Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Yogya Darurat Guru: 1 SMK Harus Bayar Rp 800 Juta Setahun untuk Gaji Honorer
12 Januari 2023 16:46 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Yogya darurat guru. Hingga akhir 2022, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat ada kekurangan sekitar 540 tenaga pendidik atau guru di DIY untuk jenjang SMA, SMK, dan SLB. Belum termasuk guru SD dan SMP dan perhitungan dari yang pensiun 2022 dan 2023 ini.
ADVERTISEMENT
Imbas kekurangan guru berstatus ASN, sejumlah sekolah di Yogya harus mengeluarkan biaya sampai ratusan juta tiap tahun untuk menggaji guru tidak tetap (GTT) atau guru honorer. Karena gaji guru honorer tidak ditanggung oleh negara, maka seluruh biaya untuk menggaji mereka harus ditanggung sendiri oleh pihak sekolah.
SMK Negeri 2 Depok, Sleman, misalnya, saat ini masih mempekerjakan 20 orang lebih guru honorer. Dengan beban guru honorer sebanyak itu, setiap bulan sekolah harus mengeluarkan biaya antara Rp 60 sampai 70 juta.
“Jadi setahun ya bisa sampai Rp 720 juta sampai Rp 800 juta. Kan kita harus menggaji sesuai UMR,” kata Kepala SMK Negeri 2 Depok, Agus Waluyo, saat dihubungi Rabu (11/1).
Supaya bisa mendapatkan anggaran sebesar itu, maka selama ini sekolah harus meminta sumbangan kepada orang tua siswa melalui komite sekolah. Permasalahannya, kondisi keuangan komite sekolah selepas pandemi COVID-19 ini menurut Agus juga sedang kurang baik.
ADVERTISEMENT
“Jadi berat sekali memang bagi sekolah, karena jujur saja keuangan komite juga sedang sulit,” kata dia.
Apalagi saat ini payung hukum terkait dengan sumbangan dari orang tua siswa masih belum jelas. Sehingga ketika sekolah meminta sumbangan kepada orang tua kerap kali menjadi masalah karena dianggap sebagai pungutan liar (pungli) oleh sebagian pihak.
“Seperti yang kemarin kami alami juga, yang ujungnya dipermasalahkan di ORI (Ombudsman Republik Indonesia), padahal sekolah benar-benar membutuhkan seumbangan itu,” kata Agus Waluyo.