Cerita Komunikasi Bisnis Orang Tionghoa dengan Warga Lokal Lewat Tenongan

Konten Media Partner
12 Februari 2021 14:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penjual jajan tenongan, keliling kampung maupun perkantoran di Brebes. (Foto: Yunar Rahmawan)
zoom-in-whitePerbesar
Penjual jajan tenongan, keliling kampung maupun perkantoran di Brebes. (Foto: Yunar Rahmawan)
ADVERTISEMENT
BREBES - Selain telur asin, ada juga jajanan tradisional dari Tionghoa yang dikenalkan kepada penduduk lokal. Di antaranya seperti kuran, risoles, pastel, onde-onde, bakpao, bolu kukus, untir, lumpia, latopia, cakwe dan lainnya. Jajanan tersebut dijajakan dalam wadah bernama tenongan.
ADVERTISEMENT
Tenongan adalah sebuah wadah berbentuk lingkaran dan bersusun yang terbuat dari bambu hingga logam seng. Di dalam sebuah tenongan, ada cerita akulturasi budaya yang dibalut dengan khazanah kuliner.
Budayawan Pantura, Wijanarto, menceritakan peranakan Tionghoa yang berada di Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes, sejak dulu memproduksi jajanan tersebut. Aneka kuliner khas mereka itu kemudian dijajakan oleh masyarakat setempat.
"Jadi peranakan Tionghoa yang memproduksi kuliner khas mereka, nanti dijual oleh para penjaja tenongan dari masyarakat setempat," ungkap Wijan.
Para penjaja tenongan ini tidak perlu mengeluarkan modal untuk membeli kuliner bikinan Tionghoa itu. Mereka hanya mengambil barang yang kemudian mereka jajakan keliling kampung.
"Penjual jajan tenongan ini tanpa modal. Mereka tinggal ambil di keluarga Tionghoa sebagai produsen dengan sistem kepercayaan. Kemudian mereka mengedarkan dan hasil penjualan ini nantinya dibayarkan setelah mereka ambil untung," jelas Wijan.
ADVERTISEMENT
Dari sistem tersebut, Wijan mengatakan, terdapat komunikasi bisnis antara warga peranakan Tionghoa dan masyarakat pribumi. Selain itu juga ada semangat persaudaraan.
"Selain jajanan khas Tionghoa, penjual jajan tenongan juga menyertakan jajanan asli pribumi seperti nogosari, bongko dan lainnya. Jadi kuliner mereka berpadu," kata Wijan.
Berawal dari sinilah, muncul semangat persaudaraan. "Orang China memperkenalkan makanan yang dulu di lidah orang Jawa terasa asing. Ini yang menarik," tambah Wijan.
Penjual jajan tenongan, keliling kampung maupun perkantoran di Brebes. (Foto: Yunar Rahmawan)
Selain dijual keliling, jajanan tradisional itu biasanya digunakan untuk hajatan. Masyarakat lokal pun mempelajari resepnya dari warga Tionghoa. Hingga akhirnya mahir karena kerap diminta untuk sinoman atau bantu-bantu saat hajatan. Bahkan menjadi juru masak di dapur.
"Mereka dibayar lebih oleh yang empunya hajat. Dari jajan tenongan ini, semangatnya adalah merajut rekonsiliasi, bahwa belajar dari proses sejarah makanan itu, kita belajar untuk menghargai perbedaan, karena makanan juga ada yang mengadaptasi dari tidak hanya satu budaya saja," pungkas Wijan.
ADVERTISEMENT
Filosofi Tenongan
Bentuk tenongan yang melingkar dan terbuat dari bambu atau seng ini ternyata punya filosofi tersendiri. Menurut Wijan, konsep tenongan yang berbentuk lingkaran ini seperti salah satu sejata dari Dewa Khrisna, cakra manggiling, dalam ajaran hindu.
Cakra Manggiling, ketika diluncurkan, maka akan berputar. Dari lingkaran ini, kata dia, kita bisa belajar bahwa kehidupan itu berawal dari tidak ada menjadi ada dan kembali tidak ada lagi.
"Dari tenongan ini, kita belajar bahwa kehidupan itu berputar. Hidup itu sangat dinamis dan itu melingkar, siklus. Kadang di atas, kadang di bawah. Sehingga orang harus tetap mengingat dari mana dia bermula," ungkap Wijan.
Sementara dalam konsep Cina, lingkaran dalam tenongan ini terinspirasi dari konsep Yin dan Yang. Di mana kebaikan dan kejahatan berpadu berdampingan setiap perjalanan waktu.
ADVERTISEMENT
"Jadi tinggal bagaimana kita mengolah energi itu, sehingga tetap harmoni dan seimbang," tutur Wijan. (*)