Konten Media Partner

Yogyakarta Diguyur Hujan Es, Biasa atau Alarm Bahaya?

3 Maret 2021 17:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hujan es yang sempat diabadikan oleh seorang warga Jalan Kaliurang, Sleman. Foto: Novia Intan.
zoom-in-whitePerbesar
Hujan es yang sempat diabadikan oleh seorang warga Jalan Kaliurang, Sleman. Foto: Novia Intan.
ADVERTISEMENT
Sejumlah wilayah Kota Yogyakarta dan Sleman diguyur hujan deras disertai butiran kristal es seukuran kelereng pada Rabu (3/3) siang. Sehari sebelumnya, hujan es juga terjadi di kawasan Turi, Sleman.
ADVERTISEMENT
Pakar Iklim dari Geografi UGM, Emilya Nurjani, mengatakan bahwa fenomena hujan kristal es seperti ini sebenarnya normal terjadi di daerah dengan zona atau tipe iklim manapun. Namun jika terjadi di daerah dengan iklim tropis, ukurannya tidak sebesar ketika terjadi pada musim dingin di daerah-daerah dengan empat musim.
“Karena kristal es yang jatuh dari bagian bagian atas awan cumulonimbus (Cb) mengalami pencairan saat sampai di troposfer bagian bawah karena suhu udara yang lebih tinggi atau panas,” kata Emilya Nurjani ketika dihubungi, Rabu (3/3).
Namun yang perlu menjadi catatan adalah, apakah suhu udara troposfer bagian atas mengalami penurunan atau justru karena sering tidak stabil akibat pemanasan global. Hal ini belum bisa dipastikan karena selama ini teknologi yang dimiliki oleh Indonesia baru bisa melakukan pengukuran di permukaan.
ADVERTISEMENT
“Belum intensif secara vertikal, sebab alat ukur dan biaya yang cukup tinggi,” lanjutnya.
Sementara itu, pemicu hujan es yang terjadi di Yogyakarta pada Rabu siang menurutnya lebih disebabkan karena adanya pertumbuhan awan Cb yang sangat intensif dan didukung oleh massa udara yang tidak stabil. Dari beberapa kejadian hujan es di Indonesia, memang sering terjadi pada siang hari menjelang sore ketika kondisi cuaca beberapa hari sebelumnya cukup panas tanpa hujan namun tingkat kelembaban cukup tinggi.
“Sehingg pertumbuhan awan Cb cukup intensif,” ujarnya.
Biasanya, fenomena hujan kristal es ini tidak akan menimbulkan bencana yang cukup besar ketika ukuran kristalnya kecil-kecil seperti yang biasa terjadi di daerah tropis. Kendati demikian, ukuran kristal es yang cukup besar biasanya akan merusak beberapa fasilitas yang rentan seperti atap mobil atau kaca jendela.
ADVERTISEMENT
“Kalau terkena kepala juga akan terasa sakit,” kata Emilya Nurjani.
Bagaimana Hujan Es Terjadi
Ilustrasi butiran hujan es. Foto: Pixabay
Hujan kristal es atau biasa disebut hail merupakan jenis atau bentuk rainfall. Rainfall merupakan satu bentuk presipitasi atau endapan hasil proses kondensasi yang terbentuk di lapisan troposfer yang jatuh ke permukaan bumi. Selain hujan kristal es, bentuk lain dari rainfall bisa berupa salju, freezing rain, serta sleet.
“Hail terbentuk di awan cumulonimbus yang tumbuh secara vertikal mencapai ketinggian 10 sampai 20 kilometer dari permukaan,” kata Emilya Nurjani.
Awan Cb yang tumbuh melebihi ketinggian titik beku air akan membuat bagian bawahnya mengandung air dan bagian atasnya berbentuk es karena melebihi titik beku. Bagian atas Cb biasa disebut dengan istilah awan dingin, sementara bagian bawahnya disebut sebagai awan panas.
ADVERTISEMENT
“Jadi sebenarnya ini wajar saja jika terjadi di daerah tropis,” lanjutnya.
Mengutip artikel yang ditulis oleh Kepala Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Hary Tirto Djatmiko, fenomena hujan kristal es memang merupakan fenomena cuaca ilmiah yang biasa terjadi. Di daerah tropis, fenomena hujan es disertai kilat dan angin kencang biasanya terjadi pada masa transisi atau pancaroba musim.
“Baik dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya,” tulis Hary Tirto Djatmiko.
Indikasi Hujan Es
Ilustrasi awan. Foto: Pixabay
BMKG memprakirakan hujan es di Yogyakarta akan terjadi lagi hingga April nanti. Ada sejumlah indikasi terjadinya hujan lebat atau hujan es dengan durasi singkat.
Sehari sebelum terjadinya hujan es, udara pada malam hari hingga pagi akan terasa panas dan gerah. Hal ini disebabkan karena adanya radiasi matahari yang cukup kuat.
ADVERTISEMENT
Mulai pukul 10.00 pagi, akan terlihat tumbuh awan cumulus atau awan putih berlapis-lapis. Di antara awan tersebut ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepi sangat jelas berwarna abu-abu yang menjulang tinggi seperti kol.
“Tahap berikutnya awan tersebut akan cepat berubah menjadi abu-abu atau hitam yang dikenal dengan awan cumulonimbu,” tulisnya.
Setelah itu, dahan-dahan atau ranting pohon akan mulai bergoyang cepat dan terasa ada sentuhan udara dingin. Biasanya, hujan yang pertama kali turun adalah hujan deras tiba-tiba.
“Jika hujannya gerimis maka kejadian angin kencang jauh dari tempat kita,” lanjutnya.
Jika selama satu sampai tiga hari berturut-turut tidak ada hujan pada musim transisi atau pancaroba, maka ada indikasi potensi hujan lebat yang pertama kali turun diikuti dengan angin kencang, baik yang masuk dalam kategori puting beliung maupun tidak. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT