Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Masyarakat yang Terbiasa Membebek
20 Juli 2021 6:10 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Pandu Wijaya Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu hari, salah satu grup Whatsapp saya mendadak ramai setelah muncul inisiatif untuk mengadakan pertemuan langsung. Obrolan menjadi sangat intens mendiskusikan lokasi berkumpul dan waktunya. Masing-masing orang punya usul dan pertimbangan masing-masing. Tapi, salah seorang anggota grup tiba-tiba berkata "Aku ngikut saja".
ADVERTISEMENT
Sikap seperti itu sama dengan yang kerap kita temui dalam sebuah pertemuan, rapat atau musyawarah. Dalam forum, setiap peserta idealnya perlu menyuarakan pendapat atau memberi masukan agar tercapai kesepakatan terbaik. Namun, pasti ada orang yang berkata "Saya ngikut apa yang disepakati saja".
Banyak makna bisa ditafsirkan dari pernyataan orang yang memilih mengekor tersebut. Tapi setidaknya ada tiga hal yang bisa kita tangkap. Pertama, dia memang sedang tidak punya gagasan. Kedua, orang tersebut bertipe sendiko dawuh,selalu nurut-nurut saja. Bisa juga karena kurang pede. Ketiga, orang itu malas.
Mari kita ingat masa ketika kita sekolah. Di ruang kelas, banyak murid yang lebih suka duduk di buntut (ekor). Bangku belakang itu seolah jadi favorit. Anak-anak bahkan kerap berebut mendapatkannya. Dan ini membudaya hingga di berbagai momen: pertemuan, perkumpulan, seminar, rapat, forum dll. Kita lebih suka mencari posisi di barisan ekor.
ADVERTISEMENT
Kenapa? Tentu bukan karena kita berjiwa besar sehingga merelakan kursi di depan pada orang lain. Tapi karena kita malas. Kita malas jika diperhatikan guru, malas ditunjuk, dan malas diberi pertanyaan. Dalam momen seminar, pertemuan, rapat dan forum, kita malas di depan karena kita ingin bebas bermalas-malasan di belakang.
Artinya, karena malas maka kita lebih suka mengekor. Dengan mengekor kita tak punya beban. Risiko yang ditanggung pun terasa tak terlalu besar. Kita aman.
Sikap seperti ini bahkan ada di level yang lebih krusial. Misalnya birokrasi. Banyak pegawai pemerintah yang masih membawa kultur seperti ini. Secara regulasi dan struktur memang mereka harus patuh pada atasan. Tapi secara mental, mereka hanya membuntut pimpinan. Pokoknya sendiko dawuh.
ADVERTISEMENT
Pada level yang lebih tinggi pun kebiasaan mengekor terjadi, bahkan di level pemerintah pusat. Presiden Jokowi pernah mengeluhkan bahwa dalam kancah internasional kita seringkali hanya mengekor negara lain saja.
Contoh nyata lain adalah apa yang sering dilakukan oleh para wakil rakyat kita. Terutama zaman orde baru. Di ruang pertemuan, sepanjang sidang berlangsung para anggotanya kebanyakan diam. Kemudian, satu-satunya kata yang keluar dari mulut mereka adalah "setujuuu".
Kita bisa menyebut semua itu dengan kebiasaan membebek. Sebuah sifat yang hanya bisa membuntuti orang lain. Seperti bebek.
Binatang bebek memang mempunyai karakter seperti ini. Secara alamiah mereka akan mengekor kawan-kawannya. Ketika kawannya minum, mereka ikut minum. Saat ada salah satu yang jalan, yang lain pun jalan. Ketika satu berbelok, kawan-kawannya pun ikut berbelok.
ADVERTISEMENT
***
Dalam konteks sekarang, muncul sikap membebek dalam bentuk varian baru. Membebek di dunia maya. Kita senang mengikuti informasi-informasi yang heboh. Padahal, informasi tersebut tidak valid alias hoaks.
Begitu ada informasi yang nampak sensasional masuk WA grup. Kita menelan mentah-mentah dan menyebarkannya ke grup-grup lain. Atau kita mengunggahnya di status sosial media kita. Semua itu menyebabkan berita hoaks kian teramplifikasi dan semakin riuh. Kebiasaan itu menunjukkan bahwa selain jalan mengekor seperti bebek, kita pun terbiasa bersuara nyaris seperti bebek. Asal nyaring dan keras
Dan selama pandemi pun kita kerap mempertontonkan sikap membebek yang sungguh memalukan, yaitu panic buying. Di awal pandemi, sebagian orang panik dan memborong banyak alat kesehatan dan suplemen. Orang-orang pun ikut-ikutan. Maka terjadilah kelangkaan. Tenaga kesehatan dan orang yang benar-benar membutuhkan justru kesulitan mendapatkan alat kesehatan.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, orang memborong sebuah merek susu. Banyak orang terpengaruh dan ikut memborong. Maka timbul kelangkaan. Baru-baru ini terjadi juga panic buying obat dan oksigen. Kemudian ada indikasi panic buying air kelapa.
Dan entah setelah itu sikap membebek apalagi yang akan kita pertontonkan. Saya bayangkan, nanti bisa jadi ada panic buying empon-empon. Semua ikut-ikutan. Bawang dan aneka bumbu masak jadi langka. Atau panic buying tembakau. Mungkin orang-orang akan yakin tembakau bisa jadi semacam herbal untuk Covid. Maka perokok meningkat drastis. Rokok jadi langka. Bisa jadi.
Kebiasaan seperti bebek ini sangat-sangat buruk. Membebek menunjukkan kita tidak punya pendirian dan sikap. Ia hanya menjadikan kita bagian dari sebuah kerumunan tanpa punya peran apa-apa, atau bahkan tidak paham apa yang sedang dilakukan. Dalam situasi tertentu, perilaku ini pun terbukti dapat merugikan banyak orang.
ADVERTISEMENT
Jika bebek mengekor karena insting alami hewaniahnya, kita mengekor karena malas. Kita malas berpikir, malas mengambil risiko, kita malas mengklarifikasi informasi, bahkan malas memikirkan orang lain dan lebih mengedepankan kepentingan kita. Mungkin bebek justru lebih baik dari kita.
Negeri kita menghadapi banyak masalah yang sangat kompleks. Masalah-masalah itu seperti puzzle. Setiap individu harus punya kesadaran untuk mengupayakan keping pelengkap lubang-lubang puzzle. Artinya, kita harus lebih membiasakan sikap aktif, partisipatif, kontributif dan solutif. Dalam hal apapun. Dan itu tidak akan terwujud hanya dengan cara membebek.