Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Teror Pembantaian Saat Masa Bersiap 1945 di Tegal
5 Februari 2022 15:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
ADVERTISEMENT
Oleh: Wijanarto, Sejarawan
SITUASI kekacauan awal revolusi 1945, melanda wilayah Kabupaten Tegal, khususnya wilayah Talang, Adiwerna, Slawi dan Balapulang. Pada artikel ini penulis memfokuskan pada tragedi drama pembantaian di kawasan Oedjoengroesi. Wilayah ini termasuk kecamatan Adiwerna. Dalam sejarah gula, kawasan industri gula dengan keberadaan pabrik gula Oedjoengroesi (sekarang menjadi kompleks militer Batalyon Yonif 407). Pabrik gula Oedjoengroesi dikenal pula dengan sebutan Pabrik Gula Adiwerna. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dialihfungsikan.
ADVERTISEMENT
Tentang dokumen tragedi kemanusiaan yang terjadi di wilayah tersebut, membuktikan bahwa pada awal-awal revolusi 1945 yang kemudian di Tegal, Brebes, dan Pemalang meletus Peristiwa Tiga Daerah, para korban tidak hanya kelompok minoritas, namun juga menyasar masyarakat setempat yang dianggap berseberangan haluan politiknya. Saat memberikan pengantar versi bahasa Indonesia, karya sejarawan Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah : Revolusi dalam Revolusi (1989), begawan sejarah Sartono Kartodirdjo menrasikan sebagai berikut :
Proses formasi kekuatan sosial yang sedang berjalan, maka belum ada pelembagaan yang mantap, sehingga situasi menjadi mengambang serta sangat labil, situasi sangat eksplosif karena ketegangan antargolongan setiap saat dapat meledak. Setiap provokasi dapat menimbulkan pecahnya bentrokan.
Apa yang diuraikan Sartono terjadi pada wilayah pesisir saat gejolak Tiga Daerah meledak. Kondisi seperti lemahnya kekuasaan status quo, sentimen terhadap kelompok tertentu dan konflik horizontal akibat polarisasi antara golongan sesuatu yang jamak pada beberapa wilayah di Indonesia saat mengemuka proses transisi sosial politik. Tanpa terkecuali di Adiwerna.
ADVERTISEMENT
Laporan soal kejadian di Adiwerna disampaikan oleh Soekardjo (31 tahun) seorang Kader Instrecteur Regiment II Tegal. Sebelum bergabung ke dinas militer, Soekardjo Pengurus Djawatan Angkatan Darat (Kounso) di Stasiun Banjaran. Verslag (laporan) Soekardjo ini merupakan koleksi arsip Anton E. Lucas yang dihibahkan pada Flinders University yang sudah bisa diakses (terima kasih untuk Anton Lucas). Laporan setebal 18 halaman ini diketik pada 23 Februari 1946 dan ditujukan pada Jaksa di Pengadilan Karesidenan Pekalongan. Dengan laporan dibuat selang 4 bulan setelah huru-hara Peristiwa Tiga Daerah diatasi.
Runtuhnya Tatanan Birokrasi Lama
Laporan dibuka dengan kondisi wilayah khususnya di Adiwerna, tatkala birokrasi setempat lumpuh digantikan dengan munculnya lembaga baru seperti Komite Nasional Indonesia (KNI) setempat. Terpilih sebagai Ketua KNI Kawedanan Adiwerna T. Fadjar seorang mantri guru Sekolah Ra'jat di Adiwerna. Walaupun dalam perkembangan kepengurusan KNI akan diganti dengan kepengurusan yang baru. Faktor yang memicu jatah pembagian bahan pakaian. Berdirinya institusi baru tak selamanya menjamin kondisi berjalan dengan baik. Alasannya minimnya kecakapan sumber personelnya, dalam bahasa Soekardjo, “Tak banjak preman yang pandai di Adiwerna."
ADVERTISEMENT
Lukisan karya seorang Belanda yang menggambarkan suasana masa bersiap di Tasikmalaya pada akhir 1945. Foto: gastdocenten.com/Historia)
Euforia kemerdekaan dan gelombang ultra nasionalisme menjadi pemantik. Termasuk gunjingan kewenangan KNI sendiri. Termasuk lontaran Soekardjo sendiri yang mempertanyakan kewenangan KNI untuk merampas barang-barang orang-orang yang melarikan diri, berani membikin surat perjalanan. Bahkan saat merekrut mantan pangreh praja yang menolak bergabung mereka diancam sebagai pihak yang merintangi kemerdekaan.
Beberapa perampasan asset atas nama kepentingan KNI ialah pengambilalihan pabrik beras milik Hok Lian, Liem Boen Tien dan Kwee Tjoen An. Mereka dipanggil ke hadapan pengurus KNI lainnya dan terdapat perkumpulan Roekoen Tani. Ternasuk pimpinan pangreh praja setempat seperti Wedana, Asisten Wedana dalam suasana ketakutan dan tegang, termasuk pemilik pabrik beras. Sebelumnya mereka dijemput sekelompok orang dengan bersenjatakan bambu runcing. Soal ini Soekardjo melukiskan dengan dramatis, “dengan hati jang ketakoetan dan moeka poetjat, menandatangani soerat perdjanjian.
ADVERTISEMENT
Agitasi dan kebencian terhadap pangreh praja semakin sempurna sudah melalui pidato-pidato pimpinan revolusioner setempat. Selain pangreh praja, sasaran kebencian dan kemarahan diluapkan pada polisi dan TKR (Tentara Keamanan Rakjat). Yang menarik terdapat kode-kode perintah untuk eksekusi dengan kode “Ges” (potong leher).
Rapat-rapat terbuka menjadi ajang untuk memprovokasi seperti yang terjadi pada tanggal 3 November 1945 bertempat di Doekoehwringin. Rapat itu dipimpin Soekirman dan dihadiri oleh Sakjani atau yang dijuluki Koetil (Talang) serta tokoh-tokoh revolusioner local seperti Oesoep (Balamoa) dan Oesman (Adiwerna).
Yang menarik adalah tokoh Koetil dan Oesman, Kesaksian tokoh revolusioner Amir menyebutkan bahwa Koetil adalah tukang cukur yang setiap terdapat gerakan massa ia hadir serta membuatnya lebih populer ketimbang pimpinan Gerakan Tiga Daerah lainnya. Sedangkan Oesman merupakan tukang reparasi sepeda di Adiwerna. Keduanya melejit saat revolusi 1945 memberikan panggung atasnama nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Semenatara Sukirman merupakan salah satu pimpinan Tiga Daerah. Tadinya ia adalah pegawai pada dinas pemberantasan penyakit Pes yang bergabung dengan kelompok kiri (komunis). Ditulis kembali oleh Soekardjo soal pidato Soekirman yang menggebu-gebu :
“Bahwa ada hak kaoem marhaen dan pemerintahan haroes di tangan rakyat dengan mendirikan suatu proletariat dictatuur. Oleh karenanya diperintahkan semua Pangreh Pradja ditangkep”
Semuanya menggemuruh apalagi Koetil meningkahi dengan celetukan, “Dipedjahi mawon sederak!” Sontak massa yang hadir menjawab, Moefakat! Lalu dalam rapat terbuka beredarlah selebaran berikut nama-nama pangreah praja yang harus ditangkap. Rapat di Doekoehwrigin itulah yang menciptakan Gerakan long march massa yang dipimpin Koetil dari Wilayah Selatan Tegal menuju Kota Tegal. Aksi ini diikuti dengan aksi dombreng yang korbannya RA Kardinah.
ADVERTISEMENT
Kekacauan tak bisa dicegah. Massa yang sepakat menyerbu Tegal kota menggunakan tanda janur kuning. Beberapa korban pun berjatuhan. Eksekusi berlangsung di Talang dan beberapa tempat. Mereka yang ditangkap dibawa ke Doekoehwringin. The killing field pun merebak. Salah satu algojo yang dikenal ada yang bernama Maroeb (belakangan menjadi laskar Pemoeda Istimewa) menceritakan pengalaman menjagal seorang Jaksa, “Saking wingking koelo sabet soekoenipun (kaki) ngangge pedang, sareng dawah lajeng kula sembelih”
Tak bisa dihindari kekacauan itu menyasar warga peranakan Tionghoa dan warga Eropa, Indo Eropa. Walau tak menyebut jumlah berapa dari warga peranakan Tionghoa dan Eropa sebuah laporan media Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche Courant tertanggal 30 Agustus 1947 menyebut angka 1.000 orang korban di wilayah Slawi dan sekitarnya. Salah satu pemicu dari sasaran terhadap warga peranakan Tionghoa adalah pengalaman hidup masa Jepang serta ketidakpercayaan pada gerakan kemerdekaan. Pengalaman hidup jaman pendudukan Jepang yang memicu kebencian pada peranakan Tionghoa di antaranya tindakan melecehkan (Soekardjo menyebutnya misbruik) saat pembagian jatah makanan berupa beras dan gula pasir dengan tagihan yang besar. Kali waktu tindakan mencela kemerdekaan yang dilaporkan sesama warga peranakan Tionghoa atas perilaku Ko Sion An yang mengancam membunuhnya gara-gara mengingatkan agar tidak berkata mencela.
ADVERTISEMENT
Korban masa-masa kekacauan juga mengincar kaum preman yang dianggap meresahkan. Nasib naas menimpa seorang Dastra asal Hardjosari tukang judi kodok dan dianggap main curang saat pembagian bahan pakaian untuk rakyat. Dastra pun didombreng oleh massa yang bersenjatakan bambu runcing. Adalah Weslan dari Pagedangan yang menjadi algojo. Ia merebut bambu runcing yang dipegang remaja tanggung dan ditusukan ke perut Dastra yang dalam kondisi terikat. Belum puas, Weslan menusuk sampai ke tiga ke arah leher dan kerongkongan. Sampai tubuh Dastra tersungkur.
Dan, revolusi memakan anak kandungnya.