Gejolak Sosial-Politik Brebes Saat Proklamasi Kemerdekaan RI 1945

Konten Media Partner
17 Agustus 2021 17:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi. Alun-alun Brebes zaman dulu. (Foto: Facebook Alun-alun Brebes)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Alun-alun Brebes zaman dulu. (Foto: Facebook Alun-alun Brebes)
ADVERTISEMENT
BREBES - Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan Ir. Soekarno dan Moh Hatta di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta pada 17 Agustus 1945. Saat itu, kelompok pemuda di Brebes baru mendapatkan informasi tentang Proklamasi Kemerdekaan RI sekitar tanggal 20 Agustus 1945.
ADVERTISEMENT
Ini karena saat itu Jepang memblokir semua akses informasi termasuk radio. Kelompok Pemuda Nasionalis akhirnya mendapatkan informasi tersebut dari Angkatan Muda Kereta Api, karena akses transportasi cepat dan bisa berbagi informasi terkait adanya Proklamasi Kemerdekaan.
Ketika kelompok pemuda di Brebes tahu bahwa di Jakarta sudah menyatakan Proklamasi Kemerdekaan, mereka berkeinginan agar situasi di Jakarta. Khususnya di Pegangsaan Timur 56, bisa dirasakan di Brebes. Namun Pemerintahan setempat, yang waktu itu masih dianggap sebagai bagian dari birokrasi lama, belum menyatakan sikap untuk mendukung Kemerdekaan Negara RI.
Akhirnya, terdapat tarik menarik antara kelompok Pangreh Praja (Pemerintah) yang pro status quo (masa peralihan dari Jepang) yang tidak percaya dengan berita kemerdekaan, dengan kelompok Nasionalis.
ADVERTISEMENT
Menurut Sejarawan Pantura, Wijanarto, pada saat itu, para pemuda memutuskan untuk menyampaikan keinginannya kepada Bupati Brebes yang saat itu dijabat oleh Sarimin Reksodihardjo. Namun sang Bupati menyatakan bahwa pihaknya harus menunggu penjelasan dari pemerintah militer Jepang.
"Saat itu pemuda lapor ke Bupati Sarimin, akan tetapi pemerintah setempat tidak mau gegabah. Inilah yang akhirnya membuat para pemuda ini kecewa. Apa lagi Pemerintah masih melarang untuk mengibarkan bendera merah putih di kompleks pendapa dan di ruang publik," jelas Wijan, Selasa (17/8/2021).
Situasi semakin memanas hingga menyebabkan terjadinya polarisasi antara kelompok Pamong Praja dengan status quo dan Kelompok Nasionalis yang mendukung Proklamasi Kemedekaan RI. Para pemuda akhirnya melakukan konsolidasi dengan berkumpul di Gedung Asisten Residen (sekarang jadi rumah singgah di kompleks SMP N 1 Wanasari).
ADVERTISEMENT
"Di Gedung AR inilah, mereka membicarakan satu pandangan setelah mendengar dan menyaksikan bahwa Bupati Sarimin itu masih ragu tentang kemerdekaan, apa lagi untuk mendukung," ungkap Wijan.
Situasi tersebut terjadi hampir di semua daerah seperti Tegal dan Pemalang. Kondisi ini yang memicu konflik Revolusi Tiga Daerah, lantaran kelompok status quo tidak merespons terkait perkembangan politik waktu itu.
Alun-alun Brebes.
"Sebetulnya ini bisa dipahami, karena komunikasi daerah dengan pusat belum begitu maksimal setelah Perang Dunia 2. Kemudian terjadi situasi politik yang sangat cepat," kata Wijan.
Wijan menjelaskan, dari Gedung AR inilah terjadi aksi sebagai buntut dari sikap mereka untuk melawan status quo. Saat itu sepanjang sepanjang jalur Sungai Pemali hingga rel kereta api dibarikade oleh para pemuda.
ADVERTISEMENT
Sejumlah Kelompok Nasionalis yang saat itu bersatu di antaranya dari laskar-laskar pemuda, Angkatan Muda Kereta Api, Barisan Mesindo, Hisbullah dan banyak lagi yang lainnya. Sedangkan tokoh terkemuka saat itu di antaranya ada Kartohargo, Suwignyo, dan dari Masyumi.
"Kemudian dari gedung itulah disatukan pandangan tentang Proklamasi, menaikkan bendera merah putih dan karena sikapnya yang lamban, mereka mendaulat mundur bupati Sarimin," ungkap Wijan.
Sejak saat itu, bendera merah putih sudah dikibarkan dan banyak pamflet yang ditempelkan di lokasi-lokasi strategis sebagai pengumuman Proklamasi Kemerdekaan RI.
Para Pemuda Nasionalis akhirnya membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang kemudian memaksa Bupati Sarimin untuk mundur. Ini terjadi pada akhir Agustus 1945. Setelah Sarimin mundur, munculah Bupati Syatori sebagai pilihan masyarakat saat itu.
ADVERTISEMENT
KNID bisa menyatukan polarisasi kelompok yang ada. Muncul nama tokoh Binadji, dia adalah ketua DPRD saat itu. Dan Binadji menjadi ketua KNID, sedangkan wakilnya Kartohargo. Sejumlah tokoh lain juga mengisi struktur KNID, seperti Imam Syahadat dan dr. Nazarudin.
Zaman Bersiap
Paska Proklamasi Kemerdekaan RI, di Brebes juga terdapat efek negatif yang terjadi. Wijan mengatakan, muncul istilah Zaman Bersiap, yakni suatu situasi dimana semua orang harus bersiap untuk bergerak.
"Sebetulnya ini merupakan drama politik yang luar biasa. Yang jadi korban itu kelompok minoritas. Saat Indonesia merdeka itu muncul gelombang kebencian pada ras eropa di kompleks pabrik gula. Juga pada tionghoa karena dianggap tidak nasionalis," jelas Wijan.
Saat itu, suhu politik di Brebes memanas, terjadi kerusuhan antara Laskar Phok Antui (bentukan peranakan Tionghoa) untuk menyelamatkan masyarakat mereka sendiri baik dari gesekan dengan masyarakat setempat, maupun dengan Belanda.
ADVERTISEMENT
"Baik di Brebes maupun Tegal banyak yang jadi korban. Kalau di Brebes terutama di Jatibarang cukup banyak korban," kata Wijan.
Pada saat Zaman Bersiap ini, kaum minoritas yang jadi korban itu dimakamkan di Pemakaman Pebatan dan Pemakaman Sapran yang berada di Kelurahan Pasarbatang. (*)