Mengatasi Potensi Kesenjangan Digital yang Kian Melebar

Pandu Wijaya Saputra
Peminat Kajian Sosial, bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan
Konten dari Pengguna
9 Agustus 2021 20:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandu Wijaya Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Iustrasi : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Iustrasi : Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kita sudah lama tahu bahwa manusia sedang berjalan menuju kehidupan digital. Sejak zaman Nicholas Tesla yang mengatakan kehidupan akan "tak ada lagi jarak" sampai Yuval Noah Harari tentang "data dan algoritma yang memenuhi sendi hidup manusia". Hanya, kita tak tahu kapan pastinya era itu tiba.
ADVERTISEMENT
Selama dua dekade terakhir, banyak sektor yang secara radikal berevolusi menjadi digital--mulai dari industri media, komunikasi, mesin hingga transaksi jual-beli. Beberapa negara bahkan sudah memimpin dalam bidang teknologi informasi ini.
Gelombang pergeseran dari teknologi konvensional atau manual menuju teknologi berbasis digital dirasakan di semua negara, termasuk Indonesia. Namun, kita tahu perubahan tidak sedrastis saat pandemi menghajar seluruh belahan dunia. Penulis dan reporter CNN, Fareed Zakaria, pun mengatakan bahwa COVID-19 telah memaksa percepatan digitalisasi hidup manusia.
Sebelum pandemi, siapa yang mau melakukan pertemuan virtual. Orang lebih suka bertemu langsung. Tapi kini orang terbiasa bertemu secara daring. Reuni pun bisa dilakukan via Zoom. Para siswa bahkan praktik olahraga secara virtual.
Untuk sektor usaha, bahkan sejak sebelum pandemi sudah banyak toko-toko online. Hampir semua yang kita ketik di mesin pencari Google pasti muncul situs marketplace yang menjual apa yang kita ketik. Bahkan ketika saya iseng mengentri kata "belalang" muncul 2 hingga 3 toko online menjual belalang di halaman depan mesin pencari Google.
ADVERTISEMENT
Selama pandemi, bekerja di rumah kian memicu ide-ide kreatif berjualan daring. PPKM pun membuat para pedagang tak punya pilihan selain menjual produk-produknya secara daring. Sebuah jasa pengiriman yang lokasinya dekat rumah saya makin terlihat penuh barang dan kurir selama PPKM. Bahkan saking banyaknya kurir, mereka parkir hingga ke jalan dan sering membuat macet jalanan.
Selama pandemi, pemerintah pun telah menggelontorkan dana fantastis bagi pengajar dan siswa guna mendukung belajar virtual. Para pelaku usaha pun diimbau untuk mengalihkan pemasarannya melalui daring. Masyarakat juga didorong untuk tetap di rumah dan melakukan pembelian melalui toko online. Kita seolah sedang berada di jalan yang benar menuju percepatan era masyarakat digital.
Tapi benarkah demikian? Menurut saya fenomena hidup digital, atau bahkan euforia tentangnya, nampak masih dominan di perkotaan. Banyak orang di desa-desa dan wilayah pelosok tetap menjalani hidup dengan cara-cara lama.
ADVERTISEMENT
Di kota, kita bisa yakin semua orang punya gawai. Tapi tidak di desa. Di daerah asal saya misalnya, gawai memang sudah menjamur, tapi tidak memilikinya pun bukan hal aneh. Banyak orang baru mampu membelinya jika diangsur.
Itu baru soal alat, belum soal budaya dan akses internetnya. Beberapa waktu lalu saya hendak mengikuti reuni virtual dengan teman-teman kuliah. Rencana tersebut kandas sebab beberapa kawan tak bisa mengoperasikan aplikasi zoom. Di daerah mereka--selain sekolah atau pemerintah daerah--orang tak akrab dengan zoom meeting, video conference, atau virtual meeting. Sementara kawan lain harus berjuang mencari sinyal jika harus melakukan video live.
Persoalan akses ini pun terjadi di kampung saya. Banyak orang yang tak mampu membeli kuota internet. Umumnya, mereka numpang Wi-fi. Mereka membayar ke orang yang punya koneksi Wi-fi demi memperoleh sinyal internet. Pemilik Wi-fi mematok harga sebesar 5 sampai 7 ribu rupiah. Bukan sehari apalagi seminggu, tapi hanya satu jam.
ADVERTISEMENT
Sebelum pandemi, permasalahan kesenjangan digital di wilayah Indonesia ini memang belum tuntas. Menurut data BPS 2012-2018, hanya 40 persen masyarakat pedesaan yang menggunakan internet. Dan ini makin nampak saat pandemi. Kita bisa lihat pada aktivitas belajar daring di rumah yang sulit diterapkan di daerah-daerah pinggiran.
Saat ini pemerintah memang terus gencar membangun infrastruktur digital. Kebijakan ini sungguh positif. Mantan menteri komunikasi Rudiantara bahkan pernah berkata semua orang harus merasakan (internet), tidak hanya orang kota saja.
Namun, problemnya bukan hanya soal harus menikmati internet. Kesenjangan digital juga berhubungan dengan kesenjangan dalam berbagai bidang, misal kesenjangan ekonomi, politik, sosial, budaya, gender, etnisitas, geografis, dan demografis (Steyn & Johnson, 2011).
Berbagai hal tersebut tentu memengaruhi bagaimana masyarakat mengkonsumsi internet. Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah misalnya, bisa jadi tak akan mampu terus membayar kuota untuk layanan internet. Atau mungkin tak mampu membeli gawai atau komputer.
ADVERTISEMENT
Belum lagi berbicara soal kesenjangan dalam hal literasi digital yang di antaranya adalah kecakapan dan budaya digital yang baik. Tanpa itu, bisa jadi seorang memiliki peralatan dan akses memadai tapi hanya digunakan untuk chatting biasa-biasa saja atau menikmati hiburan saja. Tentu dia tak bisa mendapat manfaat dari internet secara maksimal. Atau hanya akan menimbulkan mudarat.
Dan ini pula yang menjadi salah satu kendala para pedagang selama PPKM untuk beralih ke penjualan online. Tak semua memiliki akses, mampu membeli kuota dan memiliki kecakapan digital. Khususnya di desa-desa.
Pembatasan berjualan langsung membuat hidup mereka makin kembang kempis. Meski ada gawai dan kuota, percuma jika tanpa kecakapan, kreativitas dan pengetahuan memaksimalkan potensi internet untuk jualan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat kota akan lebih siap beralih ke kehidupan digital selama pandemi yang entah sampai kapan ini. Mereka lebih mudah mendapat akses internet serta umumnya memiliki kecakapan yang cukup. Termasuk di sektor usaha.
Sementara masyarakat desa akan setengah mati terseok mengikuti perubahan budaya digital yang sangat radikal ini. Dan itu pun akan mempengaruhi ekonomi dan kesejahteraan mereka. Bisa jadi, kesenjangan antara perkotaan dan pinggiran yang telah lama ada justru kian lebar selama pandemi.
Selain pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas hidup digital kita sebenarnya telah diupayakan pemerintah, misal gerakan literasi digital yang diluncurkan pemerintah Mei lalu. Pemerintah daerah dan desa pun banyak yang telah melakukan pengembangan desa berbasis IT yang turut mendongkrak ekonomi masyarakatnya. Seperti yang dilakukan pemerintah daerah Purwakarta dan Desa Dermaji, Banyumas.
ADVERTISEMENT
Namun, semua itu adalah skenario yang dibuat sebelum pandemi. Pada momen krisis seperti ini, perlu ada upaya out of the box dan revolusioner untuk segera mencari cara alternatif menyelamatkan ekonomi masyarakat.
Jika masyarakat belum siap untuk mengalihmediakan tokonya ke daring maka pemerintah wajib membantu. Khususnya bagi usaha-usaha kecil. Pemerintah, mulai dari pusat hingga daerah harus menjembatani antara penjual dan pembeli secara daring. Pemerintah daerah pun bisa aktif membantu memasarkan produk masyarakat. Atau bahkan bekerja sama dengan marketplace online.
Selain itu--seperti gerakan penanganan wabah--sosialisasi dan pembinaan digital perlu dilakukan hingga level desa bahkan RT. Masyarakat perlu didampingi sampai benar-benar tahu bagaimana memanfaatkan potensi digital. Dalam situasi seperti sekarang, upaya-upaya seperti itu sama pentingnya dengan penanganan Covid. Tertular atau kehilangan penghasilan bukanlah pilihan. Keduanya harus dihindari.
ADVERTISEMENT