Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Yang Jogja Pertaruhkan dari Kampung Santri Dusun Mlangi jika Diterabas Jalan Tol
24 Maret 2021 18:09 WIB
ADVERTISEMENT
Jalan tol barangkali adalah kilat masa depan yang tak kuasa kita semua bendung. Dan selalu ada yang dipertaruhkan dalam tiap perubahan. Di Mlangi, ada kisah yang membentang hampir 300 tahun lamanya yang dimulai oleh Kyai Nur Iman, saudara tua pendiri Keraton Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi.

Ya, sejarah panjang telah dilalui Dusun Mlangi di Desa Nogotirto, Gamping, Sleman, sampai dikenal sebagai Kampung Santri seperti sekarang. Lahirnya Kampung Santri di Mlangi, tidak lepas dari adanya Perjanjian Giyanti pada 1755 yang mengakibatkan Kerajaan Mataram terbagi dua: Kasunanan Surokarto dan Kasultanan Ngayogyokarto.
ADVERTISEMENT
Kasunanan Surokarto kemudian dipimpin oleh Sunan Pakubuwana III, sedangkan Kasultanan Ngayogyokarto dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi.
Sebenarnya, putra mahkota yang mestinya meneruskan tahta kerajaan adalah RM Sandiyo, putra pertama Amangkurat IV. Namun konflik internal yang terjadi dalam Kerajaan Mataram membuat RM Sandiyo memilih keluar dari keraton karena tak mau berkompromi dengan Belanda. Dia kemudian tinggal di daerah Kulon Progo, tepatnya di desa Gelugu. Di sana, RM Sandiyo mengubah namanya menjadi Nur Iman.
Mengutip jurnal penelitian Sukron Ma’sum dari IAIN Salatiga pada 2015 dengan judul ‘Kyai Nur Iman dan Kampung Santri Mlangi; Menelisik Harmoni Integrasi Islam dengan Budaya Jawa-Keraton Mataram’, Kiai Nur Iman lah yang nantinya akan menjadi pendiri Dusun Mlangi.
Ketika situasi konflik antara Kasunanan Surokarto dan Kasultanan Ngayogyokarto sudah reda, Pangeran Mangkubumi (24 Maret adalah hari kelahirannya) yang tidak lain adalah adik beda ibu Kiai Nur Iman, mencari saudara tuanya itu. Pangeran Mangkubumi yang kala itu menyamar akhirnya bertemu dengan Kiai Nur Iman di desa Susukan. Keduanya lalu berunding, terkait bagaimana kerajaan harus dijalankan ke depan.
ADVERTISEMENT
Sultan menawarkan kepada Kiai Nur Iman, untuk memilih tinggal di wilayah Surokarto atau Ngayogyokarto. Kiai Nur Iman memilih untuk tinggal di Ngayogyokarto, namun tetap di luar istana.
“Ketetapan Kyai Nur Iman untuk tinggal di luar keraton sangat dihormati oleh Sultan bahkan kemudian Kyai Nur Iman diberi tanah perdikan (tanah yang dibebaskan dari kewajiban membayar upeti) yang terletak di kawasan barat keraton Ngayogyokarto, yang luasnya sejauh terdengar suara bedhug,” tulis Sukron Ma’sum.
Di tanah perdikan itu, Kyai Nur Iman kemudian mendirikan pamulangan (tepat mengajar). Pamulangan berasal dari kata mulangi yang berarti mengajari. Nama ini kemudian dijadikan sebagai nama tempat tersebut sampai sekarang, Mlangi.
Untuk mendukung dusun Mlangi sebagai pusat pendidikan Keraton Ngayogyokarto, dibangunlah Masjid Pathok Nagari pada 1758.
ADVERTISEMENT
Pengasuh Pondok Pesantren Aswaja Nusantara yang juga Sekretaris Yayasan Nur Iman Mlangi, Muhammad Mustafied mengatakan bahwa masjid ini memiliki peran penting dalam kegiatan pendidikan maupun keagamaan di Keraton Ngayogyokarto kala itu.
“Kalau dilihat dari sejarah, fungsi Masjid Pathok Negoro Mlangi itu sangat strategis. Mulai dari fungsi spiritual, kadersasi ulama-santri, sampai pada fungsi pertahanan dan perjuangan,” kata Gus Tafied, sapaan akrab Muhammad Mustafied ketika ditemui beberapa waktu lalu di Ponpes Aswaja Nusantara.
Sebagai fungsi pertahanan dan perjuangan karena Pangeran Diponergoro selain pernah menimba ilmu agama di Mlangi juga menjadikan Mlangi sebagai basis membangun strategi dalam menyiapkan perang gerilya melawan Belanda.
“Salah satu basisnya di Mlangi, beberapa kali perundingan juga dilakukan di Mlangi,” lanjut alumni Filsafat UGM itu.
ADVERTISEMENT
Bagian Cagar Budaya
Dibangun selama berabad-abad, Mlangi telah mewarisi tradisi kebudayaan yang panjang. Tapi menurut Gus Tafied, mewarisi saja tidak cukup, tapi harus ditingkatkan melalui upaya-upaya kontekstualisasi dan revitalisasi supaya bisa terus menjawab problem-problem baru yang muncul.
Upaya ini bertujuan supaya budaya yang ada tetap bisa beradaptasi dengan era digital, globalisasi, maupun budaya kian homogen.
“Tidak cukup hanya nguri-uri, hanya mengonsumsi,” kata Gus Tafied.
Untuk itu, Yayasan Nur Iman saat ini sedang menyiapkan dusun Mlangi sebagai kawasan cagar budaya. Di dalam cagar budaya itu, salah satunya akan dibangun museum kebudayaan untuk menjaga tradisi-tradisi lokal supaya bisa tetap bertahan meski terus digempur modernisasi.
Di Mlangi, saat ini masih ada tradisi kuliner yang masih terjaga seperti bebek mlangi, makanan kecil khas Mlangi, serta makanan khusus yang hanya ada di saat-saat tertentu. Tak hanya kuliner, Mlangi juga memiliki metode pengobatan alternatif yang sampai sekarang masih terus dilestarikan.
ADVERTISEMENT
“Sampai yang dunia medis modern sudah menyerah, itu Mlangi sudah punya mekanisme pengobatannya itu ada,” ujarnya.
Cagar budaya inilah yang nantinya diharapkan dapat membuat warisan budaya di Mlangi bukan sekadar bertahan, tapi terus berkembang sesuai tantangan zaman tanpa tercerabut dari akar luhurnya.
“Itu program jangka panjang, dan itu program peradaban jangka panjang,” kata Gus Tafied.
Lahirnya Islam Mataraman
Mlangi, menurut Gus Tafied merupakan tempat lahirnya Islam Mataraman, yakni Islam yang berwatak Mataram. Islam Mataram merupakan Islam yang akomodatif terhadap budaya lokal sekaligus transformatif.
“Tidak menghancurkan budaya lokal, tetapi melakukan sinergi dengan budaya lokal yang ada,” ujarnya.
Menurut Gus Tafied, Islam Mataraman memiliki napas yang toleran, cinta damai, menghargai keragaman, sekaligus transformatif, mendorong isu-isu transformasi ketidakadilan struktural menjadi keadilan struktural. Karakter Islam yang seperti inilah yang menurutnya dibutuhkan, bukan hanya oleh Yogyakarta tetapi juga oleh Indonesia di tengah maraknya radikalisme.
ADVERTISEMENT
Sementara Mlangi, selain menjadi tempat lahirnya Islam Mataraman, juga menjadi tempat berkembangnya sampai saat ini sehingga bisa tetap relevan dengan perkembangan zaman.
“Sampai sekarang belum ada lembaga yang serius mempelajari Islam Mataraman, padahal bahan-bahannya itu banyak sekali,” ujarnya.
Karena itu, menjaga dan mempertahankan Masjid Pathok Negoro serta dusun Mlangi menurut dia sama saja dengan mempertahankan Islam Mataraman, Islam yang moderat dan transformatif sebagai perekat bangsa yang dibutuhkan dalam konteks transformasi masyarakat Indonesia ke depan.
“Mlangi itu bukan sekadar cagar budaya, tapi ini living tradition, tradisi hidup yang memiliki nilai strategis untuk pengembangan Islam Mataraman,” kata Gus Tafied.
Mlangi juga punya peran vital sebagai pusat perkembangan agama Islam yang moderat di Yogyakarta. Saat ini, ada sedikitnya 14 pondok pesantren yang ada di kawasan dusun Mlangi dengan jumlah santri sekitar 2.000 orang dari berbagai daerah di Indonesia. Itulah yang kemudian mebuat dusun Mlangi dijuluki sebagai Kampung Santri.
ADVERTISEMENT
Pembangunan Jalan Tol
Rencana pembangunan dusun Mlangi sebagai kawasan cagar budaya sekaligus pusat pengembangan Islam Mataraman terancam batal setelah adanya proyek pembangunan jalan tol Solo-Yogya-YIA. Meski sampai sekarang belum ada site plan yang pasti, namun kabar yang berkembang trase tol tersebut akan memotong satu-satunya jalan akses masuk ke dusun Mlangi.
Hal itulah yang membuat Gus Tafied dan masyarakat Mlangi mulai resah. Berkali-kali dilakukan audiensi, tapi sampai sekarang belum ada kesepakatan. Tarik ulur, masih terus terjadi antara Yayasan Nur Iman yang mewakili masyarakat dusun Mlangi dengan pemerintah.
“Kalau tetap dibangun (jalan tol melewati akses masuk Mlangi), itu akan mengganggu keseluruhan kawasan penyangga cagar budaya,” ujar Gus Tafied.
Padahal menurut Gus Tafied, berdasarkan Perda DIY No. 2 tahun 2017 pasal 16, pemanfaatan ruang yang dibolehkan di kawasan strategis Masjid Pathok Negoro hanyalah kegiatan ekonomi skala masyarakat, wisata budaya dan sejarah, serta pendidikan dan kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pada pasal 17 disebutkan bahwa tidak diperbolehkan membuat bangunan baru yang arsitekturnya tidak sesuai dengan Masjid Pathok Negoro.
“Tol itu tidak selaras dengan arsitektur utama dari Masjid Pathok Negoro Mlangi,” ujarnya.
Keberadaan tol yang melintasi satu-satunya akses masuk ke dusun Mlangi, dapat dipastikan akan berdampak secara signifikan terhadap pengembangan cagar budaya di kampung tersebut. Bukan hanya cagar budaya, fungsi pendidikan serta pengembangan Islam yang transformatif menurut Gus Tafied juga akan terganggu, terlebih ketika nantinya tol sudah beroperasi.
“Dan bukan tidak mungkin, lama-lama itu semua akan hilang. Tidak ada lagi Mlangi sebagai pusat pengembangan Islam Mataraman yang punya tradisi budaya luhur. Semuanya benar-benar tinggal sejarah,” kata Gus Tafied. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT