Privasi Data dan Polarisasi

Konten dari Pengguna
11 Mei 2018 21:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wck tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Privasi Data dan Polarisasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Barangkali kita tidak perlu merisaukan data mengenai tingkat literasi kita yang berada di peringkat 60 dari total 61 negara. Kalau ditilik secara serius tentu catatan tersebut amat mengkhawatirkan, tapi sebenarnya kita tidak seburuk data yang dipaparkan oleh UNESCO tersebut. Untuk menjelaskannya kita perlu mengenali siapa kita terlebih dahulu. Kita adalah masyarakat berisik yaitu masyarakat yang melampaui buku teks, literatur, atau catatan sejarah.
ADVERTISEMENT
Mengenali masyarakat berisik mudah saja, yaitu ketika keinginan berkomentar lebih besar daripada keinginan untuk membaca. Ciri lainnya yaitu ketika kecepatan memijit gawai mengalahkan kecepatan berpikir logis. Boro-boro konstruktif. Memiliki pandangan, pendapat, dan persepsi atas suatu fenomena tentu baik. Misalnya dalam konteks pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah. Akan tetapi, jika minat berkomentar yang tinggi ditimpali dengan penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian tentu berdampak fatal, untuk tidak mengatakan destruktif. Lebih jauh, jika terus dilanggengkan akan mengancam demokrasi.
Dalam konteks politik elektoral, rakyat memiliki kuasa penuh untuk memilih pemimpinnya secara bebas, jujur, dan adil. Apakah demikian, tentu menjadi subjek perdebatan lanjutan. Ketika menuju pemilihan upaya-upaya intimidatif, meluasnya penyebaran berita bohong, atau isu SARA digoreng menjadi senjata pamungkas para politisi untuk bertarung memperebutkan kekuasaan. Meminjam tesis Nicollo Machiavelli, misalnya, ia memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang cenderung diselenggarakan oleh setiap penguasa lewat berbagai cara. Cara apapun tentu tidak menjadi persoalan.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi pada perpolitikan Indonesia belakangan ini tentu jauh dari pertarungan ide dan gagasan. Atau seperti cita-cita pemikir Marxis asal Italia, Antonio Gramsci dalam bukunya Selections from Prison Notebooks. Gramsci memandang bahwa kekuasaan dapat dipertahankan lewat satu prinsip yang disebutnya prinsip “hegemoni”. Ia melihat bagaimana pertarungan ide-ide itu dapat mempengaruhi hasrat dan tingkah laku seseorang lewat cara-cara yang lebih manusiawi.
Manipulasi Data
Jauh panggang dari api, politik hari ini ternyata sangatlah brutal dan liar. Cara-cara kekerasan dan represi yang dibayangkan Machiavelli sebelumnya untuk mempertahankan atau memperebutkan kekuasaan berganti menjadi area pertarungan data. Data-data tersebut diolah, dimanipulasi, dan disebarkan secara masif untuk mempengaruhi perilaku pemilih untuk memilih calon penguasa tertentu.
ADVERTISEMENT
Hal ini pula yang terjadi pada pemilihan presiden AS 2016 lalu. Bagaimana lembaga konsultan politik berbasis di London, Cambridge Analytica yang ditunjuk oleh Trump, terlibat dalam penyalahgunaan data privasi 87 juta pengguna Facebook untuk kepentingan para kliennya. Dari data tersebut, 50 juta di antaranya adalah warga AS. Lucunya di tengah upaya pendalaman dan penyidikan yang tengah berlangsung, Cambridge Analytica secara resmi menyatakan pailit pada 2 Mei lalu. Mereka mengaku ditinggal para kliennya dan mengeluarkan biaya yang besar untuk menghadapai proses hukum yang membelitnya.
The Guardian dalam laporan terbarunya melaporkan, walaupun Cambridge Analytica tutup, tim di belakangnya secara misterius aktif di sebuah perusahaan bernama Emerdata. Menurut Companies House, Alexander Nix, CEO Cambridge Analytica terdaftar sebagai direktur bersama jajaran eksekutif SCL Group, perusahaan induk Cambridge Analytica. Bahkan, anak perempuan miliarder Robert Mercer juga terdaftar sebagai direktur di perusahaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Robert Mercer adalah miliarder asal AS yang menjadi donor utama Cambridge Analytica, sekaligus tim sukses Trump 2016 lalu. Berdiri pada Agustus 2017, Emerdata berkantor di gedung yang sama dengan Cambridge Analytica. Tak ada yang bisa menebak pasti area pertarungan Emerdata dan lembaga-lembaga sejenis lainnya, tapi di Indonesia praktek sejenis telah berlangsung sejak pemilihan presiden 2014, di mana tabloid propaganda Obor Rakyat dicetak dan disebarluaskan untuk menjatuhkan Jokowi dan lingkarannya.
Belakangan aparat berhasil membongkar jaringan propaganda lainnya yaitu Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA). Di media sosial, kelompok ini rutin menyebarkan berita palsu dan pencemaran nama baik terhadap pemimpin dan pejabat negara. Pendaftaran calon presiden dan wakil presiden baru akan dibuka tanggal 4-10 Agustus. Namun, ketegangan di media sosial telah terasa sejak awal tahun. Dimulai dari perang tagar hingga intimidasi dan persekusi oleh massa berkaos #2019GantiPresiden terhadap ibu dan anak di arena Car Free Day, (29/4).
ADVERTISEMENT
Meluasnya Polarisasi
Tensi ketegangan dan menguatnya polarisasi tentu akan meningkat sejalan dengan gejolak di tingkat elite. Selain itu, algoritma di media sosial juga dituding membuat penggunanya terpapar hal-hal yang sepandangan dengan mereka. Dalam kajian media dan politik, fenomena ini disebut sebagai “kepompong informasi”, yaitu suatu kondisi keterisolasian pengguna media sosial dalam ekosistem orang-orang yang berpandangan sama.
Misalnya pengguna mengkonsumsi berita-berita bohong, maka algoritma membuat rekomendasi berita-berita sejenis kepada pengguna tersebut. Menurut Pew Research, 61 persen milenial menggunakan Facebook sebagai sumber utama informasi terkait dengan politik dan pemerintahan. Mudahnya, apa yang kita baca disesuaikan hanya untuk konsumsi kita. Untuk kebutuhan para pengiklan, bahkan Facebook memiliki fitur Dark Post/Unpublished Page Post, di mana pengiklan dapat secara spesifik menargetkan siapa yang akan menerima informasi.
ADVERTISEMENT
Cambridge Analytica menggunakan cara ini untuk memenangkan Trump, yaitu menyasar swing voters di tiga negara bagian seperti Wisconsin, Michigan, dan Pennyslvania. Mereka percaya tiga bagian tersebut menjadi penentu kemenangan Trump. Hasilnya sesuai perkiraan, Trump melibas ketiganya.
Kalau ditanya siapa yang harus bertanggung jawab terhadap keberisikan hari ini, saya menyerah. Tapi kalau ditanya siapa yang dirugikan atas kondisi hari ini tentu kita semua.