Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Teroris Jancuk: Surabaya, Christchurch, dan Lentera Kemanusiaan
17 Maret 2019 23:49 WIB
Tulisan dari Pangky Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sahabat, pagi ini tatkala tulisan ini dibuat pada tanggal 16 Maret 2019, cuitan dan headlines media memenuhi ruang lini masa di notifikasi gadget penulis. Berita tentang penembakan brutal kepada jemaah ibadah salat Jumat di Masjid Linwood dan Masjid An-Noor, Christchurch, Selandia Baru, membuat penulis terkejut.
Kembali terjadi tragedi kemanusiaan yang membuat hati seorang insan berkecamuk antara perasaan sedih, duka mendalam, marah, dan tentunya bertanya-tanya atas motivasi pelaku yang secara jelas sadar untuk mengesampingkan nuraninya dan menjadi serigala bagi sesama insan-insan ciptaanNYA.
Kejadian ini juga membuat penulis kembali mengulik ingatan di tanggal 13 Mei 2018, tepat ketika terjadi tiga ledakan bom beruntut yang mengguncang kota Surabaya, tepatnya di tiga lokasi yakni Gereja Katholik Santa Maria, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Arjuna di kota Surabaya.
ADVERTISEMENT
Sahabat, rangkaian kejadian tersebut membuat penulis terusik untuk menuangkan tulisan ini seiring dengan besarnya harapan kepada lentera nurani kemanusiaan sebagai respon atas kejadian-kejadian tersebut, dan tentunya duka serta doa yang mendalam bagi segenap korban tragedi kejadian tersebut.
Aksi Terorisme untuk Motif Delusional Identitas dan Keresahan akan Perubahan pada Dunia?
Dari pemberitaan tentang kejadian tragedi di Christhchurch, Selandia Baru dan di Surabaya tersebut, ada beberapa motif yang setidaknya dapat direkam dari aksi brutal terorisme tersebut.
Seperti dikutip dari pemberitaan AP News, Brenton Tarrant dan David Malcolm Gray yang diidentifikasi oleh aparat Kepolisian Christchurch, Selandia Baru melakukan aksi terorisme penembakan di Masjid An Noor dan Masjid Linwood pada tanggal 15 Maret 2019 yang mereka siarkan secara online dan membawa pesan manifesto “white supremacy” sebanyak 73 halaman.
ADVERTISEMENT
Tarrant mengklaim bahwa serangan tersebut sebagai manifestasi atas keterwakilan “jutaan warga Eropa dan bangsa-bangsa etno-nasionalis lainnya”. Pelaku mengatakan alasan tindakan mereka adalah “menunjukkan kepada penjajah bahwa tanah kami tidak akan pernah menjadi tanah mereka (para imigran) dan bahwa selama orang kulit putih masih hidup, mereka tidak akan pernah menaklukkan tanah kami”.
Pelaku mengungkapkan bahwa dia telah merencanakan serangan ini selama dua tahun dan memilih untuk menyerang masjid di Christchurch, Selandia Baru sejak tiga bulan lalu. Alasan lain yang diungkapkan oleh pelaku mengapa memilih Selandia Baru, yang selama ini secara tradisional merupakan negara yang relatif rendah tingkat kriminalitasnya, adalah untuk melakukan amplifikasi semangat delusional ultra nasionalis “white supremacy” di negara yang memiliki kebijakan relatif terbuka kepada masuknya para imigran.
ADVERTISEMENT
Pesan pelaku membuka kotak pandora dan motif delusional bagi kebijakan dalam negeri Pemerintah Selandia Baru, khususnya terkait kebijakan imigrasi dan kebijakan register serta kepemilikan senjata api di negara tersebut.
Lain lagi dengan cerita dari kota Surabaya. Para sahabat sekalian, kejadian bom yang mengguncang kota tersebut pada tanggal 13 Maret 2018 dilakukan oleh satu keluarga. Pasangan suami istri Dita Oerpriarto dan Puji Kuswati, yang tidak tanggung-tanggung mengajak serta anak-anak mereka untuk melakukan tindakan terorisme tersebut.
Dilansir dari kumparan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan bahwa pada kejadian tersebut pelaku memiliki motif personal yang terpapar dan menjadi simpatisan atas gerakan transnasional terorisme ISIS. Lebih lanjut, keterlibatan anak-anak dalam aksi yang oleh pelaku dianggap merupakan bagian dari amaliah ini merupakan yang pertama kali terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pendapat lebih lanjut juga disampaikan oleh Sofyan Tsauri, eks-anggota jaringan Al-Qaeda, yang mengungkapkan bahwa ada bujuk rayu atau miskonsepsi pemahaman mengenai kehidupan yang indah setelah kematian yang dilakukan oleh orang tua (pelaku) kepada anak-anak mereka serta peyakinan bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari manifestasi jihad fisabilillah.
Kejadian ini juga cukup mengejutkan, mengingat Surabaya secara historis merupakan kota yang harmonis dengan latar belakang kohesi sosial yang erat di tengah keberagaman masyarakatnya, serta kota yang identik dengan semangat kepahlawanan, yang tercermin dari peristiwa 10 November 1945, saat arek-arek Suroboyo bersatu mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan milisi tentara sekutu yang diboncengi tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration).
Aksi terorisme pengeboman di Surabaya, terlepas dari pro dan kontranya, tak pelak menjadi pemantik bagi pentingnya kebijakan deradikalisasi serta tindakan preventif sebagai kesatuan upaya program counter terrorism di Indonesia, yang menjadi tugas bersama pemerintah, DPR, aparat penegak hukum, dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dari dua tragedi di atas, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa aksi-aksi terorisme tersebut dilatarbelakangi oleh adanya keresahan akan sebuah perubahan dunia (yang sejatinya perubahan itu sendiri telah menjadi arus utama global) serta kesalahpahaman pelaku dalam melakukan internalisasi atas paham-paham atau motif (yang tidak terbatas pada konsep ideologi, agama, maupun konsep puritanisme, dan hegemoni sebuah ras) yang berujung pada delusional pelaku untuk melakukan aksi-aksi terorisme tersebut.
“Teroris Jancuk” : Respon Kolektif Perlawanan untuk Terorisme
Sahabat, aksi-aksi terorisme di atas memantik beragam reaksi di masyarakat yang mengutuk keras aksi terorisme tersebut. Di Surabaya, slogan “Teroris Jancuk” dan “Suroboyo Wani” muncul sebagai reaksi kolektif masyarakat setempat yang menggambarkan keprihatinan sekaligus upaya perlawanan akan kekejian tindakan-tindakan terorisme yang mengusung berbagai macam motif untuk pelaksanaannya.
ADVERTISEMENT
Slogan ini pun dikuatkan oleh terpasangnya baliho “Teroris Jancuk” di salah satu sudut kota Surabaya, dan menjadi salah satu manifestasi sikap spontan pelampiasan dan perlawanan aksi terorisme yang terjadi di Surabaya. Beragam reaksi sempat dilontarkan oleh masyarakat kota Surabaya yang mayoritas mendukung slogan tersebut dengan nuansa perlawanan terhadap aksi terorisme yang terjadi di Surabaya.
Seperti yang disampaikan oleh salah satu sahabat penulis, Wiyata Kartika (28), yang menyampaikan “Sudah paling mantap itu mas bro, Surabaya ini kota pahlawan, gak ada ceritanya tempat untuk aksi-aksi terorisme. Kata “Jancuk” wis gak asing lah nang kuping arek-arek, iki sikap tegas masyarakat Suroboyo jaga kondusivitas”. Sikap ini juga yang penulis yakini, bahwa terorisme hanyalah akan berujung kepada timbulnya kehancuran dan kebencian.
ADVERTISEMENT
Bagi penulis, aksi terorisme di kota Christchurch dan kota Surabaya mengingatkan penulis pada salah satu sahabat penulis, Alm. Aloysius Bayu Rendra Wardhana , yang menjadi salah satu korban dalam rangkaian bom di Surabaya, serta kisah heroik Almarhum Riyanto, seorang Muslim dan anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser), yang tewas terkena ledakan bom ketika mencoba menyelamatkan jemaat Gereja Eben Haezer di Mojokerto pada malam Natal 24 Desember 2000 silam.
ADVERTISEMENT
Mas Bayu, begitu penulis biasa memanggilnya, dan Alm. Riyanto adalah tokoh-tokoh yang menjadi martir penyelamat bagi eratnya tenun kebangsaan Indonesia, serta menjadi lentera harapan bagi Indonesia.
Sahabat, tak mudah bagi seorang insan untuk melupakan kesedihan atas kehilangan seseorang. Apalagi bila itu adalah orang tua, saudara, atau sahabat dekat yang kalian kenal. Penulis mengenal almarhum Bayu sebagai teman dan sahabat “nyangkruk ngopi” yang asik. Profesinya sebagai seorang fotografer serta semangat totalitasnya untuk kegiatan sosial adalah imaji kuat yang lekat di benak penulis.
ADVERTISEMENT
Ketika berita bahwa Bayu menjadi salah satu korban dalam kejadian bom di Gereja St. Theresia, Surabaya, tak pelak menjadi berita mengejutkan yang membuat rasa hati penulis berkecamuk antara sedih, marah, sekaligus prihatin. Mungkin hal ini juga yang dirasakan secara komunal oleh masyarakat, khususnya insan-insan yang peduli akan kedamaian dan keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, teriring dengan doa semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan tempat terbaik kepada para korban, penulis yakin bahwa kejadian-kejadian tersebut akan membangkitkan harapan yang kuat bagi kedamaian di seluruh negeri.
Untuk almarhum mas bro Bayu, untaian doa tak putus kupanjatkan kepada Yang Maha Kuasa, dirimu sudah tenang mas bro, pastinya semangat dan pengorbananmu untuk memberikan yang terbaik pada sesama akan menjadi benih subur bagi harapan akan kemanusiaan di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Masih lekat ingatan pertemuan diskusi terakhir kita, kau dengan filosofimu "Hidup ini sejatinya mampir minum, so menjadi bermanfaat bagi sesama adalah kebahagiaan yang hakiki", pastinya pesan ini akan terus kubawa dalam setiap langkah hidupku.
Renungan Rahmah: Cinta Kasih yang Mendamaikan
Aksi terorisme di manapun terjadi, dengan segala motifnya, yang merenggut nyawa insan-insan ciptaanNYA adalah suatu hal yang harus dilawan. Terorisme adalah secara nyata merupakan kejahatan atas kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Tiada korelasi antara terorisme dengan ajaran agama apapun, karena memang terorisme dan manifestasi kebencian sangat tidak berkaitan dengan ajaran agama. Kebencian bukan jawaban atas dunia, melainkan rahmah atau cinta kasihlah yang menjadi harapan dan lentera untuk dunia yang damai.
Penulis secara pribadi mendukung setiap langkah dan upaya dari setiap negara berdaulat untuk melakukan langkah preventif dan menyeluruh guna memerangi terorisme. Identitas benar telah menjadi masalah kompleks yang harus segera dipahami oleh para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Karena tanpa mitigasi dan pengelolaan yang tepat, kebencian akan merajalela.
Dialektika tentang aku dan kamu, kita dan kami, sejatinya ini bukan soal suku, ras, ataupun agama. Tiga hal tersebut, menurut penulis, hanya merupakan komoditas yang awam dipakai untuk menciptakan benturan dan konflik sosial, apalagi ketika dimanfaatkan dalam arena perebutan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai perbedaan ketiga hal tersebut membuat kita lupa akan kemanusiaan. Ya, nilai kemanusiaan yang sama-sama melekat pada setiap insan yang memiliki perasaan dan asa untuk masa depan yang lebih baik.
Sahabat, penulis ingin menutup tulisan ini dengan sebuah renungan, bahwa sejatinya kita semua adalah insan ciptaanNYA, yang sudah menjadi keniscayaan untuk menyebarkan rahmah atau cinta kasih kepada sesama insan, sebagai wujud ketakwaan kepada Sang Pencipta.
Agama samawi mengajarkan cinta kasih sebagai esensi dalam kehidupan antar umat manusia sebagai ciptaan Sang Kuasa. Tuntunan atas rahmah atau cinta kasih ini termaktub jelas dalam kitab Al-Quran dan Al-Kitab serta Hadist sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tarmizi:
Q.S 49:13
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah maha mengetahui, maha teliti”
ADVERTISEMENT
Galatia 5:14
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”
Matius 6:12 (salah satu penggalan dari doa “Bapa Kami”)
“..Dan Ampunilah segala kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami”
Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tarmizi: H.R Tarmizi
“Kasihilah/sayangilah penduduk bumi, maka niscaya penduduk langit (Allah SWT) akan mengasihi/menyayangimu”
Teriring dengan doa bagi para korban aksi terorisme di Christchurch, Selandia Baru dan Surabaya, semoga damai senantiasa menyertai bumi ini. Amien