Hometown Cha-Cha-Cha: Bukan Comfort Series Biasa

Panji Mukadis
Pegiat film, saat ini merupakan dosen prodi Business Management Swiss German University dan Mahasiswa program Doktor Sains Manajemen ITB
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2021 13:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Panji Mukadis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster Hometown Cha-Cha-Cha. Copyrignt TVN
zoom-in-whitePerbesar
Poster Hometown Cha-Cha-Cha. Copyrignt TVN
ADVERTISEMENT
Tulisan ini mulai disusun sebelum serial rampung dan kasus menyeruak. Tampilan aktor yang dimaksud ditampilkan seminimum mungkin.
ADVERTISEMENT
Setelah berapa bulan lamanya, rampung juga sebuah serial drama Korea Selatan (drakor) Hometown Cha-Cha-Cha (Homcha). Menemani beberapa judul yang ramai dibicarakan seperti Squid Game dan juga Midnight Mass, serial ini bergantian menempati posisi teratas judul terpopuler di Netflix yang kini membagikan ranking tersebut kepada publik dalam website mereka sebagai strategi promosi.
Kilas balik beberapa bulan yang lalu, atas berbagai alasan sebenarnya saya merasakan kejenuhan mengikuti drakor. Homcha yang pada suatu malam saya putuskan untuk ikuti pun demikian, bahkan episode pertamanya butuh beberapa kali duduk selama dua hari untuk menyelesaikannya. Namun masuk episode kedua, dengan beberapa masalah yang dihadapi oleh dua karakter utama dan juga potret kehidupan para warga Gongjin (kota fiksi dalam film, terletak beberapa jam naik mobil dari Seoul), serial ini semakin menarik diikuti. Lumrah jika kemudian drakor ini menjadi comfort series (serial yang bisa ditonton untuk merasa nyaman) yang digemari, terutama bagi mereka yang terbiasa dengan bangunan konflik dalam serial-serial Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Namun bagi saya Hometown Cha-Cha-Cha bukanlah comfort series biasa. Dengan mediumnya yang berupa serial 16 episode ia mampu mengantarkan gagasan, yang disampaikan melalui pengembangan hubungan antar karakternya dengan baik. Melalui dua karakter yang mendapat pendidikan terbaik di Korea; Hong Du-Sik warga lokal yang karena satu dan lain hal kembali ke kota kelahirannya, dan Yoon Hye-Jin (Shin Min-A) dokter gigi yang harus keluar dari tempat kerjanya Seoul dan memutuskan membuka praktik di kota yang sama, Homcha hadir sebagai drama Korea dengan keterbangunan (wokeness) sosial yang penting.

Pelosok daerah bukan sebagai tempat untuk ditolong

Dengan status pendidikan yang dimiliki dua karakter utama, bisa saja mereka dihadirkan sebagai pahlawan bagi kota kecil ini namun tidak. Dalam Hometown Cha-Cha-Cha justru kota kecil Gongjin lah yang menjadi penyelamat bagi kedua karakter. Bagi Hye Jin kota ini membuka harapan baru untuk memulai usaha praktik dokter gigi, sedangkan bagi Du-Sik, kampung halamannya ini yang menyelamatkannya dengan berbagai cara setelah segala kejadian yang menimpanya di ibukota.
ADVERTISEMENT
Raka Ibrahim (2020) sempat membahas tentang kaum terpelajar yang sejak kecil sampai besar tumbuh di lingkungan perkotaan lalu merasa orang lain termasuk yang di pelosok daerah membutuhkan inspirasi dari mereka. Muda-mudi functional member of society yang merasa menjadi lilin, namun di ruang publik merendahkan keterbatasan mereka yang dihantam badai ekonomi karena pandemi. Gejala hero complex muda mudi ini sedikit terangkat dalam film Short Term 12 (Destin Daniel Cretton, 2013) melalui salah satu karakter guru pada film tersebut yang keceplosan berkata ingin membantu anak-anak underprivilege di hadapan anak-anak yang dimaksud.
Alih-alih coba jadi pahlawan, Hong Du-sik dan Hye-jin mereka berdagang seperti biasa, mereka menarik upah jasa sesuai tarif wajar, terkadang ada pihak yang harus diberi keringanan, yang mana mereka beri keringanan dengan kebijakan masing-masing agar tidak menyusahkan diri dan usaha mereka juga.
ADVERTISEMENT
Beberapa plot kisah pendamping dalam Homecha di mana warga Gongjin menyelesaikan masalah mereka sendiri praktis tanpa campur tangan kedua karakter (misalnya tentang pernikahan Hwa Jeong dan Yeong Guk) turut memperkuat hal tersebut.

Menampilkan tokoh utama yang single di usia 35 tahun

Tiap hari di berbagai media termasuk media sosial, kita dapat dengan mudah menemukan remaja atau paling tidak usia 20an yang melihat orang dewasa usia 30an sebagai dinosaurus. Di era saat orang makin terkoneksi, individu yang melajang atau belum menikah malah makin dilihat aneh oleh remaja-remaja ini. Beberapa malah bisa dengan mudah menandai bendera merah pada orang dewasa yang masih melajang selama beberapa lama.
Hometown Cha-Cha-Cha dengan dua karakter utama usia 35 tahun, dengan kapasitas mereka dapat mendobrak stigma tentang menjadi lajang di usia tiga puluhan (atau mungkin dampaknya lebih dari itu) kepada para penonton mereka. Selain itu kedua karakter utama juga tidak ditampilkan sebagai individu-individu frustrasi mencari cinta lalu kebelet nikah. Dalam drakor ini diceritakan keduanya masing-masing fokus pada diri, lalu saling bertemu di saat keduanya mapan (dengan definisi luas akan terminologi ini) setelah mengalami berbagai hal dalam hidup. Saat memutuskan bersama, keduanya berproses untuk saling menerima dan berkomitmen menyelesaikan hal yang belum tuntas. Dalam kasus Hong Du-sik, sebagian ditunjukkan secara implisit ketika ia tidak lagi menganggap dirinya sebagai pembawa sial dan melamar Hye-jin.
ADVERTISEMENT
Hong Du-sik dan hatinya yang besar
Saat saya berbicara tentang Du-sik, tentu yang saya bicarakan adalah karakter fiksi, bukan aktor di belakangnya dengan penghargaan pada sutradara dan penulis. Karakter Hong Du-sik beberapa kali menampar saya sebagai laki-laki yang mungkin masih terlalu membesar-besarkan ego dan pride (bagian dari maskulinitas beracun?) Terutama di sini yang sangat menonjol yaitu ketika ia dengan santai menerima perkataan Hye-jin di episode-episode awal yang saat itu masih berproses, sering kepleset dan merendahkan orang lain yang punya pilihan hidup berbeda.
Kebesaran hati Du-Sik juga kemudian semakin ditunjukkan ketika ia dengan santai mendatangi ayah Hye-jin setelah mendengar omongan yang merendahkahnnya. Du-Sik yang paham ayah Hye-jin khilaf dan merasa tidak enak setelahnya, mendatangi untuk ngobrol lalu kemudian situasi menjadi membaik.
Perdebatan Hye-Jin dan ayah, yang ternyata didengar oleh Hong Du-sik Copyright: TVN Hometown Cha-Cha-Cha

Emansipasi perempuan: privilege yang tidak jadi beban

Dari sisi Hye-jin, kita bisa membahas tentang emansipasi perempuan dan nilai feminisme. Sebagai sosok yang telah mengupayakan dan mencapai privilesenya, capaian tersebut akhirnya tidak membebaninya untuk memilih pria yang ia inginkan. Ia mengutarakan perasaannya terlebih dahulu ketimbang Du-sik, bahkan lebih jauh lagi ia kemudian yang duluan melamar Du-sik untuk menikah. Dalam konteks Homcha, hal ini memang tidak serta merta terjadi begitu saja, terlebih dengan tekanan sosial, keluarga, serta pertemanan, namun dalam kurang lebih 10 episode, proses melepas belenggu dan memilih menggunakan privilese untuk memilih yang ia mau diceritakan dengan alur yang baik.
Yun Hye-Ri diperankan oleh Shin Min-A (Hometown Cha-Cha-Cha Copyrignt TVN)
Di luar hal-hal yang saya utarakan di atas, tentu masing-masing dari kita penyuka serial Hometown Cha-Cha-Cha punya pandangan sendiri apa yang bisa diambil dari film ini, dengan kayanya isu sosial yang dibahas. Menyadari adanya perkembangan terbaru dari pemeran utama pria, penulis memutuskan untuk tetap menyelesaikan hal ini dengan harapan judul ini tidak mati begitu saja, dalam artian setelahnya kita bisa lebih banyak lagi judul-judul yang sebaik atau malah lebih baik dari Homcha. Bukan hanya dari kualitas, termasuk ketika membahas masalah-masalah sosial, dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya juga bukan individu yang problematis.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks lokal konten-konten seperti Homcha semoga bisa memicu para kreator lebih peka dan kreatif ketika menampilkan individu-individu dewasa dan juga potret berbagai daerah serta individu-individunya. Keluar dari kacamata bahwa mereka adalah orang-orang yang perlu ditolong, tertinggal, compang-camping dan serba mistis.
Tontonan klasik bagi generasi.
Sumber luar:
https://asumsi.co/post/4229/kami-nggak-perlu-inspirasi-dan-kalian-perlu-belajar-mendengarkan