Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerita Berburu Kuliner Hidden Gem Enak di Tangerang
26 Agustus 2024 15:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Pandu Aryantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya akan menyampaikan cerita tentang perburuan kuliner hidden gem di Tangerang.
ADVERTISEMENT
Alasan Berburu Nasi Uduk yang hidden gem di Tangerang
Sabtu kemarin (24/8), saya membawa keluarga berburu kuliner di Tangerang. Perburuan kuliner ini merupakan reaksi atas pertanyaan isteri saya beberapa hari lalu saat kami melewati kerumunan orang yang mengelilingi sebuah kedai di Tangerang.
“Itu warung kok ramai ya?”
Saat saya mendengar pertanyaan berkode itu, saya tidak menjawab apapun. Saya memilih untuk mendengarkan dan akan merespon dengan tindakan di waktu yang tepat. Begini semestinya pemerintah Konoha dalam berkomunikasi dengan rakyat: mendengarkan dan bertindak. Bukan berkilah saat ada yang mengritik. Asyik!
Memulai Perburuan Nasi Uduk
Kami berangkat dari rumah di Jakarta di sore hari sekitar pukul 16.30 WIB. Seperti biasa, kami menaiki motor melewati jalan Daan Mogot yang acapkali ramai. Isteri saya berasumsi kedai itu buka sehabis salat asar, karena kami melewati kedai itu beberapa hari yang lalu sekitar pukul 17.00 WIB. Kebetulan, jalan Daan Mogot kali ini ramai, namun lancar. Sebagai pengendara motor, saya merasa cukup bahagia dengan situasi jalan yang seperti ini. Sesekali, saya menatap ke arah ufuk barat. Terlihat matahari masih dengan sinar kuningnya menerangi jalan dan sekitarnya. Saya berkata kepada isteri saya di balik helm yang tertutup rapat sambil menunjuk matahari yang tampak seakan dekat dengan kami.
ADVERTISEMENT
“Suhu udara akhir-akhir ini panas banget. Aku pikir karena itu (matahari) kayak deket banget sama bumi!” teriak saya.
Samar terdengar suara isteri saya menimpali ucapan saya. Tampaknya, suaranya ditelan oleh angin.
Motor kami melaju melewati Terminal Kalideres yang tidak pernah beristirahat. Selalu ramai dengan bus dan penumpang yang lalu-lalang.
Motor saya terus melaju dengan kecepatan 40–60 km/jam, hingga melewati pasar Kebon Besar di Batu Ceper. Dari pasar ini, saya mempercepat laju motor hingga tiba di area gedung AirNav. Saat menemui pertigaan di dekat AirNav, saya belok kanan. Tak jauh dari pertigaan, tampak sebuah jembatan. Segera, motor saya belok kiri dan berjalan melambat.
“Benar di sini, kan?” teriak saya.
“Iya!” jawab isteri saya lirih. Tampaknya, dia ragu.
ADVERTISEMENT
Saya menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak melihat warung makan yang ramai di sekitar.
Akhirnya, saya memutuskan untuk memutar motor ke arah berlawanan, kembali ke jembatan tadi. Sesampai di jembatan, motor saya belok kiri, masuk ke jalan utama, lalu belok kanan.
Menikmati Pemandangan Yang Menyejukan Mata
Isteri saya meminta berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan. Segera, saya melambatkan laju mesin motor, menepi di pinggir jalan. Tampak di sekitar kami, beberapa orang sedang duduk-duduk di tepi jalan. Dari kejauhan, terlihat pesawat-pesawat yang sedang lepas landas dan mendarat. Saya merasakan angin merambat pelan, meniup jaket hoodie saya. Situasi seperti ini membuat hati saya tenang.
Tidak beberapa lama, langit tampak mulai gelap. Karena khawatir kemalaman, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mencari kedai nasi uduk itu.
ADVERTISEMENT
Perburuan Nasi Uduk Berhasil
Motor saya melaju kembali mengikuti jalan. 15 menit perjalanan, kami sampai di kedai incaran isteri saya. Isteri saya menepuk pundak saya — tanda untuk menghentikan motor.
“Apa kamu yakin ini tempatnya?” tanya saya saat sudah menepi di depan kedai.
“Iya!” seru dia dari belakang pundak saya.
Akhirnya, saya memarkirkan motor saya persis di depan kedai. Setelah mesin motor dimatikan, kami turun dari motor. Saya membuka telepon selular dan mencari titik lokasi kedai ini di Google Maps. Untuk melihat lokasinya, silakan klik di sini.
Saya mengamati kedai ini. Kedai mungil ini bernama Nasi Uduk Al-Mutaqin. Terlihat beberapa kursi disediakan agar pembeli bisa makan di tempat. Selain itu, kedai ini menyediakan gorengan yang lengkap seperti tempe, tahu isi dan bakwan. Kelihatannya, pemilik kedai ini sepasang suami-isteri. Mereka tampak kompak dalam berjualan. Sang suami membuat gorengan, sedangkan sang isteri melayani pembeli. Sesekali, mereka bertukar tugas.
ADVERTISEMENT
Menikmati Nasi Uduk di Pinggir Jalan
Isteri saya memesan dua piring nasi uduk lengkap dengan telur balado dan tiga gorengan. Satu porsi untuk saya, sedangkan satu porsi lain untuk isteri dan anak saya. Satu porsi nasi uduk dilengkapi dengan telur balado, bihun, orek tempe dan kerupuk. Selain itu, ada dua pilihan sambal: sambal goreng dan sambal kacang.
Kami menikmati nasi uduk ini di tengah kendaraan yang berjalan lalu-lalang. Saya pikir ini faktor yang membuat kedai ini ramai. Alasannya, selain lokasi berjualan yang strategis, kedai ini menjual gorengan yang selalu dalam keadaan panas.
Setelah selesai menikmati nasi uduk, isteri saya berdiri, hendak membayar.
“Sudah pak! Dua nasi uduk dan tiga gorengan. Berapa ya?” tanya isteri saya.
ADVERTISEMENT
Si bapak tampak sedang berhitung.
“Rp. 28.000 ya bu,” jawabnya.
Isteri saya menanyakan kepada si bapak harga per menu.
“Satu porsi nasi uduk itu Rp. 8.000. Jika tambah satu telur balado, jadi Rp. 12.000. 4 (buah) gorengan itu Rp. 5.000,” jelas si bapak sambil tersenyum
Segera, isteri saya memberikan uang tunai kepada sang pemilik.
"Buka dari jam berapa pak?" tanya isteri saya.
"Buka dari jam 4 sore sampai selesai," jawab si bapak sambil menyodorkan uang kembalian kepada isteri saya.
Setelah isteri saya menyelesaikan pembayaran, saya menuju motor. Area parkir terbilang sempit dan susah untuk memutar motor saya yang berat, maka saya terpaksa menarik motor ke belakang dengan memotong jalan agar bisa memutar motor saya. Saat hendak memotong jalan, tiba-tiba dari belakang saya, si bapak turut membantu menarik motor saya.
ADVERTISEMENT
“Terima kasih banyak, pak,” ujar saya.
Si bapak mengangguk dengan senyuman.
Segera, saya menyalakan motor dan melaju melalui jalan yang tadi kami lewati untuk pulang ke rumah.