Menempatkan Kemerdekaan Pada Kesunyiannya

Pandu Wijaya Saputra
Peminat Kajian Sosial, bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2021 17:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandu Wijaya Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Doc :Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Doc :Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi bangsa Indonesia, hari kemerdekaan menjadi penanda bahwa kita berdaulat untuk mengelola dan memutuskan nasib sendiri setelah ratusan tahun dikangkangi oleh bangsa lain. Saat proklamasi dideklarasikan, gegap gempita pun berkumandang di seluruh penjuru negeri.
ADVERTISEMENT
Kita pun memaknai hari kemerdekaan sebagai sebuah perayaan (celebration). Selama ini, masyarakat punya banyak cara dalam merayakannya. Ada yang mengikuti upacara peringatan, berkunjung ke makam-makam pahlawan, melakukan bakti sosial, wisata, syukuran, memasang bendera merah putih, hingga mengadakan lomba-lomba dan berbagai acara untuk menghidupkan momen tersebut. Kemerdekaan adalah sebuah kemeriahan. Tapi dua tahun ini hari kemerdekaan terasa berbeda akibat pandemi.
Pada artikelnya di Kompas, penulis Purnawan Andra mengajak untuk memaknai pandemi ini sebagai momen untuk meredam 24 jam kebisingan dalam berbagai bentuk dan berbagai histeria kehidupan. Pandemi ini menjadi jeda untuk kita mengambil jarak sekaligus melakukan refleksi pada diri yang selama ini tertimbun kegaduhan. Kita melakukan itu dengan mengurangi aktivitas dan mobilitas serta berdiam di rumah.
ADVERTISEMENT
Perayaan kemerdekaan memang terasa sunyi karena pandemi. Hanya tersisa bendera-bendera bisu yang dipajang di depan gang dan halaman rumah. Namun, barangkali ini menjadi momen kita menempatkan kemerdekaan pada salah satu muasalnya.
Selama ini kita menganggap bahwa kemerdekaan hanya muncul dari benih semangat yang menggelora. Padahal sejatinya kemerdekaan tak hanya lahir dari pekik dan letupan. Ia juga terwujud dari relung-relung kesunyian. Namun, kesunyian itu selama ini tertutup oleh sisi euforianya.
Presiden Soekarno tokoh penting gerakan revolusi yang memimpin kita menuju kemerdekaan—adalah figur yang penuh semangat dan bergelora. Pidatonya selalu memukau dan menggetarkan. Tapi dibalik itu, dari kesunyian, dia kerap menelurkan buah-buah pikiran penting.
Salah satu yang terkenal adalah pleidoinya “Indonesia menggugat” yang ditulis di penjara. Gugatannya itu menjadi salah satu titik penting perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan. Buah pikir dari ruangan dingin dan sunyi itu mampu menjadi perhatian internasional, diberitakan di berbagai media massa saat itu, serta membuka mata dunia akan kekejaman belanda.
ADVERTISEMENT
Demikian juga saat Soekarno diasingkan ke daerah-daerah terpencil. Itu adalah momen berat baginya, namun juga menjadi sebuah berkah. Salah satunya adalah pengalaman yang dia ceritakan ke wartawan Cindy Adam.
"Di Ende yang terpencil dan membosankan itu, aku memiliki banyak waktu untuk berpikir".
Rasa sepi dan terasing tanpa kawan justru membuatnya terus berhasrat untuk pulang. Sekaligus kian membakar semangat patriotismenya. Bahkan di pulau sunyi itu Soekarno mampu merenung dan mendapat ilham yang kemudian menjadi pilar ideologis bangsa Indonesia, Pancasila. (Adams:2018)
Jeda memang kerap membuat orang melihat apa yang sebelumnya sering terlewat oleh indra. Pandangan lebih objektif, khidmat, luas dan tajam. Orang pun lebih bisa melakukan refleksi. Itulah mengapa kita membaca banyak riwayat tokoh yang mendapat pencerahan melalui kesunyian. Nabi Muhammad berdiam di gua Hira, Sidharta Gautama di bawah pohon bodi di hutan, atau kisah Arjuna yang menyepi di puncak Indrakila.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hari kemerdekaan, kita pun tak dapat mengesampingkan momen-momen sunyi itu. Momen yang mungkin juga tak hanya dialami bung karno, tapi juga para pendiri bangsa lainnya.
Selama ini, setiap momen kemerdekaan hanya membuat kita hanyut pada gegap gempita. Mulai diskon-diskon yang diberikan di mal-mal, lomba-lomba, baliho pejabat atau politisi dengan latar belakang ucapan Dirgahayu Indonesia bertebaran, acara oleh partai politik, dan tentu dangdutan. Kesunyian hanya ada pada proses mengheningkan cipta saat upacara detik-detik proklamasi.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan gempita hari kemerdekaan. Namun, hari kemerdekaan pun layak kita rayakan dengan keheningan pula agar kita bisa merenungkan makna kemerdekaan ini.
Mungkin kita perlu memikirkan lagi apakah masyarakat sudah merdeka dari biaya hidup yang mencekik, merdeka dari ketidakpastian hukum, merdeka berpikir dan berekspresi tanpa dipersekusi, bebas berkeyakinan tanpa takut, merdeka dari politisi yang mengobral mimpi-mimpi dan lain sebagainya. Atau, mungkin memikirkan apakah perayaan kemerdekaan kita sebelum-sebelum ini sudah tepat atau justru hanya seremoni, hura-hura, atau bahkan banyak dipolitisasi.
ADVERTISEMENT
Semua itu memang sulit kita tangkap sebelum pandemi. Namun, jeda pandemi ini bisa kita jadikan momen untuk mundur sejenak dari semua hiruk-pikuk kehidupan yang membuat pikiran kita sibuk. Barangkali dalam perayaan yang sepi, kita justru lebih memaknai apa itu merdeka.