Konten Media Partner

Jadi Tempat Bertemunya Penguasa dan Rakyatnya, Begini Sejarah Alun-alun Brebes

27 Agustus 2020 11:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jalan masuk ke alun-alun Brebes ditutup, Rabu (26/8/2020). (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Jalan masuk ke alun-alun Brebes ditutup, Rabu (26/8/2020). (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
BREBES - Di setiap daerah, Alun-alun biasanya berfungsi sebagai ruang publik. Ruang terbuka ini menjadi sarana bagi warga suatu daerah untuk sekadar bertemu atau pun menikmati pagi sore.
ADVERTISEMENT
Di Kabupaten Brebes, terdapat Alun-alun yang berada di pusat kota di pinggir pantura. Ruang publik terbesar di Brebes ini kerap menjadi persinggahan bagi pengendara dari jalur pantura untuk sekedar beristirahat.
Dalam perkembangannya, banyak dari khalayak yang mampir untuk menikmati kuliner yang saat ini banyak terhidang di seputaran Alun-alun Brebes.
Jika dilihat sejarah terbentuknya Alun-alun Brebes, kita akan dibawa pada masa kerajaan pada zaman dulu kala. Di mana, pembentukan alun-alun ini merupakan sebuah tempat pertemuan antara rakyat dengan rajanya maupun pejabat.
Sejarawan Brebes Wijanarto menerangkan, di masa kerajaan, ada tradisi pepe (berjemur) yang dilakukan oleh rakyat pada masa itu, untuk sekadar bertemu dengan rajanya.
"Begitu pula dengan sang Raja, ketika ingin bertemu dengan rakyatnya, digunakanlah Alun-alun sebagai ruang publik," terang Wijan.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi tersebut, rakyat bisa menyampaikan kritik dan sarannya kepada pemerintahan dan Rajanya. Pun demikian dengan sang Raja yang juga bisa menyampaikan kebijakan kepada rakyatnya.
Alun-alun Brebes zaman dulu. (Foto: Facebook Alun-alun Brebes)
"Nah, alun-alun berasal dari kata alon-alon. Ini perwujudan dari tradisi pepe itu tadi, bahwa rakyat harus alon-alon ketika bertemu dengan rajanya," terang Wijan.
Tata ruang alun-alun biasanya berdekatan dengan Pendopo, Masjid dan Penjara. Wijan menuturkan, di Kabupaten Berebes sendiri tidak asal-asalan dalam mendirikan ruang publik ini. Namun berpegang pada kosmologi tradisional yang berpadu dengan Islam.
“Konsep Masjid Agung diletakkan di sebelah barat alun-alun. Sementara Pendapa menghadap ke utara (laut Jawa) membelakangi gunung slamet di selatannya. Alun alun adalah ruang kosong yang menjaga keseimbangan ruang lainnya,” jelas Wijan.
ADVERTISEMENT
Alun-alun Brebes dibangun pada masa pemerintahan Bupati Aria Singasari Panatayuda I. Ruang publik ini dibangun bebarengan dengan didirikannya Pendopo Brebes.
"Kalau masjid agungnya, dibangun pada masa Bupati Aria Singasari Panatayuda II. Diperkirakan selesai setelah pembangunan Pendopo permanen,” jelas Wijan.
Dalam perkembangan sejarahnya, alun-alun berfungsi sebagai ruang publik, menunjukkan power dari pemerintah dan sebuah landmark.
Hingga kini, Alun-alun Brebes mengalami beberapa perubahan dan pemugaran. Dulunya, Alun-alun terbagi menjadi dua lapangan, yakni bagian barat dan timur. Di tengahnya terdapat akses jalan dari pantura yang bisa langsung masuk ke Pendopo. Terdapat juga patung sebagai monumen perjuangan yang dibangun pada tahun 80an.
Patung sebagai monumen perjuangan yang dibangun pada tahun 80an di Alun-alun Brebes. (Foto: Istimewa)
"Pada masa pemerintahan Bupati Indra Kusuma, alun-alun ini digabungkan dan patung monumen itu ditiadakan," jelas Wijan.
ADVERTISEMENT
Karena fungsinya sebagai ruang publik, Wijan berharap dalam pembangunan alun-alun tidak boleh asal-asalan. Melainkan harus melihat sisi sejarah dan kosmologinya.
"Pada masa Bupati Idza Priyanti, dibuatlah WC dan bangunan serupa benteng. Itu menurut hemat saya tidak usah terlalu tinggi. Karena akan menutupi alun-alun. Padahal fitrahnya, alun-alun harus terbuka," ungkap Wijan.
Adanya penutupan akses jalan di depan Alun-alun menurut Wijan sah sah saja kalau untuk mengatur arus lalulintas agar tidak semrawut. Namun demikian harus melihat kepentingan publik juga.
"Kalau untuk menghalau kendaraan besar yang mau masuk alun-alun itu bagus, jadi pengunjung bisa nyaman. Akan tetapi, harus disediakan area parkir di luar alun-alun untuk kendaraan besar. Contohnya bus yang membawa jamaah ziarah yang akan ibadah di Masjid Agung," beber Wijan.
ADVERTISEMENT
Padahal, dengan adanya pengunjung luar kota itu bisa menambah pemasukan para pedagang. Sebab, pengunjung ini pasti akan mencicipi kuliner khas Brebes seperti kupat dan sate blengong.
"Pemangku kebijakan harus memikirkan konsep alun-alun ini. Bikin ruang semenarik mungkin. Dulu pernah ditata pedagang di trotoar. Kalau sekarang semakin banyak pedagang jadi tidak tertampung," kata Wijan.
Seiring perkembangan zaman, ruang publik ini masih tetap digunakan oleh rakyat. Namun fungsinya sudah berbeda. Seperti yang kita lihat selama ini, alun-alun digunakan untuk sekedar rekreasi kecil, berkuliner khas Brebes dan permainan anak.
Pengaturan arus lalu lintas di seputaran Alun-alun Brebes pun sudah dilakukan. Mulai dari rekayasa satu arah hingga saat ini yang tengah disimulasikan yakni penutupan salah satu akses masuk dari pantura untuk menghindari kendaraan besar masuk ke lokal alun-alun. (*)
ADVERTISEMENT