M Bloc: Ketika Sejarah dan Budaya Urban Bersanding

Pandu Wijaya Saputra
Peminat Kajian Sosial, bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2020 10:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandu Wijaya Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
M Bloc Space: Ruang Kreatif Baru buat Anak Muda. Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
M Bloc Space: Ruang Kreatif Baru buat Anak Muda. Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan
ADVERTISEMENT
Dua tahun lalu jika berjalan-jalan ke JL. Panglima Polim area kantor Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) dekat Blok M, kita akan mendapati bangunan-bangunan yang kondisinya miris; tak terawat, banyak belukar, hingga atap yang hampir roboh,. Bangunan bekas perumahan dan gudang percetakan itu bak area mati di tengah kota yang tak pernah berhenti berdenyut.
ADVERTISEMENT
Tapi kini ia beralih wajah menjadi kawasan rekreasi masyarakat Jakarta. M Bloc Space- namanya sekarang - merupakan creative hub, sebuah ruang kreativitas yang sukses menjadi magnet kawula muda. Menariknya, tak ada satu bangunan pun yang dirobohkan, rumah-rumah dinas dan gudang peruri masih berdiri. Ia hanya diberikan fungsi baru yang relevan dengan kebutuhan saat ini. Di sana masyarakat dapat belanja, ngopi, nongkrong, menyaksikan konser, atau swafoto sambil menikmati suasana vintage arsitektur pasca kemerdekaan itu.
Sebelumnya, niat Perum Peruri hanya ingin memanfaatkan aset mereka yang terbengkalai, berkontribusi sosial, sekaligus memberi ruang kreatif bagi masyarakat jakarta. Tapi siapa sangka lebih dari itu sebuah area bersejarah telah selamat dari mati surinya,
ADVERTISEMENT
Nasib baik seperti perumahan dan gudang Peruri dialami juga oleh pabrik gula Colomadu Karanganyar. Pabrik gula tersebut adalah yang pertama dimiliki pribumi - menjadi simbol perlawanan dominasi industri gula kolonial. Pabrik yang telah 20 tahun berhenti beroperasi itu sekarang menjadi objek wisata yang kekinian. Ia kini menjadi salah satu ikon pariwisata kota Solo - dikenal dengan De Tjolomadoe. Masih dari Solo, di sana ada sebuah benteng lawas di pusat kota bernama benteng Vastenberg. Benteng tersebut masih dipertahankan hingga kini; tak hanya sebagai objek wisata ia juga rutin dijadikan panggung berhelatan akbar nasional maupun internasional. Baik M-Bloc, De Tjolomadoe, maupun Benteng Vastenberg adalah simbol sejarah yang kita pilih untuk dihidupkan.
Di tempat lain nasib bangunan bersejarah tak seberuntung ketiga tempat di atas. Kita masih ingat dengan Rumah Radio Bung Tomo di Surabaya yang rata dengan tanah. Termasuk rumahnya di malang yang dibongkar. Di tempat lain, Medan, beberapa bangunan ruko yang termasuk cagar budaya dirobohkan oleh pemiliknya. Di Bandung baru-baru ini juga sebuah bangunan bersejarah dirobohkan. Di sisi lain, dari dulu kita sudah sering mendengar berita atau melihat langsung bangunan bersejarah dibiarkan tak terawat di mana-mana dan akhirnya dapat ditebak; tak ada pilihan lain selain dirobohkan setelah ada investor. Sungguh Ironi mengingat kita sering lantang membanggakan sejarah dan budaya, tapi kenyataannya kita kerap membiarkan peninggalan sejarah kita hancur.
ADVERTISEMENT
Melestarikan bangunan sejarah memang tak mudah karena sering terbentur dengan faktor ekonomi. Dari sisi pemilik, perawatannya membutuhkan biaya dan tak semua pemiliknya orang berada. Maka menjual menjadi keputusan tak terelakkan. Sementara dari sisi pemerintah, sektor yang memberi manfaat ekonomi atau pendapatan daerah secara langsung lebih diperhatikan, maka bangunan bersejarah pun jarang menjadi prioritas program. Tak heran ia kerap hilang lalu berganti menjadi hotel, pusat belanja, perumahan atau lahan parkir.
Karenanya tak salah jika tinggalan sejarah harus bisa mendatangkan pemasukan dengan cara memberinya fungsi baru. Terdengar sangat komersil memang, tapi tak dapat dipungkiri bahkan untuk konservasi dan perawatannya pun memakan biaya. Padahal soal biaya ini selalu menjadi masalah bagi banyak pemerintah daerah dalam mengelola situs sejarah. Anggaran untuk mengelola tempat bersejarah kita tahu tak banyak. Bahkan ada yang hanya dianggarkan 100 juta selama satu tahun untuk mengelola kebudayaan di satu kota. Tak sampai seharga sebuah mobil baru.
ADVERTISEMENT
Mengalihfungsikan peninggalan sejarah guna memberi income bisa menjadi solusi, seperti pabrik gula De’ Tjolomadoe yang mendapat pemasukan dari tiket atau M Bloc dari menyewakan gerai atau penyelenggaraan konser. Dan yang terpenting, pendapatan tersebut tak hanya masuk ke kas pemerintah tapi juga masyarakat yang terlibat didalamnya; karyawan, pedagang, penyewa, hingga pengusaha travel wisata. Ini pun sejalan dengan salah satu agenda pemerintah dalam memajukan kebudayaan yaitu memanfaatkan objek budaya untuk kesejahteraan masyarakat.
Di banyak negara, tinggalan sejarah pun banyak dijadikan penginapan maupun cafe. Bahkan di India dan Inggris, kantor pos - yang masa kejayaannya telah lewat - pun meningkatkan value-nya menjadi bank.
Permasalahan lain adalah belum dijadikannya kebudayaan sebagai basis pembangunan, termasuk pembangunan fisik. Hal ini tampak pada wajah kota-kota kita yang dipengaruhi oleh medernisasi. Corak kota dalam dunia modern adalah gedung-gedung pencakar langit, bangunan dengan arsitektur futuristik, fasilitas dengan teknologi mutakhir, perkantoran dan pusat perbelanjaan. Pembangunan seperti ini jika dibiarkan tanpa "sandingan" berpotensi menyebabkan sebuah kota kehilangan kepribadiannya. Dan salah satu korban dari pembangunan modern adalah bangunan-bangunan tua bersejarah yang terbengkalai. Dampaknya bagi generasi selanjutnya adalah jarak yang muncul antara mereka dengan sejarah kotanya. Hal itu jelas menjadi kerugian besar.
ADVERTISEMENT
Bukankah kota-kota di Eropa yang cantik itu karena mereka mempertahankan bangunan yang usianya berabad-abad, sehingga memperlihatkan karakter yang kuat Eropa abad pertengahan. Dan bicara soal modernitas, Eropa juga lah hulunya. Karenanya dalam sebuah tata kota, bangunan bersejarah merupakan sandingan bagi infrastruktur modern, maka karakter pribadi sebuah kota dapat muncul. Demikian juga yang terjadi di M Bloc Space, sebuah tempat bersejarah di mana Indonesia mencetak simbol kedaulatannya beradaptasi sehingga dapat bersanding dengan hiruk-pikuk ibu kota sekaligus memenuhi hasrat budaya kaum modern.
Pandu Wijaya Saputra, pemerhati sosial budaya, bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan