Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menunggu Meletusnya Gelembung Pasca-Sarjana
17 Juni 2021 13:24 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Panji Mukadis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah infografis lewat di depan mata beberapa waktu lalu, yaitu soal alasan mengapa milenial banyak yang memilih tidak punya anak.
ADVERTISEMENT
Beberapa poinnya menarik, tapi salah satu yang cukup menggelitik yaitu berbunyi “Millenials are the most educated yet the most underpaid generation” atau bisa kita terjemahkan secara bebas bahwa generasi milenial merupakan generasi paling terpelajar namun juga dibayar paling rendah.
Hal ini juga turut diperkuat oleh sebuah hasil riset oleh Pew Research Center , sebuah lembaga riset dengan perhatian terkait masalah publik, yang menampilkan bagaimana secara jenjang pendidikan, milenial mendapat pendidikan lebih tinggi, hal yang didorong oleh beberapa faktor seperti dorongan sosial maupun tuntutan profesi sejak beberapa dekade menuntut praktisinya memiliki gelar spesifik terlebih dahulu.
Balik ke infografis tadi, poin dari infografis menjadi hal yang patut untuk direnungkan. Ini terkait dengan hal yang saya lihat dan alami. Beberapa sumber termasuk perbincangan yang saya temukan, mencatat adanya kelompok yang mendaftar S-2 untuk mengisi waktu dan berupaya menaikkan kapabilitas mereka dikarenakan sulitnya mendapatkan pekerjaan di masa sekarang.
ADVERTISEMENT
Hal kedua, saya tarik dari hal yang dekat yaitu lingkungan akademis, dosen semakin dituntut atau malah mulai diwajibkan untuk menempuh jenjang S-3. Dari beberapa poin ini bisa kita lihat bahwa di masa yang akan datang, bisa jadi gelar S-2 akan semakin menjadi sesuatu yang biasa saja.
Di sisi lain, universitas-universitas semakin banyak menghadirkan S-2 sebagai salah satu programnya disertai dengan janji-janji peningkatan karier, kurikulum yang menyesuaikan dengan industri, dan banyak lagi. Kini pertanyaannya, apakah hasil yang dicapai usai lulus, akan sesuai dengan harapan yang diinginkan? Kini kita tarik saja garis sederhana saja, apabila sekarang saja banyak perusahaan kesulitan untuk mengeluarkan ongkos membiayai pekerja freshgraduate, apa memang iya, mereka juga akan dengan mudah menerima lulusan S-2? Tidakkah kita lumrah mendengar istilah “overqualified” sebagai alasan orang ditolak kerja?
ADVERTISEMENT
Menempuh S-2 apalagi S-3 idealnya bukan semata metode peningkatan karier. Ada bentuk dedikasi terhadap ilmu pengetahuan di dalamnya, mengupas lebih dalam hal-hal yang dipelajari saat menjadi mahasiswa S-1. Namun begitu, menempuh jenjang-jenjang ini membutuhkan investasi yang tidak sedikit jumlahnya, kalaupun ditempuh dengan beasiswa juga tetap ada biaya yang dikeluarkan dan juga tenaga.
Apa yang terjadi ketika harapan ketika memutuskan menempuh S-2 tidak sesuai dengan apa yang dihasilkan setelahnya? Apalagi setelah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Karena sudah tidak sampai, apakah nanti pengeluaran S-2-nya malah membawanya hidup susah dan menjadi investasi bodong? Dalam pendekatan ekonomi, ketidaksampaian tersebut bisa disebut dengan gelembung (bubble) ekonomi. Sebagaimana gelembung-gelembung ekonomi lain, gelembung ini pun bisa menjadi beban serius nantinya.
ADVERTISEMENT
Kembali pada bahasan S-2 yang semakin lumrah, lulusannya dengan kondisi sekarang makin terjepit di antara anggapan overqualified namun juga semakin menjadi standar baru, membuat lulusannya kemudian harus iklas bila dianggap biasa saja sehingga ternyata kariernya tidak berkembang-berkembang banget atau atau secara penghasilan juga tidak bisa naik secara signifikan (atau malah sama sekali tidak naik).
Apabila tadi milenial telah lebih dahulu dikenal sebagai generasi paling terpelajar namun digaji lebih kecil, melihat situasi ke depan, rasa-rasanya gap tersebut akan semakin besar nanti pada generasi selanjutnya.
Universitas yang tadinya menjadi pilihan berkarier untuk lulusan S-2, dengan berbagai regulasi yang ada semakin memilih menerima lulusan S-3 untuk bekerja sebagai dosen. Penghargaan bagi lulusan S-2 terdepresiasi secara sistemik, terlebih dengan haluan universitas yang semakin kapitalistik.
ADVERTISEMENT
Tadi sempat saya sebutkan bagaimana periset dengan dedikasi mereka di terhadap ilmu pengetahuan secara teori dan praksis kesulitan untuk berkiprah di industri karena dianggap overqualified. Kita juga melihat melihat bagaimana dunia riset sendiri di negara ini mengedepankan orang politik ketimbang individu-individu yang berkutat dengan dunia riset untuk mengomandoi. Belum lagi dengan gelar-gelar akademis yang diobral.
Terakhir yang juga cukup hangat, kita bisa melihat lumrahnya individu-individu tertentu terpilih menjadi komisaris atas jasa-jasa mereka di luar kompetensi dan bidang disiplin ilmu yang digelutinya terkait dengan perusahaan ini, nanti bisa tinggal diberi kursus administrasi bisnis untuk mengejar kekurangan. Rasa-rasanya di sini bisa lihat bahwa apa pun jargon serta berbagai kampanye yang dikeluarkan mengenai pendidikan, masyarakat dapat menilai sendiri bagaimana negara menghargai pendidikan dan ilmu pengetahuan melalui praktik-praktik tadi.
ADVERTISEMENT
Institusi dianggap semata pabrik manusia siap kerja bagi para konglomerat pemilik usaha, sementara pengembangan pengetahuan dan usaha-usaha di dalam universitas itu sendiri dibiarkan dan dianggap kecil bagi banyak pihak termasuk oleh negara, maka akan wajar apabila mahasiswa-mahasiswa yang menimba ilmu di jenjang sarjana juga tidak terlalu merasa penting untuk mulai belajar serius karena masih akan ada kesempatan memperbaiki pada jenjang lanjutan.
Padahal merupakan kondisi ideal bahwa pendidikan yang didapat saat S-1 harusnya menjadi cukup bagi tiap individu untuk dapat berkarya serta mencukupi kebutuhan mereka setelah lulus.
Apabila situasi terus seperti ini dan berbagai pihak terus menunjukkan apresiasi minim atas pendidikan dan pengembangan pengetahuan, rasa-rasanya meletusnya gelembung ini sudah di depan mata. Gelembung pasca-sarjana.
ADVERTISEMENT