Kelanjutan Kuliah Tanpa Wajib Skripsi, Siapa Untung?

Panji Mukadis
Pegiat film, saat ini merupakan dosen prodi Business Management Swiss German University dan Mahasiswa program Doktor Sains Manajemen ITB
Konten dari Pengguna
7 Februari 2024 5:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Panji Mukadis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi skripsi. Foto: Aewphoto/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi skripsi. Foto: Aewphoto/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Agustus 2023 lalu Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset & Teknologi, Nadiem Makarim, telah mengumumkan penghilangan kewajiban skripsi sebagai syarat lulus jenjang Strata 1 (S1) dan Diploma 4 (D4) , namun pelaksanaannya di universitas diperkirakan akan mulai masif terjadi pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023,hilangnya kewajiban skripsi kemudian akan diganti dengan beberapa opsi antara lain pembuatan prototipe atau proyek tugas akhir yang sejatinya sedikit banyak membutuhkan laporan tertulis tidak jauh berbeda dengan skripsi.
Di berbagai institusi, sejauh ini kira-kira telah ada satu angkatan kerja baru telah diwisuda sejak pengumuman tersebut. Pada tahun 2024, berdasarkan data PDDikti (https://pddikti.kemdikbud.go.id/), dengan jumlah total mahasiswa S1 & D4 mencapai 8.6 juta-an, diperkirakan akan ada sekitar 2.15 juta wisudawan yang semuanya berpotensi lulus tanpa mengambil skripsi.
Jika terjadi, realitas ini akan mengamini respons dari para mahasiswa di berbagai media sosial yang menyambut suka cita penghilangan kewajiban skripsi saat hal ini baru diumumkan ke publik.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, dibanding para mahasiswa jangan-jangan ada pihak-pihak lain yang lebih diuntungkan dengan hilangnya kewajiban skripsi ini.

Kapitalis Pendidikan

Para pemberi kerja telah lama memiliki kesulitan untuk menemukan calon pekerja yang layak. Kualifikasi lulusan universitas semakin diragukan, terlihat dengan semakin diabaikannya capaian Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas 3.5 karena IPK kini dirasa semakin menggelembung sesuai fenomena inflasi nilai yang menjadi pembahasan di berbagai forum. IPK hanya jadi alat bantu seleksi awal namun sulit memberikan gambaran akan kualitas lulusan.
Ditambah dengan hilangnya kewajiban skripsi. Hipotesisnya, bagi pemberi kerja perkuliahan akan dianggap lebih mudah dan capaian IPK tinggi hanyalah realitas semu untuk menyenangkan pelanggan alias mahasiswa.
Bagi para kapitalis pendidikan, ini adalah celah bisnis. Untuk mendefinisikan kapitalis, penulis coba membuat sintesa antara titik ekstrem atas prinsip efisiensi produksi yaitu pencarian keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sesedikit mungkin ditambah dengan konsep “profit”. Dalam pembukuan yayasan pengelola pendidikan, nilai lebih yang muncul memang tidak tercatat sebagai profit, walau demikian tetap dapat memperkaya pemilik modal secara drastis.
ADVERTISEMENT
Hilangnya kewajiban skripsi akan dilihat sebagai efisiensi dan hal yang meringankan institusi pendidikan tinggi karena tidak perlu merekrut dosen dengan kualifikasi yang layak untuk membimbing mahasiswa melakukan penelitian. Kebijakan tanpa skripsi ini juga membuka peluang kapitalis pendidikan berekspansi menjaring mahasiswa sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan kesiapan tenaga dosen, ratio antara dosen dan mahasiswa, maupun ketersediaan fasilitas yang memadai bagi para mahasiswa.
Misalnya 1 orang dosen diberikan kelas regular yang diikuti lebih dari 60 mahasiwa, bisa terbayang betapa rendahnya kualitas penerimaan materi perkuliahan dari para mahasiswa. Pengeluaran perguruan tinggi ditekan agar seminimal mungkin, tapi dampaknya kualitas belajar mengajar menjadi turun.
Di saat yang sama institusi pendidikan tinggi pun tidak memenuhi kondisi ideal bila ingin menghadirkan kuliah praktik memadai bagi mahasiswa, karena ketidaksiapan maupun keterbatasan dosen dan fasilitas universitas, sedangkan jumlah mahasiswa membeludak.
ADVERTISEMENT
Eksesnya, tentu saja hak mahasiswa untuk mendapat bimbingan praktikum tidak terpenuhi sementara beban kerja SKS dosen yang harus diimbangi dengan beban kerja pengabdian dan juga penelitian juga bertambah. Ini pun secara sistem malah didorong oleh pemerintah melalui kementerian dengan adanya penghargaan untuk universitas dengan satu kategori yakni dari jumlah mahasiswanya.
Hal-hal yang mengkhawatirkan tersebut bisa berkembang cepat apalagi sampai saat ini, relatif belum ada arahan konkret seperti apa peta jalan pendidikan di Indonesia seiring dengan dihapuskannya kewajiban skripsi.

Penguatan Universitas dan Sekolah Vokasi

Secara umum, universitas merupakan tempat pengembangan ilmu. Berbagai teori diajarkan secara mendalam dan sesuai dengan taksonomi bloom mahasiswa tingkat S1 memahami penerapan dan dapat mengaplikasikannya.
Bukan hal yang dilarang juga, bila memenuhi ketentuan, mahasiswa dapat mengembangkan teori baru dari temuan-temuan yang ia buat melalui proses perkuliahan.
ADVERTISEMENT
Semakin ke sini pun universitas semakin didorong untuk memiliki dosen dengan kualifikasi Strata 3 yang mana untuk memastikan dosen-dosen memenuhi syarat untuk pengembangan ilmu, salah satunya dalam hal melakukan penelitian baik sendiri atau dalam membimbing mahasiswanya.
Mengikuti sistem pendidikan di luar, sebut saja di barat, pendidikan tinggi sendiri terbagi dalam beberapa bentuk dari yang lebih teoretis atau lebih praktis. Untuk Indonesia, pendidikan praktis dikenal dengan bentuk sekolah vokasi.
Universitas negeri seperti UGM telah dikenal memiliki pendidikan vokasi yang sejalan dengan nilai universitas, selain juga S1 yang mana UGM juga dikenal kuat akan kedalaman teorinya. Untuk swasta, Swiss German University memiliki kombinasi pendidikan praktik dan teoretis yang berimbang dengan berjalannya perkuliahan yang cukup ambisius untuk memenuhi program merdeka belajar.
ADVERTISEMENT
Maka berbarengan dengan rencana tidak diwajibkannya skripsi, pemerintah perlu mendorong majunya pendidikan vokasi agar semakin menjadi hal yang umum dengan demikian juga pandangan miring tentang pendidikan vokasi juga akan hilang dengan sendirinya.
Pemerintah perlu secara konkret membuat rumusan untuk pendidikan vokasi di Indonesia agar lulusan setingkat sarjana benar-benar terserap ke industri. Setidaknya ada beberapa hal jangka pendek (quick fix) yang harus disiapkan pemerintah yakni:.
1. Pengganti skripsi harus diperjelas kriterianya untuk S1 & D4.
2. Jumlah dosen & kompetensi dosen senantiasa ditingkatkan dengan kemauan perguruan tinggi untuk meningkatkan jumlah mahasiswa-nya.
3. Perihal rasio dosen dan mahasiswa paling tidak, untuk memenuhi kriteria kuliah praktik sebuah kelas misalnya berisi 50 orang perlu memiliki tim pengajar minimal berisi dua dosen dengan keahliannya dan pembagian tugas di dalam kelas. Menggantikan sertifikasi wajib dari swasta, satu dosen ini bisa jadi opsi asisten dan sertifikasi muncul dengan sendirinya karena telah mengikuti kelas
ADVERTISEMENT
Dengan demikian baik secara teori maupun praktik, mahasiswa dapat terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan di sebuah institusi. Bukan kemudian malah diwajibkan untuk mengikuti sertifikasi dari mitra-mitra pemerintah dan mendapat materi-materi yang sebenarnya diharapkan oleh mahasiswa sudah didapat dengan empat tahun berkuliah di sebuah institusi pendidikan formal.
Jangan sampai baik kedalaman akan keilmuan maupun praktik sama-sama tidak tergapai oleh mahasiswa selama di perguruan tinggi.
Ditengarai dengan berbagai kebijakan yang ada universitas menjadi ladang yang semakin menarik untuk dirintis pemilik modal. Karena pertama, secara sistem lebih longgar untuk meninggalkan kewajiban untuk merekrut tenaga kerja yang memadai. Kedua, cukup lah memberikan pengalaman belajar di kelas seadanya karena hal-hal teknis bisa diserahkan pada lembaga sertifikasi.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya aturan dan peta jalur yang memadai bagi pendidikan tinggi baik universitas ataupun vokasi, diharapkan lulusan mendapatkan haknya, pihak-pihak pencari tenaga kerja bisa terbantu untuk mencari tenaga kerja siap pakai sehingga pendidikan S1 menjadi cukup dan kekurangannya tidak lantas malah dikomodifikasi marketing kampus untuk jualan S2 misalnya.
Dengan demikian kebijakan kebijakan yang ada tidak semata berpihak pada kapitalis pendidikan.