Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Film Budi Pekerti dan Manajemen Krisis
29 April 2024 22:24 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Panji Mukadis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini publik dihebohkan sebuah pengumuman dari putri seorang pejabat tentang keputusannya melepas hijab. Hal ini menimbulkan beberapa layer kritik dari masyarakat, selain seputar keputusan tersebut, yaitu tentang keputusannya memberi klarifikasi di ruang publik. Sebagai catatan, paragraf di atas saya jadikan pembuka, sekaligus isu tersebut kita putus di sini dengan memahami usia dari yang bersangkutan dan tidak ingin memberi beban tambahan, apalagi menjadikan tulisan ini sebagai wadah perundungan.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, hal ini tetap membawa saya teringat akan film Budi Pekerti karya Wregas Bhanuteja yang baru saya tonton karena baru diluncurkan di Netflix akhir bulan lalu. Sebagai catatan, tulisan ini bisa mengandung beberapa spoiler yang bisa jadi mengganggu kenyamanan menonton, walau demikian untuk film ini spoiler bisa jadi dibutuhkan sebelum menonton dikarenakan naik turun selama hampir dua jam yang bisa jadi memicu ketidaknyamanan saat menonton.
Budi Pekerti menceritakan tentang Prani (Sha Ine Febriyanti) seorang ibu yang berada dalam lingkungan keluarga yang kompleks. Sang suami pengidap bipolar sementara anak-anak mereka; yang pria Muchlas (Angga Yunanda) merupakan seorang kreator digital, sementara yang perempuan aktivis yang bergerak melalui grup musiknya. Ibu Prani merupakan seorang guru yang membutuhkan tambahan pemasukan dan sedang dalam proses untuk dipromosikan mengingat prestasinya di sekolah.
ADVERTISEMENT
Ketegangan dalam film bermula ketika Prani terlibat cekcok dengan sesama pelanggan penjual kuliner yang sedang laris. Tertangkap video, Prani pun menjadi viral melalui potongan video yang terlepas dari konteksnya. Ditambah lagi dalam video, Prani ditengarai mengucap kata-kata kasar yang tidak seharusnya diucapkan seorang guru.
Budi Pekerti pun terbilang kaya akan hal yang bisa dibahas. Menyambung dari hal yang saya angkat di awal, film ini sangat menarik apabila diangkat dari sisi manajemen komunikasi, khususnya manajemen krisis komunikasi di era digital. Pasalnya setelah ketegangan di awal, alur film naik turun hinggal kira-kira 90 menit menuju akhir diakibatkan keputusan-keputusan yang dilakukan untuk menanggulangi konflik.
Konflik yang disebut tadi ditangani dengan serba ngonten. Dari mulai keputusan Prani secara individual membuat konten video klarifikasi, Muchlas yang membuat konten bersama Prani, dan paling akhir ketika dewan sekolah memerlukan klarifikasi akhir berupa video konten juga.
ADVERTISEMENT
Menangani Krisis dengan Diam
Dalam salah satu manajemen krisis komunikasi, yang terbilang populer adalah keputusan untuk bereaksi seminim mungkin agar tidak membuat bola salju bergulir lebih lama. Biografi Beckham yang juga tayang di Netflix yang mengingatkan kita akan krisis rumah tangga Beckham dan Victoria pun menunjukan pendekatan ini. Semua pada saat itu tahu ada krisis dalam rumah tangga mereka, namun mereka memutuskan untuk menangani ini secara tertutup dan membiarkan publik menyimpulkan sendiri. Sebagai keluarga yang penuh dengan sumber daya, bisa diperkirakan bahwa keputusan ini telah melalui konsultasi panjang konsultan humas keluarga.
Manajemen krisis dalam komunikasi mengacu pada kemampuan berpikir stratejik dalam menangani situasi yang berpotensi berpengaruh signifikan pada sebuah entitas. Dalam tulisan ini kasusnya yaitu keputusan sang anak pejabat di sebuah negara mayoritas muslim, kasus viralnya Prani yang tertangkap “misuh” dan juga krisis rumah tangga David Beckham. Terdapat beberapa pertimbangan termasuk reaksi publik agar situasi tidak menjadi lebih parah antara lain seberapa parah krisis tersebut, kelengkapan informasi, dan juga aspek hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus Prani, klarifikasi awal yang ia buat menimbulkan eskalasi baru saat pihak yang ia singgung dalam video memberi klarifikasi lanjutan sebagai sanggahan. Apa yang dilakukan Prani dengan “konten”-nya amat mungkin memberi implikasi hukum dengan beberapa pasal; antara lain sebut saja pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Aspek kelengkapan informasi menjadi pertimbangan selanjutnya karena manajemen krisis yang dilakukan pihak-pihak yang simpatik terhadap Prani malah menjadi bumerang dikarenakan ada hal yang tidak diketahui sebelumnya dan baru terkuak dan menjadi masalah besar sampai akhir.
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul usai menonton film ini rasanya merupakan hal yang valid, antara lain usai konten demi konten yang menjadi bumerang dan malah menyusahkan, bagaimana dengan penyelesaian tanpa ngonten yang diambil? Sesuai silogisme yang dibuat sepanjang film, tidak bisakah kita melihat didapat Prani di penghujung film? Pun demikian Budi Pekerti film kedua Wregas Bhanuteja setelah Penyalin Cahaya merupakan film yang menarik dikaji dari sisi manajemen komunikasi. Di dalam dunia “serba konten” saat ini yang bisa dikaitkan dengan kritik Guy Debord terhadap masyarakat yang terobsesi terhadap gambaran dan penampilan ketimbang kenyataan yang ada, sesuai dalam bukunya “Society of Spectacle” (1967). Dunia serba konten dan masyarakat yang semakin mengacu pada realitas-hiper membutuhkan pertimbangan lebih saat kita bereaksi dan mengelola krisis.
ADVERTISEMENT