Konten dari Pengguna

Jadilah Manusia yang Dirindukan dan Diidamkan

Parminto
Pensiunan karyawan, pemerhati Sosial dan Keagamaan (Islam), tinggal di kota Bandung.
27 September 2023 18:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Parminto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keluarga bahagia. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga bahagia. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Sumber nyata sukacita batin adalah tetap benar dan jujur.” – Dalai Lama
ADVERTISEMENT
Konon sukacita batin itu adalah kata lain dari bahagia? Jadi sebenarnya agar seseorang bisa bahagia itu tidaklah sulit. Cukup hanya berbekal tetap benar dan jujur.
Tetapi, mengapa orang masih saja keliru memberi makna tentang kebahagiaan. Ia diidentikkan dengan kesenangan, kegembiraan, keriangan dan yang sejenis itu. Bersifat lahiriah, memberikan kenikmatan sementara; selebihnya hanya rasa kurang, rasa ingin yang lebih dan yang lebih lagi. Demikian terus, hingga tidak ada habisnya.
Padahal bukan yang seperti itu. Bahagia akan membawa suasana batin seseorang kepada kedamaian, ketentraman, dan kecukupan.
Karena salah dalam memaknai kebahagiaan, akibatnya kebenaran dan kejujuran ---sumber nyata kebahagian---menjadi sesuatu yang asing. Orang sibuk memuaskan nafsunya, mengejar kesenangan yang tidak ada habisnya. Keserakahan membuatnya segala cara ditempuh, nilai-nilai etika dan moral pun ditabraknya.
ADVERTISEMENT
Mari coba kita perhatikan apa yang ramai di dunia maya ---dunia khayal yang sudah menjadi bagian kehidupan nyata manusia modern dewasa ini.
Di media sosial (medsos), fakta kebenaran dan kebohongan, tipu-tipu, kepalsuan atau yang disebut hoax sudah seperti nasi dan sayur atau makanan sehari-hari. Sulit dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Semuanya bercampur baur menjadi satu dalam derasnya arus informasi.
Ditambah lagi, pesan apa pun oleh mereka “Si Ringan Jempol” ---tanpa prosedur cek-ricek benar salahnya---langsung diforward ke segala penjuru. Lalu diteruskan secara berantai. Jadilah sekejap saja sudah memenuhi jagat medsos.
Tidak sedikit “surat berantai” semacam itu melibatkan figur-figur berpengauh, influencer. Dipastikan dampaknya tentu lebih masif. Ya kalau itu informasi benar, baik jadinya. Tetapi, kalau ternyata hoax, tentu menyesatkan. Hoax dibalas dengan hoax juga. Akhirnya jadilah bertambah runyam.
ADVERTISEMENT
Begitulah, hebatnya dunia maya, dengan Internet sebagai tulang punggungnya, memiliki daya amplifikasi yang nyaris tanpa batas. Membuat segala sesuatu yang sebenarnya sepele bisa dibuat menjadi spektakuler.
Keadaan semacam ini bila tidak dibarengi dengan tingkat melek pengetahuan dan penghayatan nilai moral-spiritual yang memadai, justru bisa membahayakan. Siapa pun bisa dipermudah, difasilitasi dalam bertindak curang, menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Memproduksi hoax hanyalah salah satu contohnya.
“Industri hoax”, demikian istilah selorohnya. Rasanya memang tidak berlebihan, bila ada yang memberi julukan seperti itu. Sebab, ibarat dunia industri nyata, di sini juga ada yang namanya barang atau jasa, ada harga, ada konsumen, ada pekerja, dan sudah barang tentu ada pabriknya. Dan yang lebih penting lagi adalah adanya yang memetik keuntungan dari industri itu.
ADVERTISEMENT
Ternyata gambaran keadaan di dunia maya yang seperti itu mencerminkan keadaan di dunia realnya. Karena kedua dunia itu sekarang sudah menjadi satu, seperti dua sisi mata uang belaka. Yang sebelah mengesahkan yang sebelah lainnya.
Jadi tidak berlebihan bila disimpulkan bahwa sekarang ini sulit mencari kebenaran dan kejujuran. Atau tidak mudah lagi menemukan orang yang konsisten pada kebenaran dan kejujuran.
Memang, melalui kebohongan, tipu-tipu atau hoax, orang bisa saja mencapai tujuannya. Bisa saja mereka merasa senang, bangga, hebat, menang dan berjaya. Namun, apakah mereka menikmati kebahagiaan? Tidak! Karena hati kecilnya akan berontak. Akan merasa gelisah dan tersiksa dihantui rasa bersalah. Tidak akan bisa tidur nyenyak. Sebab melawan naluri kemanusiaannya sendiri.
Sesungguhnya kebahagiaan atau suka cita batin itu akan mengalir dari jiwa yang tetap teguh pada kebenaran dan kejujuran. Bagi yang bersangkutan akan merasakan kebahagiaan dan bagi yang lain akan menerima aura positif darinya.
ADVERTISEMENT
Kebenaran dan kejujuran akan menimbulkan kepercayaan. Membawa ke arah transparansi atau keterbukaan, tidak ada saling curiga. Sehingga, siapa saja, bahkan apa saja akan merasa gembira dan nyaman berdekatan dengan orang jujur.
Orang jujur kehadirannya diharapkan, dinantikan, dirindukan, bahkan diidamkan. Kepergiannya disesalkan, disayangkan, hingga ditangisi. Itulah hebatnya pribadi yang jujur.
Sekadar ilustrasi, pernahkah Anda mendengar cerita tentang Gadis Jujur? Berikut ini cuplikan ringkasnya dari situs merdeka.com yang mengambil dari buku 10 Kunci Rejeki ala Rasulullah yang ditulis Fauziah Rachmawati.
Dahulu, ketika zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, ada seorang gadis penjual susu yang menarik perhatian Sang Khalifah, lantaran kejujurannya. Sehingga beliau meminta salah satu putranya untuk menikahi gadis yang berhati jujur itu.
ADVERTISEMENT
Diriwayatkan, Khalifah Umar bin Khattab sangat memperdulikan keadaan rakyatnya. Rakyat kecil pun tak luput dari perhatiannya. Tidak jarang Sang Pemimpin yang disegani itu turun langsung ---istilah zaman sekarang blusukan--- menyusuri lorong-lorong kota Madinah. Biasanya dilakukan pada malam hari, agar tidak menarik perhatian khalayak. Terkadang beliau sendiri yang langsung memberikan bantuan manakala ada yang urgent dan perlu segera ditolong.
Pada suatu malam ketika Sang Khalifah sedang istirahat ---menyandarkan badannya pada dinding sebuah rumah milik salah seorang rakyatnya--- secara kebetulan mendengar pembicaraan dua orang wanita dari dalam rumah itu.
“Biar keuntungan kita semakin besar, tambahkan air ke dalam susu yang akan kita jual itu, Nak,” kata seorang wanita kepada seseorang ---yang tidak lain adalah putrinya.
ADVERTISEMENT
“Tapi Ibu, itu kan kecurangan dalam berdagang, Khalifah Umar melarang hal tersebut,” sanggah sang putri.
“Tidak apa-apa Nak, kan Khalifah tidak tahu,” ibunya mendesak.
“Iya Ibu, Khalifah tidak melihat kita. Tetapi Allah SWT pasti melihat kita,” gadis yang jujur itu berargumentasi.
Mendengar pembicaraan itu, Umar sangat terkesan dengan jawaban-jawaban polos dan jujur gadis penjual susu yang sederhana itu.
Singkat cerita, Umar meminta salah seorang di antara putra-putranya bersedia menikahi gadis penjual susu tersebut. Sebab, Umar yakin dari pernikahan mereka, nantinya akan lahir keturunan yang baik-baik. Bahkan, kelak akan ada yang menjadi seorang pemimpin besar yang memerintah dengan adil dan jujur.
Dan benar saja, apa yang diyakini Sang Khalifah. Terbukti, dari keturunan pasangan putera Umar bin Khattab dan gadis jujur penjual susu itu di kemudian hari melahirkan seorang pemimpin besar penegak kebenaran, yang memerintah dengan adil dan jujur. Membawa Dinasti Umayyah pada masa keemasannya. Dialah Sang Khalifah Umar bin Abdul Azis.
ADVERTISEMENT
Jadi, kesimpulannya kisah Gadis Jujur ini mengaminkan pernyataan sebelumnya. Bahwa orang jujur itu kehadirannya diharapkan, dinantikan, dan dirindukan, bahkan diidamkan. Sampai-sampai seorang Khalifah, Umar bin Khatab memilih menantu seorang gadis anak seorang rakyat jelata, gara-gara kejujuran sang gadis.
Begitulah, sesungguhnya jujur dan peduli ----yang telah dibahas pada tulisan sebelumnya--- adalah dua diantara sifat-sifat manusia ihsan yang diharapkan kelak bakal mewarisi dan mengurus peradaban masa depan.