Konten dari Pengguna

Menjadi Pembelajar ala Musashi Miyamoto

Pandu Utama Manggala
Aspiring to be an intellectual-activist diplomat - Caraka Bhuwana - Sesdilu 76 - @ppidunia #AkselerasiInspirasi - "you only get what you give" https://www.indonesiamengglobal.com/2019/01/pandu-utama-manggala-an-intellectual-activist-and-indonesia
18 Juni 2024 15:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandu Utama Manggala tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Duel Musashi Miyamoto dengan Sasaki Kojiro (dokumentasi penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Duel Musashi Miyamoto dengan Sasaki Kojiro (dokumentasi penulis)
Di tengah ramainya sorotan publik terkait isu Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan diksi bahwa perguruan tinggi adalah pendidikan tersier, rasanya kita perlu menilik perjalanan Musashi Miyamoto dalam bukunya ‘Gorin No Sho’.
ADVERTISEMENT
Musashi Miyamoto sendiri adalah seorang ronin terkenal yang berasal dari Gifu, Jepang dan hidup pada sekitar abad 16. Sejak berusia 15 tahun, Musashi pergi berkelana hingga ke Selatan Jepang untuk menantang duel para samurai.
Musashi kemudian menjadi legenda samurai Jepang karena berhasil melewati 60 duel tanpa kekalahan. Pertarungannya yang sangat terkenal sekaligus menjadi pertarungan terakhirnya adalah dengan Sasaki Kojiro di sebuah pulau di Yamaguchi Ken pada usia 29 tahun. Setelah memenangkan duel dengan Sasaki Kojiro, Musashi kemudian pergi menepi, menulis buku ‘Gorin No Sho’ pada usia 45 tahun dan pada 49 tahun Musashi meninggal dunia tanpa memiliki istri dan keturunan.
Lantas pelajaran apa yang dapat dipetik dari kisah Musashi ini? Musashi sendiri adalah seorang samurai yang belajar secara otodidak, tanpa melalui sekolah ilmu pedang yang formal, berbeda dari Sasaki Kojiro yang mengikuti “sekolah” samurai. Dari perjalanan hidup Musashi Miyamoto inilah kita dapat belajar pentingnya mengenai adaptasi, pembelajaran, konsistensi, dan momentum.
Filosofi Kemenangan Musashi Miyamoto (dokumentasi penulis)
Nilai-nilai tersebut terefleksikan dari buku ‘Gorin No Sho’ yang membahas filosofi dari 5 elemen, yakni ‘Angin’, ‘Api’, ‘Air’, ‘Bumi’, dan ‘Hampa’.
ADVERTISEMENT
Elemen ‘Bumi’ mengajarkan bahwa semua orang memiliki jalannya masing-masing, namun dalam setiap jalan tersebut selalu ada konsekuensi dan pertimbangannya sendiri. ‘Air’ mengajarkan bahwa seorang pembelajar harus dapat menyesuaikan dengan berbagai karakter dan kultur dimana ia hidup. ‘
Api’ mengajarkan untuk tidak mengganggap remeh musuh, baik itu yang berjumlah ratusan atau hanya satu orang. Sebagaimana yang ditekankan Subcomandate Marcos, seorang pejuang pergerakan Meksiko: "satu orang yang bergerak lewat kata-kata, lebih tajam dari sekadar sebutir peluru; lebih mematikan ketimbang racun".
‘Angin’ mengajarkan untuk mempertontonkan “penghinaan” kepada tempat belajar yang menonjolkan materi dan status. Strategi “penghinaan” inilah yang dijalankan Musashi ketika mengalahkan Kojiro, yakni dengan secara sengaja datang terlambat ke medan pertempuran untuk menguasai emosi Kojiro.
ADVERTISEMENT
Dan terakhir, ‘Hampa’ mengajarkan pada kesehajaan. Hampa bukan berarti kosong atau kurang, tapi untuk selalu belajar pada apa yang tidak ada. Hampa ini adalah kunci dari seorang ‘pembelajar’ itu sendiri: semakin berisi maka haruslah semakin merunduk.
Dengan memahami filosofi ‘Gorin No Sho’, seorang pembelajar akan dapat memahami esensi dari pendidikan. Pendidikan adalah untuk "mempertajam pikiran; memperhalus perasaan; dan menumbuhkan kebijakan".
Dan sebagaimana Musashi yang belajar ilmu pedang secara otodidak, ilmu itu tidak hanya didapat dari ruang kelas, tetapi juga dari masyarakat. Untuk itulah saya melihat bahwa sebagai pembelajar, kaum terdidik harus dapat juga aktif di dalam dan di luar ruang kuliah. Seorang pembelajar yang baik harus dapat mengikuti dual-track dengan baik, yakni trek akademik dan trek kepemimpinan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Seiring visi 'Indonesia Emas 2045' yang telah dicanangkan Pemerintah Indonesia dengan segala mimpi-mimpi besarnya, kita perlu berefleksi, Indonesia seperti apa yang kita ingin hadirkan pada 20 tahun ke depan dan dimanakah peran kita ketika itu.
Visi Indonesia Emas 2045 bukanlah suatu distant future. Generasi pemuda saat inilah yang insyaAllah akan memegang kemudi Indonesia di era "emasnya" tersebut, baik itu dalam posisi strategis di pemerintahan, bisnis ataupun dunia akademik.
Karena itu, sebagai generasi terdidik Indonesia saat ini, sebagaimana pembelajaran dari Miyamoto, kita harus terus saling memperkuat jejaring dan beradaptasi dengan dunia yang terus berubah.
Kita telah belajar bahwa bangsa Indonesia dibangun oleh kaum terdidik seperti Soekarno, Hatta, Natsir, Sjahrir dan lainnya. Sekarang, giliran kitalah yang menjadi pendorong untuk kemajuan bangsa. Sebagai pelajar yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi, suka atau tidak suka, kita adalah bagian dari elit Indonesia. Karena dari sekitar 275 juta penduduk Indonesia, data BPS 2022 menunjukan hanya 10,15% masyarakat yang dapat menamatkan pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Lalu, pertanyaan terpenting kemudian hadir. Caranya bagaimana? Tentu karena setiap dari kita memiliki finger print yang berbeda-beda, maka narasi untuk berbuat pun pastinya akan berbeda-beda dan memiliki kekhasan masing-masing. Namun demikian, benang merahnya adalah konsistensi dalam berkontribusi.
Jadilah manusia yang kata-kata dan langkahnya membuat perubahan yang positif. Keterdidikan bukan semata-mata membuat seseorang meraih cita-cita individual, tetapi keterdidikan haruslah menjadi instrumen untuk menggerakan, untuk menginspirasi dan untuk memberi gagasan. Inilah esensi seorang pembelajar ala Musashi: seorang pembelajar yang cerdas, inspiratif dan bersahaja.
Patung di Nagasaki, menggambarkan harapan terhadap pemuda (dokumentasi penulis)
Inilah yang harus menjadi pegangan kita dalam upaya mencapai visi Indonesia Emas 2045. Dengan berupaya menjadi bagian dari sebuah dinamika peradaban, menjadi penggerak untuk mewujudkan harapan akan Indonesia yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Apalah artinya kita menempuh pendidikan tinggi, apabila tidak membawa manfaat buat Indonesia. Apalah arti gelar yang kita miliki, apabila tidak memiliki kesadaran akan tanggung jawab dan peran sosial yang kita miliki. Sebagaimana bung Hatta pernah berujar: “Hanya satu tanah yang dapat disebut Tanah Airku, ia berkembang dengan usaha. Dan usaha itu, ialah usahaku”.
Sulit rasanya membayangkan Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang besar dan bermartabat apabila kita tidak memulainya dengan usaha dan mimpi kita. Marilah kita sama-sama menjadi bagian dari gerakan intelektual Indonesia, menjadi insan intelektual yang progresif yang tidak hanya berwacana saja dan tidak hanya belajar serta bergerak untuk kemajuan diri sendiri saja, tetapi berpikir dan bertindak untuk bangsa dan agama.
ADVERTISEMENT
Keep fight and keep our faith, as always!