Revolusi Afektif: Jawaban Jitu Problematika Tahun 2050

Parminto
Pensiunan karyawan PT. TELKOM. Pemerhati Sosial dan Keagamaan (Islam), tinggal di Bandung.
Konten dari Pengguna
16 September 2023 14:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Parminto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemanasan Global. Foto: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemanasan Global. Foto: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Demikian narasi pembuka video Najwa Shihab yang diunggah lebih setahun lalu. Belakangan video itu kerap mampir di grup WhatsApp saya.
ADVERTISEMENT
“Ini sesuatu yang menakutkan, horor... ngeri,” kata teman saya berkomentar.
“2050 berarti tidak lama lagi. Bagaimana nasib kita dan anak cucu kita nanti?” balas teman saya yang lain menimpali.
“Tidak perlu khawatir, Mas, setiap generasi punya cara mengatasi masalahnya sendiri,” komentar menghibur dari teman yang lain.
Memang, apa yang disampaikan Mbak Nana itu sungguh mengkhawatirkan, ancaman terhadap kelangsungan hidup manusia di planet bumi ini nyata. Bagaimana tidak?
Masih kata Najwa dalam video itu, dua miliar orang bersiap menghadapi suhu ekstrem yang bisa meroket hingga 60 derajat celsius. Tubuh manusia tidak akan bertahan lebih dari 6 jam pada suhu seperti itu. Permukaan air laut naik drastis menimbulkan badai dan banjir.
ADVERTISEMENT
Kota-kota di pantai tersapu menyebabkan ribuan orang meninggal dan jutaan mengungsi. Terjadi krisis pangan akibat populasi dunia meningkat hingga sembilan miliar padahal terjadi kekurangan air dan lahan yang bisa digarap.
Sementara itu hubungan internasional tidak lagi akur. Setiap negara menjadi egois dan saling curiga. Perdagangan global macet lantaran sumber daya setiap negara tidak lagi diekspor, untuk keperluannya sendiri.
“Ini bukan mengada-ada, mengkhayal atau menakut-nakuti. Gambaran tadi berbasis penelitian, data saintifik, hitungan skenario 2030, 2050, sampai 2100 per tahun semuanya ada,” tegas Najwa.
Ilustrasi tempat di wisata pantai. Foto: Dok. Pribadi
Saya tidak ikut nimbrung dalam pembicaraan di grup WA itu. Saya hanya merenung dengan serius, hati kecil saya membenarkan apa yang ada di video itu. Bahkan menurutku itu baru satu persoalan yang mengancam kehidupan di bumi, masalah pemanasan global.
ADVERTISEMENT
Masih ada persoalan lain yang tidak kalah seru. Sebut saja yang lainnya, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam, pencemaran lingkungan dari limbah industri, dan perlombaan senjata pemusnah massal.
Dari merenung kian kemari saya sampai pada kesimpulan harus ada terobosan yang radikal demi menyelesaikan masalah-masalah yang serius itu. Taruhannya adalah eksistensi makhluk hidup di muka bumi ini, manusia, binatang, tumbuhan dan yang lainnya.
Apabila cara manusia mengelola dunia seperti sekarang ini terus dipertahankan, arahnya sudah pasti menuju jurang kehancuran. Persoalan diselesaikan dengan cara kalah-menang. Setiap negara mau menang sendiri, saling berebut hendak menguasai, mendominasi. Kalau begini caranya lantas apa bedanya dengan kehidupan di rimba; siapa yang kuat dia yang menang.
Praktik mengelola dunia yang seperti ini harus segera ditinggalkan, dan dicari cara baru. Inilah yang saya maksud dengan “harus ada terobosan yang radikal”. Sebut saja sebuah revolusi. Gagasan ini diinspirasi oleh ayat tentang penciptaan manusia. Allah Swt berfirman di dalam Al-Qur’an, yang artinya:
ADVERTISEMENT
Apabila kita perhatikan polah tingkah manusia, hingga detik ini seolah membenarkan “protes” para malaikat itu. Bahwa manusia hanya membuat kerusakan dan menumpahkan darah. Padahal jawaban “diplomatis” Tuhan di ayat tersebut menyiratkan makna tidak membenarkan tetapi juga tidak menafikan sangkaan para malaikat itu.
Dan kenyataannya hingga hari ini membuktikan setengah makna itu benar adanya. Sedang setengahnya lagi menjadi “pe-er” manusia untuk membuktikan kemampuannya mewujudkan peradaban yang rahmatan lil’aalamin. Peradaban yang menebar kasih sayang kepada semua. Inilah sejatinya misi manusia sebagai khalifah di bumi itu.
Sudah puluhan ribu tahun perjalanan kehidupan umat manusia. Menurut Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens, ada tiga revolusi penting yang telah membentuk jalannya sejarah, Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, dan Revolusi Sains.
ADVERTISEMENT
Revolusi Sain telah mengantarkan umat manusia ke zaman modern. Tidak bisa disangkal perannya dalam memajukan peradaban. Akan tetapi pada hari ini kemajuan itu nyaris menyentuh titik anti klimaksnya. Lebih dari sekadar setback yang terjadi malah terancamnya eksistensi kehidupan itu sendiri.
Senyatanya segala sepak terjang manusia pada level individu maupun kolektif, bila dirunut ke hulu akarnya ada pada mindset nya tentang bahagia. Karena semua urusan manusia ujung-ujungnya ingin bahagia tidak mau sengsara. Karena selama ini prinsip yang dianut supaya bahagia harus memiliki sebanyak-banyaknya, menguasai seluas-luasnya, harus mendominasi dan menundukkan.
Maka akibatnya seperti kita saksikan hari ini, terjadi eksploitasi gila-gilaan terhadap sesama manusia dan segala sumber daya. Terjadi persaingan, konflik bahkan perang di mana-mana. Dendam tak berkesudahan. Jadi hasilnya suatu peradaban yang ditegakkan dengan hukum rimba.
ADVERTISEMENT
Padahal sejatinya bahagia tidak mesti diperoleh dengan cara seperti itu. Memberi atau berbagi bisa mendatangkan rasa bahagia. Saya percaya kita pernah merasakan hal itu. Atau pernah mendengar cerita seorang miliarder dari Nigeria, Femi Otedola.
Dia telah melalui empat tahap kebahagiaan, yaitu: mengumpulkan kekayaan, mengumpulkan barang berharga, mendapatkan proyek besar, dan bahagia karena memberi atau berbagi. Dan hanya pada yang terakhir inilah dia benar-benar merasakan kebahagiaan itu, tidak pada tiga yang pertama. Dia menyebutnya sebagai kebahagiaan yang sejati.
Seyogyanya mindset akan kebahagian seperti telah ditemukan oleh Femi ini ada pada setiap orang. Atau setidaknya dimulai dari para pemimpin, pengambil keputusan yang berdampak luas.
Oleh karenanya manusia harus melakukan revolusi kerangka berpikirnya dalam memandang “kebahagiaan”. Bahwa kebahagiaan tidak harus diperoleh dengan cara memiliki atau menguasai sebanyak-banyaknya. Tetapi sebaliknya bisa diperoleh dengan cara berbagi atas dasar kasih sayang.
ADVERTISEMENT
Revolusi ini menggenapkan Revolusi Kognitif 70 ribu tahun silam yang menjadikan manusia sebagai makhluk super cerdas. Karena berkaitan dengan masalah emosi atau perasaan maka revolusi ini dinamakan Revolusi Afektif. Bertujuan melahirkan manusia-manusia ihsan. Yang mampu menyingkirkan sifat egois, mengedepankan jiwa berbagi dan kasih-sayang.
Umat manusia cerdas sekaligus ihsan bukan hanya solusi problem 2050, melainkan siap melaju membangun peradaban masa depan yang penuh harmoni, menebar kasih sayang kepada semua.
Ilustrasi harmoni modern dan tradisionil. Jalan tol membelah ladang di kaki cakrawala. Foto: karya pribadi.
Tidak seperti Revolusi Kognitif yang terjadi dengan sendirinya di luar kesadaran manusia, Revolusi Afektif ini terjadi atau tidaknya sepenuhnya tergantung kehendak dan perjuangan manusia.
Sebagai penutup, harapannya revolusi ini akan bergulir dari sini, dari Indonesia. Mari kita mulai!