Konten dari Pengguna

Kualitas Kemabruran Haji

19 Januari 2018 14:12 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Panduan Muslim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kualitas Kemabruran Haji
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mampu melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci dan kembali dalam keadaan sehat wal afiyat merupakan dambaan dan cita-cita setiap kaum muslim dimanapun berada.
ADVERTISEMENT
Haji merupakan ibadah yang meniscayakan terkumpulnya tiga perkara: kecukupan dana, kesehatan jasmani dan rohani: serta tersedianya waktu/ kesempatan/momentum. Sehingga ketiga-tiganya hendaknya dipelihara dengan baik sejak dari masa keberangkatan hingga kepulangan.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu`anhu, ia berkata,
سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Nabi Shallallahu`alaihi Wa Sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau Nabi Shallallahu`alaihi Wa Sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari)
ADVERTISEMENT
Berbahagialah para jamaah haji yang dapat melaksanakan rukun Islam kelima dengan lancar dan khusu’. Alhamdulillah, semoga semua akan meraih haji mabrur, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saatnya nanti insyaallah akan memenuhi janji-Nya dengan memberikan balasan berupa surga.
Nabi Shallallahu`alaihi Wa Sallam bersabda,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349)
Namun, mabrurnya ibadah haji sesungguhnya bukan hanya terletak pada pelaksanaan, melainkan juga masa-masa sesudah pelaksanaan haji. Bagaimana hubungannya dengan akhlak dan muamalah, harus beda khan? Semakin baik dan semakin bermanfaat.
Rasulullah Shallallahu`alaihi Wa Sallam pernah ditanya tentang haji yang mabrur. Jawaban beliau,
ADVERTISEMENT
إطعام الطعام و طيب الكلام
“Suka bersedekah dengan bentuk memberi makan dan memiliki tutar kata yang baik” (HR. Hakim)
Apakah konsistensi dalam beribadah, berdoa, dan bertawakal selama haji masih dilakukan pada saat pulang ke Tanah Suci?
Dari Ibnu Umar, Nabi Shallallahu`alaihi Wa Sallam bersabda,
الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ
“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah)
Apakah hikmah yang didapatkan dalam ibadah haji memberikan pengaruf positif bagi ibadah-ibadah lainnya? Apakah pelaksanaan rukun Islam yang terakhir ini menjadikan jamaah semakin khusyuk dan paripurna dalam amal ibadah lainnya?
ADVERTISEMENT
Sahabatku, secara umum, kualitas “kemabruran” haji dapat dinilai dalam beberapa hal.
Pertama, konsistensi dalam memelihara niat yang baik dalam menjalani kehidupan yang lebih baik. Niat baik ini sama dengan niat haji yang semata-mata dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bukan karena manusia.
Rasulullah Shallallahu`alaihi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat.” (HR. Bukhari-Muslim).
Kedua, konsistensi memelihara diri dalam kesucian (ketakwaan) dan ketegaran. Dua pilar ini merupakan hasil yang didapatkan para hujjah setelah melakukan sa’i yang senantiasa dimulai dari Shafa (berarti kesucian) dan Marwa (ketegaran).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sungguh, Shafa dan Marwa merupakan sebagian dari syiar Allah.” (QS. Al-Baqarah: 158).
Ketiga, konsistensi berada dalam lingkaran tauhid dan lingkaran ketuhanan dalam menjalani kehidupan. Sikap ini merupakan falsafah thawaf yang senantiasa berlomba-lomba berada dalam lingkaran ketuhanan bersama orang-orang saleh dan menyegerakan diri dalam kebajikan (QS. Al Hajj: 26).
ADVERTISEMENT
Keempat, memiliki kemampuan yang besar dalam menjauhkan diri dari perbuatan buruk dan tercela, tidak mengulangi keburukan masa lalu karena hal tersebut merupakan salah satu tanda ibadah hajinya diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala (QS. Al-Maidah: 93).
Kelima, memiliki kemampuan yang besar untuk lebih zuhud dalam urusan dunia dan senantiasa mengharap kepada Allah dalam urusan akhirat. Hal yang sama telah dilakukan sepanjang perjalanan menuju medan haji, di medan haji dan proses kepulangannya ke Tanah Air. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ihlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Keenam, memiliki kemauan yang besar untuk lebih banyak memberi dan berbagi kepada karib kerabat dan masyarakat sekitar.
ADVERTISEMENT
Demikianlah kriteria haji mabrur. Kriteria penting pada haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar riya’, hanya ingin mencari pujian, apalagi ingin disebut “Pak/Ibu Haji”.
Ketika melakukan haji pun menempuh jalan yang benar, bukan dengan berbuat curang atau menggunakan harta yang haram, dan ketika melakukan manasik haji pun harus menjauhi maksiat, ini juga termasuk syarat tercapainya mabrur.
Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya. Oleh karenanya, senantiasalah MEMOHON DOA kepada Allah agar kita yang telah berhaji dimudahkan untuk meraih predikat haji mabrur. Yang tentu saja ini butuh usaha, dengan senantiasa memohon pertolongan Allah agar tetap taat bermanfaat dan menjauhi maksiat.
Semoga Allah menganugerahi kita haji yang mabrur dan tetap terjagan sampai akhir hayat, bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
ADVERTISEMENT
Sumber: www.percikaniman.org