Pendidikan Merdeka dari Swarnadwipa

Pandu Wijaya Saputra
Peminat Kajian Sosial, bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2021 15:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandu Wijaya Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kawasan candi Muarajambi (dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kawasan candi Muarajambi (dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada masa perjuangan melawan penjajah, pejuang Jambi Raden Mattaher memilih sebuah desa kecil sebagai basis pergerakannya. Desa itu bernama Muaro Jambi. Akses ke sana sangat sulit, harus melalui Sungai Batanghari, jauh dari pemukiman ramai dan dikelilingi ribuan hektar hutan belantara. Lokasinya terpencil, tempat sempurna untuk bergerilya.
ADVERTISEMENT
Pembangunan mengubah wajah desa tersebut. Namun masalah tak luput mengiringi kemajuannya. Korporasi besar masuk. Pabrik penyimpanan batu bara dan kelapa sawit membuat lingkungan jadi rusak. Udara menjadi tercemar akibat debu hitam batu bara, berhektar-hektar tanah tak lagi subur akibat tanaman kelapa sawit.
Tapi siapa sangka di desa itu ada harta peninggalan peradaban besar yang pernah berdiri di nusantara. Ia adalah sebuah kawasan percandian yang diperkirakan berusia lebih tua dari Borobudur dan terluas di Asia Tenggara (lebih dari 3.900 hektar).
Gerbang desa Muaro Jambi (dokumen pribadi)
Pada suatu kesempatan, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan bahwa konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dapat diimplementasikan di kawasan percandian Muarajambi. Dia ingin kawasan tersebut menjadi kawasan edukasi.
Apa yang disampaikan Nadiem memiliki latar historisnya. Kawasan candi ini dulunya adalah sebuah "universitas" Buddha. Namun model pendidikannya bukan seperti universitas yang kini kita kenal. Metode sekolahnya berbentuk asrama. Bentuk sekolah seperti itu mirip dengan pondok pesantren, di masa sebelumnya konsep seperti itu disebut “pawiyatan”.
ADVERTISEMENT
Lokasi aktivitas belajar mengajar sekaligus merupakan hunian dari sang guru. Dengan model seperti ini, para murid hidup bersama-sama dengan sang guru setiap hari sehingga yang mereka pelajari bukan hanya buku-buku tapi laku hidup yang baik. Mahaguru di Swarnadwipa yang terkenal serta menjadi rujukan umat Buddha dunia saat itu adalah Serlingpa Dharmakirti.
Ilustrasi (dokumen pribadi)
Salah satu posisi penting kawasan ini adalah tempat belajar untuk mempersiapkan diri sebelum belajar ke pusat pendidikan Buddha di Nalanda (India). Tercatat perjalanan seorang biksu pengelana bernama I-Tsing ke Muaro Jambi menginspirasi biksu-biksu lain untuk menimba ilmu di kawasan ini (Takakusu,1896). Selain I-Tsing, Atisa, biksu dari Nalanda yang kemudian merumuskan metode pendidikan Buddha di Tibet pun pernah belajar kepada Serlingpa Dharmakirti. Hingga kini, metode Atisa masih diajarkan oleh Dalai Lama.
ADVERTISEMENT
Jika konsep pendidikan di percandian ini merujuk pada sistem di Nalanda, maka prinsip merdeka belajar jelas berlaku di sini. Merujuk pada laman pengajaran Buddha milik Bhante Uttamo (samaggi-phala.or.id), konsep pendidikan di India saat itu sudah universal -- memberi kebebasan bagi mahasiswanya memilih belajar hal-hal agama maupun non agama. Mereka pun mempelajari berbagai aliran Buddha dan bermacam-macam kitab. Sementara itu, ilmu dasar yang harus dikuasai antara lain tata bahasa, logika, pengobatan, kesenian dan spiritual. Hampir semuanya adalah ilmu yang merupakan bekal dasar untuk membuka bermacam ilmu-ilmu lain.
Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara -- olah cipta, rasa, dan karsa -- pun sudah tercakup dalam semua ilmu yang diajarkan di kampus Buddha tersebut. Proses olah cipta (pikir) -- yang membuahkan pengetahuan dan filsafat -- ada pada ilmu logika dan tata bahasa yang diajarkan. Olah rasa -- yang membuahkan keluhuran dan keindahan batin -- ada pada pelajaran kesenian dan spiritual. Sementara olah karsa terwakili dalam ilmu pengobatan yang memang menjadi salah satu cara para biksu memberi manfaat bagi sesama manusia.
ADVERTISEMENT
Keunikan lain ada pada metode pembelajaran yaitu diskusi. Sebagaimana di Nalanda, di kompleks percandian ini pun terdapat banyak "mimbar" diskusi. Artinya, pendidikan saat itu tidak satu arah, doktriner, dan mendikte, tapi justru membebaskan akal pikiran. Buah pikiran masing-masing akan diuji atau bahkan dipertajam dalam mimbar dan forum diskusi para biksu. Jadi, dahulu konsep pendidikan dialektis, terbuka dan kritis sudah diterapkan di kawasan ini.
Hal inilah yang menjadi prinsip pendidikan ideal seturut dengan konsep merdeka belajar yakni kebebasan berpikir, berinovasi, mandiri dan kreatif. Selama ini, pendidikan kita lebih menekankan pada tujuan-tujuan akademik sehingga yang ada hanyalah target, kontrol dan capaian. Cara murid belajar hanyalah menghafal teks. Ukuran-ukuran yang dikejar adalah nilai dan indeks.
ADVERTISEMENT
Kemerdekaan dalam pendidikan merupakan keniscayaan sebab tujuan pendidikan adalah menumbuhkan segala potensi kodrat manusia. Tak hanya bertujuan praktis seperti menyiapkan SDM yang siap pakai atau berdaya saing, pendidikan juga harus membantu murid menjadi manusia seutuhnya. Karena itu, pendidikan harus membebaskan dan memekarkan segala potensi (cipta, karsa, karya dan raga) setiap orang.
Ini pun selaras dengan istilah education yang dalam bahasa latin bermakna menumbuhkan, mengeluarkan, dan menuntun. Dan konsep pendidikan modern seperti merdeka belajar yang digaungkan oleh Nadiem atau yang oleh Ki Hajar dan Romo Mangunwijaya disebut sebagai pendidikan yang memerdekaan, rupanya telah ada lebih dari 1.000 tahun lalu di bumi nusantara.
Pandu Wijaya Saputra, peminat kajian sosial dan budaya, bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek
ADVERTISEMENT