Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Subsidi: Dari Niat Mulia ke Realita Nestapa
11 Februari 2025 16:34 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Panji R A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Foto: Pertamina Patra Niaga / KumparanBISNIS](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkt5jpwcpmsn81a19354ezcw.jpg)
ADVERTISEMENT
Semalam aku membaca sebuah tulisan yang membuatku termenung. Bukan karena aku tak paham permasalahannya, justru sebaliknya—aku terlalu paham hingga perasaanku campur aduk. Ada kekhawatiran, ada pula tawa getir. Bagaimana mungkin? Rasanya seperti mencicipi kopi pahit yang dicampur gula terlalu sedikit—tidak nyaman, tapi tetap harus ditelan.
ADVERTISEMENT
Tulisan itu menggambarkan betapa carut-marutnya pengelolaan kebijakan dalam pemerintahan, khususnya dalam menentukan dan menjalankan program prioritas. Banyak sekali tanda tanya berseliweran di kepala, semakin dipikirkan, semakin menyesakkan.
Dan yang paling mengusikku adalah kehidupan ‘Wong Cilik’ merasakan kemiskinannya sedang diganggu akibat suatu kebijakan pemerintahan yang sekarang sedang diorkestrasi oleh Prabowo Gibran.
Sekaligus yang membuat aku tertawa adalah tentang penyebutan sebentuk pemerintahan yang menyediakan menu warteg.
“Hahahahaha…,”
Tapi bukan itu masalahnya,
Dalam konteks ini, kebijakan tentang penertiban subsidi LPG 3 Kg kemarin dan nanti giliran solar subsidi yang menjadi bahan bakar kekhawatiran baruku. Sekaligus sedikit tersenyum karena melihat seakan ada niat mulia dari pemangku kebijakan dan mempertanyakan Apakah nantinya akan sama kejadiannya seperti penertiban Subsidi LPG 3 Kg?
ADVERTISEMENT
Semoga tidak.
Karena kalau dilihat antara subsidi LPG 3 Kg dan subsidi solar, sama-sama mengalami permasalahan kebocoran di pertengahan alur rantai pasok distribusi.
Ada yang bilang bahwa kebijakan dari Menteri ESDM soal pelarangan menjual LPG 3 Kg ke pengecer itu ada order dari ‘Mulyono’, seakan-akan ada kepentingan politis untuk menjatuhkan pemerintahan yang kemarin memiliki kepuasan 80,9%.
Aku sendiri tidak naif, tapi sejenak kita jernihkan dulu persoalannya.
Secara konsep, penertiban subsidi ini memiliki niat mulia. Kita semua tahu betapa kacaunya distribusi LPG 3 Kg selama ini. Barang bersubsidi yang seharusnya tepat sasaran, justru seringkali jatuh ke tangan yang salah. Entah karena pemerintah tak mampu mengelola, atau memang tidak ada good will untuk melakukannya dengan benar?
ADVERTISEMENT
Namun, kekhawatiran tak kunjung reda. Penertiban yang dilakukan oleh Kementerian ESDM bukannya menghadirkan solusi, malah seperti jebakan bagi ‘Wong Cilik’ Pelarangan penjualan LPG 3 Kg di pengecer, misalnya, seolah membelenggu rakyat tanpa memberikan Solusi sistem yang memadai.
Coba bayangkan, kebijakan melarang pengecer menjual LPG 3 Kg diberlakukan, tetapi jumlah agen resmi hanya sekitar 260 ribu. Bandingkan dengan jumlah pengecer yang mencapai lebih-kurang dari 3,9 juta. Ketidakseimbangan ini berujung pada antrean panjang di mana-mana, bahkan hingga menelan korban jiwa. Ironis, bukan?
Tiga hari setelah pelarangan itu diumumkan, Presiden Prabowo akhirnya turun tangan. Pengecer diperbolehkan kembali menjual LPG 3 Kg, tapi dengan catatan mereka harus mendaftar ke Pertamina sebagai sub-pangkalan resmi. Kedengarannya seperti solusi, tetapi apakah benar-benar menyelesaikan masalah?
ADVERTISEMENT
Objektifnya, memang benar bahwa permainan harga sering terjadi di level pangkalan dan pengecer. Tapi apakah dengan skema baru ini masalah bisa tuntas? Tidak sesederhana itu.
Coba, apakah Pangkalan LPG 3 Kg selama ini tidak ada yang nakal? Dengan menjual LPG 3 Kg di atas HET. Jelas ada!
Apakah pangkalan tidak pernah melakukan pengoplosan? Jelas pernah! Untuk kemudian dijual ke industri yang seharusnya tidak mendapatkan subsidi.
Ada juga pengecer yang menimbun gas untuk dijual dengan harga selangit saat pasokan mulai langka.
Mungkin logika sederhana dalam dunia perdagangan tetap berlaku di ranah subsidi: pedagang ingin untung. Dengan margin keuntungan pangkalan resmi kalau dihitung hanya sekitar Rp 3.500 per tabung—dan kalau sedikit ‘nakal’ bisa naik jadi Rp 4.000 bahkan lebih. Keuntungan kecil itu sangat dirasakan ketika menjual dalam waktu yang lebih singkat, karena secara teori cost akan cenderung berkurang.
ADVERTISEMENT
Artinya mereka akan tetap mencari celah untuk mendapat keuntungan lebih besar.
Lantas, pemerintah mengeluarkan peratutan bahwa pengecer harus mendaftarkan diri sebagai sub-pangkalan resmi bisa jadi langkah baik, tapi itu belum cukup! Karena tetap ada peluang bagi mereka untuk bermain harga, hanya saja dalam skema yang lebih kecil dan taraf keparahnnya barang kali tidak sampai menimbun.
Realitas yang Perlu Disadari
Aku tidak anti terhadap penertiban subsidi. Justru aku mendukung penuh agar barang bersubsidi tepat sasaran. Tapi, harus diakui, selalu ada loophole dalam setiap kebijakan yang tidak disusun dengan kalkulasi matang.
Sikapnya adalah selama sistem tidak diubah, yang semula subsidi berpaku berdasarkan barang, selamanya program apapun yang diterapkan tak akan selesaikan masalah dan penertiban harus dilakukan dengan strategi yang benar. Jika tidak, kita hanya akan mengulang pola yang sama dan hasilnya sama saja.
ADVERTISEMENT
Celah akan sama saja.
Semisal kemarin tidak diizinkan kembali pengecer menjual LPG 3 Kg, apa jadinya nanti perekonomian kita? Barang langka, sedangkan itu masuk dalam hajat hidup orang banyak, harga akan terlampau tinggi meski ada HET, masyarakat dirugikan, tersakiti dan inflasi merangkak naik.
Sebuah persoalan yang seharusnya bisa dipecahkan jika sejak awal perencanaan dilakukan dengan cermat.
Yaa, okelah untuk sementara waktu, meskipun terlihat gagap
Dan yang lebih penting, kebijakan harus betul-betul berangkat dari niat baik yang tulus, bukan sekadar topeng bagi kepentingan lain yang lebih gelap. Sebab, niat baik hanya menjadi kemasan bagi niat jahat, maka yang tersakiti bukan sekadar logika, tapi hati rakyat!
Terakhir, di tengah semua keruwetan ini, aku hanya bisa berharap “Semoga kebijakan ini tidak sekadar retorika, tapi benar-benar membawa perubahan yang berarti. Karena bagi Wong Cilik, subsidi bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan soal bertahan hidup,”
ADVERTISEMENT
Semoga kebijakan yang diambil untuk penertiban subsidi solar nanti bisa diputuskan dan dilaksanakan tidak seperti penertiban subsidi LPG 3 Kg kemarin hari dan lebih wise.