus tersedia,” kata Mardiyanta.
Kehadiran dua penguasa baru di Jatimulyo, yakni Avtur dan Jalu, tentu akan memperkuat Kerajaan Menoreh. Ketika kerajaan mereka semakin kuat, maka tawaran yang mereka berikan kepada manusia-manusia yang menjalin kerja sama dengan mereka juga semakin menjanjikan. Sederhananya, rezeki manusia di sekitarnya akan semakin lancar dan besar. Aamiin. (Widi Erha Pradana / YK-1)