Konten dari Pengguna

Candu Pendidikan yang Menjauhkan Orang Tua dengan Anak

Pandu Wijaya Saputra
Peminat Kajian Sosial, bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan
3 Agustus 2021 10:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandu Wijaya Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi:pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi:pixabay
ADVERTISEMENT
Ketika banyak sekolah sudah mulai belajar tatap muka, salah satu sekolah di kampung saya masih berjuang mempertahankan murid-muridnya. Selama pandemi, murid sekolah di sana banyak yang “keluar” satu persatu. Orang tua mereka tidak mampu membiayai. Maklum, sebagai salah satu kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di provinsi, pandemi jelas mencekik leher banyak orang. Belajar online pun tak cukup berhasil di daerah saya.
ADVERTISEMENT
Umumnya, pilihan yang ada bagi para orang tua adalah mengajak anak mereka bekerja. Ada yang membantu ayahnya bertani. Ada yang ikut bapaknya jadi pencari batu dan pasir. Sebagian membantu mencari kelapa di hutan atau merawat ternak. Tapi, itupun tak bertahan lama. Anak-anak mereka tak terbiasa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sangat tidak “sekolahan” itu. Akhirnya, banyak dari mereka di rumah tapi tak melakukan apa-apa.
Banyak orang menganggap kita kehilangan generasi akibat pandemi. Anak-anak jadi bodoh karena tidak sekolah setahun lebih. Tapi saya tak sepakat jika hanya menyalahkan pandemi. Kita telah sekian lama bergantung pada institusi sekolah untuk mendidik anak-anak kita. Orang tua mencari uang, tanggung jawab pendidikan urusan sekolah. Mereka berdalih waktunya yang tidak ada karena sibuk kerja. Memang benar, tapi tidak bisa jadi pembenaran juga. Cari uang itu mudah, mendidik anak itu sulit. Hilang uang bisa dicari, salah didik tak bisa diulangi.
ADVERTISEMENT
Saya tak hendak menggarami lautan. Sudah banyak yang berbicara bahwa tugas utama mendidik anak ada di pundak orang tua. Namun apa daya, sekolah telah menjadi candu bagi kita. Mohon maaf seandainya saya menggunakan diksi yang berkonotasi negatif. Maksud saya dengan candu adalah kita sudah sangat-sangat bergantung kepadanya, jika tidak disebut terperangkap. Maka kita seolah linglung dan limbung ketika sekolah tatap muka ditiadakan selama pandemi ini.
Dulu di kampung halaman saya rata-rata anak hanya sampai SD. Menjelang dewasa, mereka masih sangat pandai berenang dan menangkap ikan di sungai yang deras. Pandai memanjat pohon untuk menimba nira dan mengambil buah aren. Itu adalah hal-hal yang mereka pelajari langsung dari orang tua dan lingkungannya. Dan memang cara-cara itulah yang digunakan orang tua mereka sebagai pemenuh kebutuhan hidup mereka yang sederhana.
ADVERTISEMENT
Tapi kini orientasi-orientasi hidup jauh lebih kompleks. Televisi, hiburan-hiburan ala perkotaan, gaya hidup hingga gadget dan internet. Awalnya, semua itu hanya jadi perkenalan, lama-lama jadi kebiasaan, dan kini jadi sebuah kebutuhan yang mencandu. Termasuk sekolah formal. Sekarang, pokoknya anak harus sekolah. Bahkan wajib sampai jenjang perguruan tinggi. Sekarang orang sudah pesimis dulu jika anaknya hanya sekolah sampai SMA. Maka gelar sarjana pun menjadi sekadar syarat memperoleh pekerjaan, bahkan sekadar gengsi atau prestige.
Padahal setelah menyabet gelar tersebut dan kembali ke daerah asal, mereka pun tidak berkontribusi apa-apa pada kampung halamannya. Lahan-lahan tidak tergarap, sumber-sumber daya alam lokal pun tidak termanfaatkan. Mereka juga tidak terlalu bisa diandalkan membantu pekerjaan orang tuanya. Anak-anak muda lebih mahir ilmu-ilmu sekolahan dan universitas daripada keahlian alamiah yang dulu relevan dengan lingkungan di mana mereka tinggal.
ADVERTISEMENT
Sekolah menciptakan jarak dengan orang tua. Kesibukan dan aktivitas sekolahan menyebabkan dunia anak tak memiliki relevansi dengan bidang dan pekerjaan orang tua. Ada seorang warga di kampung tetangga yang hingga usia 80 tahun masih bertani pisang sendirian. Anak-anaknya tidak mau mengikutinya. Mereka merantau semua setelah lulus sekolah. Seorang tetangga saya mungkin sebentar lagi terpaksa menjual kebun kunyit dan cabai karena tidak ada yang melanjutkan. Anaknya sudah menjadi insinyur. Anaknya yang lain sedang menempuh kuliah dan nampak enggan meneruskan pekerjaan orang tuanya.
Saya teringat seorang kawan, pengemudi truk. Dulu, dia sangat sering mengajak anaknya. Ia juga mengajaknya mengangkat-angkat muatan truk. Menurutnya, itu dilakukan supaya anak punya koneksi dengan profesinya. Dan agar dia paham apa yang dilakukan orang tua. Menurut saya, ini adalah sebuah wujud pendidikan langsung dari orang tua. Tidak melulu dari buku atau pelajaran kurikulum. Tapi sebuah pengalaman langsung dari orang tua, khususnya tentang nilai dan kerja keras.
ADVERTISEMENT
Maka, pandemi ini pun bisa jadi momen berharga untuk mendekatkan orang tua dengan anaknya dalam konteks seperti itu. Petani bisa mengajak anaknya ke sawah dan mencontohkan cara menyiangi hama, bermain di lumpur dan pematang. Mereka pun bisa belajar tentang tanah, perairan dan irigasi. Dari sana mereka akan paham basis kultur agraris kita. Seorang guru IPA bisa memperkenalkan astronomi pada anaknya dengan cara sederhana melalui kalender. Ada hitungan jam, hari, bulan, tahun. Perputaran bulan dan bumi pun bisa dijelaskan. Insan seni bisa melatih anaknya berkesenian: Menari, bermain peran, musik, melukis, membuat kerajinan, menulis, bermain peranm dan sebagainya. Dari sana mereka bisa belajar kreativitas, kepekaan rasa dan estetika.
Cara-cara itu senada dengan prinsip pendidikan KI Hadjar Dewantara di mana orang tua punya peran sangat penting dalam mendidik anak. Dan tak hanya soal kemampuan kognitif, tapi pendidikan dari orang tua juga bisa menyentuh ranah nilai, perilaku, sekaligus bagaimana membangun karakter kerja keras dan mandiri. Dan nilai-nilai itu dapat ditanamkan dengan melibatkan, atau setidaknya mengakrabkan, anak pada pekerjaan atau profesi yang digeluti orang tua.
ADVERTISEMENT
Ini bisa jadi salah satu alternatif agar hilangnya generasi akibat kekosongan pendidikan formal selama pandemi tidak terjadi. Sebab, kekosongan itu diisi oleh peran orang tua yang justru telah lama kosong sebelum pandemi.