Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Twenty Five Twenty One: Olahraga Bukan Semata Tempelan
18 April 2022 15:34 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Panji Mukadis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dua pekan lalu, salah satu serial Korea produksi Netflix telah merampungkan episode pamungkasnya. Dengan total sejumlah 16 episode, banyak hal menarik dalam serial ini. Karena pastinya telah banyak yang membahas dari sisi kisah romansa, saya akan lebih membahas Twenty Five Twenty One sebagai salah satu serial bertema olahraga dengan alur paling menarik yang pernah saya ikuti.
ADVERTISEMENT
Di Balik Bonus Besar Atlet Juara
Menghadirkan dua tokoh sentral, Na Hee-Do (Kim Tae-ri) dan Ko Yu-Rim (Bona), serial Twenty Five Twenty One menghadirkan proses panjang keduanya untuk menjadi atlet profesional di cabang olahraga anggar. Pada sebuah babak penting serial ini, tepatnya saat final Asian Games diperlihatkan Ko Yu-Rim dengan kebutuhan ekonominya mengalami depresi besar saat kalah dari Na Hee-Do yan artinya ia tidak mendapat bonus dari asosiasi.
Menarik konteks di Indonesia, negara kita sendiri merupakan negara dengan bonus yang besar dibanding bonus untuk atlet di negara lain, bahkan sebut saja dibandingkan Amerika Serikat. Namun di balik bonus mentereng tersebut, terkuak hal lain yaitu dana pembinaan yang pas-pasan atau gaji sehari-hari para atlet. Seperti yang ditunjukkan dalam episode-episode Twenty-Five Twenty-One seputar Asian Games tersebut, para atlet harus terlebih dahulu menjadi juara dalam sebuah kompetisi internasional (yang mana kita paham sendiri tidaklah mudah) untuk kemudian bisa menuai hasilnya secara finansial.
ADVERTISEMENT
Hal seputar ini (bonus besar atlet) terkadang diungkit dengan tidak dipahami secara menyeluruh. Dengan terbatasnya masa produktif para atlet, pada usia relatif muda, para atlet ini kemudian harus memilih apakah harus melanjutkan impian mereka atau terpaksa gantung raket di usia dini. Fenomena para atlet/eks-atlet menjadi influencer olahraga di media sosial bisa jadi sebenarnya menjadi cerminan seperti apa ekosistem olahraga kita, yang mirisnya terkadang para influencer ini dengan gampangnya mendapat komentar "kalau jago kok gak di pelatnas?"
Masih berkaitan dengan motif ekonomi, satu hal yang menarik ditunjukkan melalui perjalanan dan pilihan hidup para pemeran utamanya, khususnya Ko Yu-Rim dan Na-Hee Do, film Twenty Five Twenty One terbilang progresif dengan tidak terjebak menjual nasionalisme sebagaimana cerita-cerita tentang olahraga dalam budaya populer termasuk di Indonesia. Baik Na Hee-Do maupun Ko Yu-Rim yang sama-sama mewakili Korea terbilang bertanding untuk pembuktian bagi diri mereka sendiri. Terlepas bahwa keputusan Ko Yu-Rim tentu menyakitkan bagi publik (yang mana memperlihatkan juga dampak olahraga bagi sebuah bangsa), kita bisa melihat bagaimana sikap Twenty One Twenty Five menunjukkan sikapnya terhadap hal ini, yang ditunjukkan dalam bagaimana situasi-situasi Ko Yu-Rim usai kalah dari Na Hee-Do dan juga ketika kembali ke tanah airnya kelak.
ADVERTISEMENT
Sebuah Pesan Bagi Generasi
Walau kabarnya serial ini berganti sinopsis saat pengerjaan karena antara lain didera kritik hubungan percintaan karakter Baek Yi-Jin dan Na Hee-Do, sedari awal serial ini konsisten menunjukkan pesannya bagi generasi. Baik secara penceritaan, ditunjukkan melalui komunikasi antara Na Hee-Do sebagai ibu dan anaknya Kim Min-Chae yang sedari awal serial diketahui hendak berhenti dari balet. Kim Min-Chae seketika menemukan kisah tentang ibunya yang berjuang keras mengejar mimpi menjadi atlet anggar profesional, menjadi rekan satu tim atle yang ia kagumi, lalu kemudian menjadi rival.
Selain itu juga melalui salah satu episode ketika pelatih Yang Chan-Mi (Kim Hye-eun) tidak begitu saja membiarkan salah satu atletnya, Lee Ye-Ji (Joo Bo-Young) undur diri dan malah menantangnya untuk membuktikan diri. Pada akhirnya salah satu atletnya tersebut tetap mundur, namun kita sebagai penonton tahu bahwa keputusan ini memang sudah bulat dan juga ia memperoleh sesuatu sebelum mundur.
ADVERTISEMENT
Dengan cakupan segmen penontonnya, apa yang dihadirkan dalam Twenty-Five Twenty-One di atas rasa-rasanya menjadi lebih untuk berkomunikasi pada generasi yang lebih muda ketimbang sekadar menghakimi sebuah generasi karena kecenderungan untuk berpindah atau disebut lebih rapuh (stroberi), apalagi dengan menghebat-hebatkan diri sendiri.
Sumber lain:
https://mojok.co/terminal/masalah-di-balik-hobi-pemerintah-beri-bonus-besar-ke-atlet-juara/
https://m.republika.co.id/berita/oc1vng318/ini-perbandingan-bonus-atlet-olimpiade-di-dunia