Yang Hilang dari Imlek 2021 di Jogja

Konten Media Partner
12 Februari 2021 19:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana perayaan Imlek di Kelenteng Gondomanan, Yogyakarta. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Suasana perayaan Imlek di Kelenteng Gondomanan, Yogyakarta. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
Tanti Setiawati, 68 tahun, keluar dari Kelenteng Fuk Ling Miau Gondomanan, Yogyakarta dengan mata yang masih sembab. Dia baru saja selesai menunaikan ibadah Imlek bersama keluarga kecilnya. Sang cucu yang usianya masih di bawah sepuluh, tampak memegangi dan mengelus bahu Tanti, berusaha untuk menenangkan sang nenek.
ADVERTISEMENT
Imlek tahun ini terasa sangat berat bagi Tanti. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu dirayakan bersama keluarga besar, tahun ini dia hanya merayakan momentum Imlek bersama keluarga kecilnya saja.
“Mau bagaimana lagi, enggak mungkin juga kan memaksa saudara-saudara jauh untuk datang berkumpul di saat masih kayak gini,” kata Tanti dengan nada bergetar menahan tangis, Jumat (12/2).
Kendati ada kebersamaan yang hilang, tapi dia tetap bersyukur karena masih bisa beribadah dengan khusyuk. Di sisi lain, dia juga merasa seperti tak percaya karena bisa melewati hari-hari sulit selama setahun ke belakang.
Ndak bisa ngomong, kita bahagia lah, masih bisa berdoa dan beribadah seperti ini,” katanya diiringi dengan air mata yang membanjir dari membasahi pipinya.
ADVERTISEMENT
Harapan terbesarnya saat ini adalah, pandemi lekas berakhir dan dia bisa berkumpul lagi dengan kerabat, keluarga, dan saudara-saudaranya seperti dulu tanpa diliputi rasa khawatir lagi seperti sekarang.
Tak lama setelah Tanti, Hendrik Putra, 35 tahun, keluar dari dalam kelenteng bersama istri dan anaknya. Dia juga baru selesai menunaikan ibadah di Hari Raya Imlek tahun ini.
“Lebih sepi memang, tapi tidak mengurangi kekhidmatan ibadah ya,” kata Hendrik Putra.
Sama dengan Tanti, Imlek tahun ini Hendrik juga merasa sangat kehilangan momentum berkumpul dengan orang-orang tercinta. Merasa kehilangan itu pasti, tapi memaksakan untuk berkumpul punya konsekuensi yang jauh lebih mengerikan. Sebab, COVID-19 bisa saja membuatnya kehilangan orang-orang tercintanya untuk selama-lamanya.
“Yang terpenting kan Imlek ini jadi momentum untuk bersyukur dan refleksi, supaya ke depan bisa lebih baik,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Imlek di Ketandan
Gerbang Ketandan kawasan Malioboro, Jogja. Foto: Widi Erha Pradana.
Di Ketandan, yang biasanya menjadi pusat perayaan Imlek terbesar di Yogyakarta tak terlihat adanya perbedaan aktivitas yang signifikan. Masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa, toko-toko emas di sepanjang jalan juga masih beroperasi meski tak banyak pelanggan yang datang.
Tokoh Tionghoa sekaligus Ketua RW 05 Kampung Ketandan, Tjundaka Prabawa, mengatakan bahwa perayaan Imlek tahun ini di Ketandan memang tak ada perayaan-perayaan meriah seperti tahun-tahun sebelumnya. Imlek hanya dirayakan di rumah masing-masing bersama keluarga kecil saja.
“Makan bersama keluarga, doa, ritual, sembahyang dan persembahan untuk leluhur masih dilaksanakan,” kata Tjundaka Prabawa.
Menurutnya, banyak sekali yang hilang dari Imlek tahun ini karena pandemi. Sebab, Imlek bukan hanya berbicara tentang hubungan dengan keluarga, tapi juga dengan tetangga dan kerabat jauh.
ADVERTISEMENT
“Fungsi sosialnya memang hilang, kayak lebaran lah kita berkunjung, kita bersapa ria, sekarang kan enggak bisa,” lanjutnya.
Tapi sebenarnya fungsi sosial itu tidak benar-benar hilang. Dengan adanya teknologi, mereka masih bisa bertemu dengan kerabat dan saudara jauh meski hanya melalui layar gawai.
“Untung masih ada teknologi, kalau enggak susah,” kata dia.
Meski begitu, kehilangan-kehilangan ini menurut dia tetap tidak mengurangi kekhusyukan perayaan Imlek tahun ini. Pasalnya, esensi Imlek adalah memanjatkan syukur dan berdoa menyambut hal yang baru.
Jika menarik ke sejarahnya, masyarakat China merayakan Imlek untuk menyambut musim semi setelah musim dingin berakhir. Menjelang musim semi, masyarakat akan bersiap untuk menyambut musim tanam.
“Kalau menyambut musim tanam doanya apa? Minta hujan kan. Itu kenapa setiap Imlek pasti hujan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pekan Budaya Tionghoa Virtual
Suasana perayaan Imlek di Kelenteng Gondomanan, Yogyakarta. Foto: Widi Erha Pradana.
Setiap tahun, biasanya selalu digelar Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) di Kampung Ketandan yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan dari berbagai tempat, baik domestik maupun mancanegara. Tapi tahun ini, perayaan yang penuh gegap gempita terpaksa ditiadakan.
“Tahun ini enggak mungkin diadakan, kita kan enggak mau jadi klaster penyebaran virus ya,” ujar Tjundaka Prabawa.
Sebagai gantinya, akan diadakan PBTY secara virtual mulai 20 sampai 26 Februari nanti. Semua kegiatan perayaan Imlek nantinya akan disiarkan secara langsung, mulai dari pertunjukan barongsai, seminar tentang budaya Tionghoa, dan sebagainya.
“Disiarkan live, tapi enggak mungkin mengundang massa,” ujarnya.
Di Kelenteng Fuk Ling Miau Gondomanan, meski dibuka sebagai tempat ibadah, namun penerapan protokol kesehatan dilakukan secara ketat. Petugas keamanan kelenteng, Wasini, mengatakan bahwa masyarakat yang beribadah di dalam kelenteng dibatasi hanya 25 orang saja untuk menghindari adanya kerumunan di dalam kelenteng.
ADVERTISEMENT
“Tapi tanpa dibatasi pun sepi mas, paling 30 persen lah dari tahun kemarin, sepi banget,” kata Wasini. (Widi Erha Prahana / YK-1)