Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Derita Anak Kos Hadapi Vertigo Sendiri
25 Agustus 2024 9:07 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Pandu Aryantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menjadi anak kos
ADVERTISEMENT
Saya ingin menyampaikan sebuah cerita tentang bagaimana saya mengalami gejala vertigo yang menyerang secara tiba-tiba. Saat itu, saya masih berstatus sebagai mahasiswa sekaligus anak kos yang indekos di sebuah rumah kos di daerah Solo. Rumah kos saya berwarna pink yang ceria. Unik, bukan? Jika anda lewat rumah kos saya, anda pasti akan mengira itu rumah kos wanita. Tapi, jika anda mendekati pintu gerbangnya, secara otomatis mata anda akan tertuju ke sebuah kertas kumal yang dilakban dengan bertuliskan “Dilarang Membawa Wanita ke dalam Kos!!!”
ADVERTISEMENT
Semenjak berstatus sebagai anak kos, tentu saya harus mengerjakan semua serba sendiri seperti mencuci pakaian, mengurus kamar dan makan. Untuk urusan makan, saya biasanya mengandalkan masakan ibu di rumah, sedangkan di rumah kos, saya terpaksa harus mencari makan sendiri. Namun, saya tidak bimbang karena ada warung makan di seberang rumah kos. Saya hanya cukup berjalan kurang dari satu menit untuk menjangkau warung ini. Selain dekat dengan rumah kos, warung makan ini berdiri tepat di pinggir hamparan sawah yang hijau — mirip seperti saung. Pemandangan yang menyejukan mata ini membuat betah setiap pembeli yang makan di sana. Tidak hanya menyejukan mata, harga untuk satu nasi rames juga sangat ramah bagi kantong pembeli. Sebut saja sepiring nasi rames yang terdiri atas nasi, sayur dan gorengan beserta es teh manis, dipatok dengan harga Rp. 7.000. Murah meriah, bukan? Selain murah, warung makan yang memiliki sebutan warung “Mas Kent” ini juga menjajakan aneka gorengan dan kudapan yang bisa membuat lidah anda bergoyang.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, saya selalu jatuh hati dengan kuliner, namun kebiasaan merebah mengalahkan itu. Alhasil, saya malas keluar rumah kos, sehingga suka menunda makan dan malah tidak makan sama sekali seharian penuh. Di kamar, saya menghabiskan waktu untuk bermain gim atau membaca novel. Kala itu, saya sedang tenggelam dalam gim bernama Mafia, dan dalam proses menamatkan novel Padang Bulan dan Cinta di dalam Gelas yang ternyata adalah dua novel dalam satu buku.
Serangan vertigo
Suatu malam, saya, dengan mengenakan baju koko dan sarung, sedang melangkah pulang dari salat magrib di masjid dalam keadaan perut lapar — saya hanya baru makan sekali. Tidak jauh dari posisi saya berjalan, tampak warung mas Kent. Saya tidak mampir ke warung itu, malahan berjalan melewatinya dengan elegan bak model yang sedang berjalan di atas panggung peragaan (catwalk). Sesampainya di rumah kos, saya membuka pintu kamar, lalu melemparkan badan ke kasur. Saat sedang berbaring, tiba-tiba kepala saya terasa sangat sakit seakan dihantam dengan palu gada.
ADVERTISEMENT
Saya duduk, menghela nafas, mencoba untuk tenang. Namun, tidak semudah yang saya harapkan. Saya sangat panik! Bagaimana saya tidak panik? Rasa sakit ini menyerang secara tiba-tiba di waktu saya hendak beristirahat. Saya merasa belum siap. Mungkin, jika penyakit ini menunjukan gejala, saya bisa menangkisnya dengan meminum obat sakit kepala. Lalu, obat saya akan menghajarnya tanpa mengenal ampun. Namun, bagaimana jika ini bukan penyakit kepala biasa? Obat saya mungkin akan menyerah karena kekuatannya tidak sebanding. Agar bisa mengalahkan penyakit ini, saya harus mencari cara yang jitu. Mengungkap penyakit ini adalah salah satu langkahnya. Namun, bagaimana bisa saya mengetahui penyakit ini, kecuali jika saya seorang dokter?
Tidak berhenti di situ, pandangan saya berputar-putar amat dahsyat. Cobalah memutar badan anda 360° berulang kali sambil menutup mata, setelah itu berhenti, lalu bukalah kedua mata anda dan lihatlah ke depan. Begitulah kondisi pandangan saya. Saya harus mencari cara untuk melawannya. Cara pertama. Saya mencoba memfokuskan pandangan pada satu titik dan menahannya. Saya mencoba menahan pandangan sebisa mungkin, namun mata saya susah sekali dijinakan. Cara berikutnya. Saya memaksa kedua bola mata saya seakan membuat lingkaran dengan gerakan melawan arah jarum jam. Dengan begitu, pandangan yang berputar searah jarum jam, bisa kembali normal. Namun, seperti mendorong sebuah truk yang mogok di tanjakan sendirian, sia-sia. Gagal.
ADVERTISEMENT
Penyakit ini membombardir saya dengan serangan lain. Saya merasa sangat mual dan keringat dingin merembes keluar melalui pori-pori kulit saya yang lebar. Perut bak diaduk dan baju koko saya basah. Saya takut jika disuruh untuk muntah. Tapi, kali ini saya memberanikan diri untuk melakukannya. Saya pikir ini bisa menjadi langkah cerdas untuk mengurangi rasa sakit ini. Saya beringsut keluar kamar menuju teras. Teras itu terdiri atas area jemur pakaian yang di bawahnya ada saluran kecil untuk pembuangan air. Saya bercangkung (jongkok) di dekatnya sambil berpegangan pada tiang jemuran. Memasukan jari telunjuk saya ke mulut saya, memancing agar bisa mengeluarkan muntah. Saat itu juga, keluarlah muntahan dari dalam mulut saya. Namun, bukan makanan, melainkan air berlendir. Saya mengulang kembali sampai tiga kali. Hasilnya pun sama. Namun, saya merasa mual saya mulai sedikit berkurang. Setelah muntah, saya beringsut lagi, masuk menuju kamar, lalu mendekati lemari kecil, mengambil baju dan mengganti baju koko saya yang basah dengan baju berlengan pendek.
ADVERTISEMENT
Saat memakai baju, saya terpikir akan telepon seluler saya yang tergeletak di meja belajar. Setelah selesai berpakaian, saya merangkak terseok-seok menuju meja itu dengan pandangan yang masih berputar-putar. Meskipun sulit, saya berusaha fokus untuk menatap telepon seluler di meja itu. Tangan saya berhasil meraih telepon. Dengan pandangan yang masih kacau dan keringat yang mengucur deras, saya menatap layar telepon, mencari kontak nomor telepon ibu saya. Akhirnya, saya berhasil menemukannya. Saya merasa lega. Segera, saya menekan tombol gagang telepon, lalu tombol pengeras suara.
“Maaf, pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini.” Suara rekaman wanita terdengar dari telepon.
Saya menghela nafas, melantunkan istigfar kembali. Ya Tuhan, saya lupa mengisi pulsa. Sial. Tangan saya yang berpeluh, bergetar cemas. Apa yang harus saya lakukan? Ya ampun! Bodoh sekali saya ini. Bukankah saya bisa menggunakan fasilitas Call Me? Sebuah fitur di mana penelepon melakukan panggilan tidak terjawab kepada penerima dengan biaya dibebankan kepada penerima. Tidak pikir lama, dengan pandangan yang masih berputar, saya menekan *808*081XXXXXX#, lalu tombol gagang telepon warna hijau.
ADVERTISEMENT
Secepat kilat, notifikasi muncul di layar. Saya mendapatkan pesan bahwa call me saya berhasil. Alhamdulillah. Rasa panik sedikit berkurang.
Tidak lama, dering panggilan telepon saya berbunyi. Saya melihat ke layar telepon. Ibu saya memanggil. Jempol saya secepat kilat menekan gagang telepon warna hijau di layar telepon.
“Assalamualaikum. Kamu kenapa, nak?”
Suara ibu terdengar masuk ke relung hati. Mendengar suara beliau dari seberang telepon membuat saya lega sekali. Dengan terbata-bata, saya menceritakan kepada beliau kondisi saya saat ini.
“Malam ini juga ibu akan ke sana.” Suara ibu tegas, namun menyimpan perasaan cemas yang mendalam.
Saya melihat waktu di telepon seluler saya: 18:46. Ibu akan sampai dalam waktu 5 jam. Saya harus mampu bertahan. Saya bersandar di dinding sambil melantunkan istigfar. Saya melihat keluar jendela. Awan gelap menyelimuti langit. Suara desir angin terdengar. Walaupun saya tidak mampu melawan penyakit ini, saya masih kuasa untuk menikmati keindahan malam.
ADVERTISEMENT