Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Sejarah Taman Pancasila Kota Tegal, Dulu Bernama Wilhelmina Park
12 Juli 2022 14:42 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
TIGA setengah abad, jiwa dan raga bangsa pribumi kita pernah dibikin kocar-kacir oleh kaum penjajah Belanda. Durasi penjajahan sepanjang itu tidak sedikit mengakibatkan korban jiwa, melainkan juga peninggalan-peninggalan gedung dan taman. Salah satunya adalah Taman Pancasila Tegal .
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah diterangkan di atas, sebelum ruang publik yang bertengger di Jalan Pancasila, Kota Tegal dikenal sebagai Taman Pancasila, dulunya bernama Wilhelmina Park atau Taman Wilhelmina.
Dibangunnya sebuah taman di Tegal itu, berkaitan saat bangsa Belanda dipimpin oleh Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange Nassu atau lebih dikenalnya dengan sebutan Ratu Wilhelmina, berkuasa lebih dari 50 tahun (1890-1948) hampir seluruh tempat yang dianggap penting di negara jajahannya diwajibkan menyematkan nama “Wilhelmina”.
Semua itu berlaku seperti taman, terowongan kereta api, stasiun kereta api, bahkan pada saat ulang tahun pernikahannya pun, bangsa kita diharuskan mempersiapkan dan merayakan hari bahagia Ratu Wilhelmina.
Mengutip dari buku berjudul “Melihat Sejarah Tegal Dari Sisi Nusantara Dan Kolonial” karya Akhmad Zubaedi dan Bijak Cen Sukarno terbitan tahun 2021, tidak terkecuali di Kota Tegal wajib mendirikan sebuah taman dengan nama Wilhelmina Park seperti yang kita ketahui selama ini. Taman ini menurut penulis buku tersebut Bijak Cen Sukarno, dibangun sekitar tahun 1895 atau 1897.
ADVERTISEMENT
“Itu merujuk pada pembangunan pada stasiun kereta api Tegal dan Gedung SCS,” tegasnya.
Diceritakan dalam buku itu, pada saat pasukan tentara Jepang mulai menjajah Indonesia, mereka tang gemar merebut dan gila-gilaan merusak gedung-gedung perkantoran dan fasilitas yang dibangun Belanda tiba di Tegal, mereka berbuat ulah barbar dan bikin huru-hara. Jepang yang hampir tidak pernah kalah perang pada saat meletusnya Perang Dunia II, menginjakkan kaki mereka ke Tegal mengaku sebagai saudara tua Indonesia. Hal itu yang membuat bangsa kita hidup dibayangi mereka. Namun perilaku mereka licik dengan propaganda seolah-olah bersimpati namun pada ujungnya menindas.
Tatkala itu orang-orang Belanda yang masih di jalanan senjata mereka dilucuti dan mereka langsung menjadi tahanan Jepang. Tindakan Jepang sangat kejam. Bangsa pribumi Tegal pun diwajibkan kerja paksa atau romusha. Masyarakat dibikin kaliren saking melaratnya. Sedang pakaian mereka hanya menggunakan karung goni yang pastinya kotor dan penguk.
ADVERTISEMENT
Kedatangan Jepang ke Tegal rupanya ingin merebut Gedung SCS yang biasa kita kenal dengan sebutan Kantor Birao. Maksud tentara Jepang merebut gedung itu, tidak lain untuk dijadikan markas tentara Jepang. Pada saat itu orang-orang Belanda yang ada di dalam gedung diusir. Mereka diperintahkan berjalan menunduk. Tidak terkecuali para pejabat Belanda menuruti perintah pasukan Jepang. Bilamana mereka melawan, senjata laras panjang siap menyalak membunuh orang-orang Belanda.
Di luar Gedung Birao, ternyata masyarakat dan para pejuang Kemerdekaan RI telah berkumpul dengan senjata bedil dan bambu runcing. Terjadi perang sengit antara mereka dengan tentara Jepang. Oleh semangat perjuangan bangsa kita walaupun senjata Jepang jauh lebih unggul dari senjata pribumi dan tentara, namun perlawanan mereka yang tidak mengenal patah dan menyerah, akhirnya mampu mengusir Jepang hengkang dari tlatah Tegal.
ADVERTISEMENT
Sejak peristiwa berdarah itu, guna mengenang betapa heroiknya perlawanan masyarakat Tegal, yang juga telah mengusir kolonial Belanda terdepak dari bumi pertiwi, dibangunlah sebuah tugu peringatan bernama Tugu Pancasila sekaligus penamaan jalan di kawasan bekas Wilhelmina Park, dinamai Jalan Pancasila dan mengganti taman depan Gedung SCS menjadi Taman Pancasila. Pergantian nama taman itu diperkirakan sekitar tahun 1950-an.(Lanang Setiawan)