Konten dari Pengguna

Ajuj & KInanthi (Episode 14)

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
28 Juli 2018 15:30 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Suatu saat, mencintai adalah memutar hari tanpa seseorang yang engkau sayangi. Sebab, dengan atau tanpa seseorang yang engkau kasihi, hidup harus tetap dijalani."
ADVERTISEMENT
Semalam, prosesi perayaan maulid berlangsung lengkap dan meriah. Lebih riuh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Warga dusun-dusun tetangga berdatangan, membuat suasana semakin gegap gempita. Salawatan, rodat, dan maulud digelar dengan suka cita.
Para ledek, penari-penari berbedak tebal yang jumlahnya puluhan orang tampil megal-megol. Musik gamelan berdenting-denting, mengikuti gerak penari yang kadang gemulai kadang menyentak-nyentak. Nuansa sakral menyebar dari tengah bangsal langgar; bangunan terpisah semacam barak yang terletak beberapa langkah dari langgar.
Pada saat sama, orang-orang melagukan shalawat di serambi langgar. Tikar-tikar pandan digelar memenuhi halaman tanah liat itu. Jika engkau jeli, tembang yang dilantunkan isinya puji-puji yang melangitkan nama Tuhan juga kesucian Nabi Muhammad, tentang sejarah hidupnya yang berliku-liku.
ADVERTISEMENT
Pak Rois Saepul memimpin shalawatan itu dengan fasih. Kadang lirik shalawat diselingi pesan-pesan Pancasila. Semua orang mengikuti dengan hati-hati. Ini ritus. Kegiatan yang hubungannya dengan Tuhan, pikir mereka.
Pagi ini, orang-orang kembali berduyun-duyun ke langgar dusun. Mereka membawa tampah-tampah yang di atasnya menggunung bahan-bahan kenduri. Tikar-tikar pandan yang digunakan semalam digelar lagi. Orang-orang: para suami atau pun lelaki mewakili setiap keluarga meletakkan tampah berisi uba rampe di atas tikar.
Ajuj duduk di banjar paling belakang. Dia bisa memperhitungkan, sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi jika dia duduk di barisan terdepan, dan bapaknya tahu dia datang mewakili Mbah Gogoh; warga dusun kelas dua yang selama ini dianggap tidak ada.
Bunyi-bunyian dari mulut setiap orang mulai terdengar mengikuti imam shalawatan: Pak Rois Saepul yang duduk di baris paling depan. Badan-badan mereka mengayun mengikuti arah kepala yang bergerak ke kanan dan kiri. Ajuj mengikuti gerakan itu, tetapi tanpa suara. Baginya, dikurangi satu orang, tidaklah nilai shalawatan yang diikuti ratusan orang itu berkurang.
ADVERTISEMENT
Ajuj menatap ubo rampe di depannya dengan bangga. Ini sebuah prestasi baginya. Menyiapkan bahan-bahan membutuhkan tenaga dan biaya. Kemarin Mbah Gogoh membeli beras dan memotong ayam untuk membuat nasi ambeng; nasi putih lengkap dengan lauk pauk yang dibungkus daun pisang. Nasi ambeng melambangkan permohonan kepada Tuhan agar kesalahan arwah para leluhur diampuni.
Ada juge nasi tumpeng: nasi putih berbentuk kerucut tanpa lauk-pauk. Konon, gunung berbentuk kerucut adalah kediaman dewa atau makhluk yang sangat dihormati. Tumpeng itu melambangkan seluruh pengharapan kepada Tuhan agar semua doa dikabulkan.
”Simbah bikin tumpeng biar kamu senang saja, lho, Le. Ndak ada niat yang aneh-aneh. Tidak ada hubungannya dengan tawasul. Ingat itu,” kata Mbah Gogoh berkali-kali ketika menyusun satu-satu ubo rampe untuk perayaan rasulan itu. Dia kukuh pada pendiriannya. Pendirian yang dia dapat dari almarhum suaminya.
ADVERTISEMENT
”Tawasul itu apa, to, Mbah?”
“Ya, seperti bapakmu itu. Minta hujan ke Gusti Allah, tapi doanya ke pohon besar. Minta diberi panen melimpah, doanya pada gunung lancip. Ndak bener itu.”
Ajuj mengangguk-angguk. Tidak paham benar, tetapi dia terus mengangguk-angguk. Membuat Mbah Gogoh senang karena merasa didengarkan.
Tetek bengek lain di atas tampah kenduri itu adalah nasi gurih: nasi putih bersantan, ditaburi garam dan daun satam yang gurih di lidah. Kata orang-orang dulu, nasih gurih melambangkan permohonan keselamatan dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad saw. beserta sahabat-sahabatnya, juga permintaan keamanan hidup bagi penyelenggara dan peserta upacara.
Ada juga ingkung: ayam utuh yang dimasak dengan bumbu tidak pedas dan santan kental. Ingkung menggambarkan sosok bayi; manusia yang belum mempunyai kesalahan atau masih suci. Ingkung pun melambangkan kepasrahan kepada kehendak Tuhan.
ADVERTISEMENT
Belum selesai. Ubo rampe itu juga dilengkapi dengan jadah, tumpak, gula jawa, pisang raja, kembang, dan boreh. Semakin meriah sesaji itu oleh jajanan pasar. Di setiap dua baris orang-orang yang duduk berbanjar diletakkan pula gunungan yang disiapkan oleh setiap warga RT secara gotong royong.
Di samping sesaji tersebut masih ada lagi gunungan yang disediakan oleh warga RT secara patungan. Gunungan yang itu tersusun oleh hasil bumi warga setempat berupa buah-buahan.
”Sederek-sederek. Alkamdulillah, upacara kita hari ini selesai dengan lancar. Mugi-mugi, Gusti Allah mengabulkan doa-doa kita. Panen yang melimpah di tahun depan, kesehatan untuk warga dusun kita. Kerukunan dan saling cinta sesama warga dusun.”
”Ameeeeeeeen!”
Bersahut-sahutan sambutan orang-orang menyambung doa panjang Pak Rois Saepul. Kebanyakan orang, selain Ajuj. Lelaki kecil itu mencibir dalam hati. Sekerat demi sekerat, dia kehilangan rasa hormat kepada bapaknya sendiri. Setapak demi setapak, hatinya melangkah semakin jauh dari manusia perantara keberadaan dirinya di dunia itu. Ajuj mulai merasa bunyi-bunyi doa itu sebatas omong kosong.
ADVERTISEMENT
Doa-doa panjang selesai diucapkan. Orang-orang mulai bertukar ubo rampe. Menyantap makanan diselingi wedang dawet yang segar menggelinciri tenggorokan. Makanan begitu melimpah. Entah bagaimana menghabiskannya. Usai upacara orang-orang membawa sisa-sisa santapan itu ke rumah. Dimakan sendiri atau dibagikan kepada warga lain yang susah makan.
Halaman langgar mulai ditinggalkan orang-orang. Ajuj melangkah dengan tidak sabar. Sudah dia rencanakan sejak semalam, pagi ini dia hendak mendatangi rumah Kinanthi. Dia mau memberikan nasi kenduri, sekalian mencari tahu bagaimana keadaan sahabat kecilnya itu.
Beberapa lelaki saling berbisik sambil melihat Ajuj yang setengah berlari. Ajuj sudah mulai terbiasa dengan hal itu. Awal risih lama-lama tidak peduli. Sejak kepindahannya ke rumah Mbah Gogoh, orang-orang dusun tidak berhenti membincangkan keluarganya. Ajuj seolah menjadi anak durhaka yang membelot dari bapaknya sendiri. Mematikan aura agung yang dimiliki generasi rois turun-menurun.
ADVERTISEMENT
Tampaknya, setelah Saepul, dusun ini sudah tidak akan memiliki seorang rois lagi. Generasi itu habis karena Ajuj yang dikabarkan sudah diusir oleh bapaknya. Dipaksa angkat kaki dari rumah kelahirannya. Jelas ini pertanda buruk. Kebaikan Tuhan terhadap dusun ini dalam ancaman. Bagaimana mungkin sebuah dusun melanjutkan hidup tanpa adanya seorang rois? Di kepala orang-orang, doa mereka baru bisa didengar Tuhan jika melewati seorang rois. Setelah Saepul meninggal dunia bagaimana nasib dusun ini selanjutnya?
Sejauh ini, Ajuj enggan memikirkan hal itu. Dulu, memang terbayang-bayang dalam benaknya, suatu saat akan menjadi kesulitan jika dia harus menggantikan posisi bapaknya begitu telah dewasa. Entah bagaimana, Ajuj benar-benar tidak menginginkannya. Pikirannya sebebas burung. Berharap setelah dewasa dia sanggup mengembara ke mana saja. Bukan terkukung di dusun yang tersingkir dari pergaulan dunia ini. Menghabiskan waktu dengan hapalan doa-doa, dan memimpin orang-orang melakukan upacara-upacara yang perlahan dia sendiri sudah kehilangan greget untuk melaksanakannya. Terutama setelah obrolan-obrolan panjang dengan Mbah Gogoh yang banyak memberi pengatahuan yang tak biasa.
ADVERTISEMENT
Ajuj melanjutkan langkah bergegasnya. Dari langgar rumah keluarga Kinanthi berada di bagian selatan dusun. Dari perempatan jalan dusun, tinggal beberapa orang saja yang berjalan searah dengan Ajuj.
”Mau ke Pak Mangun, Juj?” sapa pemuda berkepala setengah botak yang berbarengan dengan Ajuj membelok dari perempatan dusun.
”Iya, Kang Joko.”
”Ndak dimarahi bapakmu?” suara berat Joko menyentilkan sesuatu ke gendang telinga Ajuj. Sesuatu yang tidak enak. Kekesalan karena urusan pribadinya dicampuri.
”Ndak, Kang,” Ajuj menjunjung tampahnya ke atas kepala, ”Aku duluan, Kang.” Dia bergegas lagi.
Ajuj membelok ke rumah Kinanthi yang sudah di depan muka. Mangun, bapaknya Kinanthi sedang duduk di depan rumah sembari menyeruput kopi pahit.
”lho, Ajuj, to. Ealah... repot-repot, Le.” Bapaknya Kinanthi menyambut kedatangan Ajuj dengan wajah sumringah. Senyum melebar yang biasa dia berikan kepada semua orang pun merekah.
ADVERTISEMENT
”Rasulan, Pak. Dari Mbah Gogoh.”
”O, iya ... iya. Terima kasih.”
Ketika nama Mbah Gogoh disebut, itu sudah cukup memberi jawaban bagi Mangun, atas pertanyaan yang memalu kepalanya. Tidak mungkin Rois Saepul yang begitu menistakannya mau mengirim makananan rasulan.
Di dusun itu, seperti juga berlaku di beberapa dusun tetangga, setelah upacara di langgar, setiap keluarga mengirim nasi kenduri kepada para tetangga. Biasanya yang mengirimkan adalah anak-anak. Keluarga yang menerima kiriman itu kemudian menyisipkan uang sekadarnya untuk anak si pembawa makanan kenduri.
Mangun lantas mengajak Ajuj masuk ke ruang tengah rumahnya. Mboknya Kinanthi ke luar dari kamar. Wajahnya seperti orang yang khawatir kecurian.
”Mbokne, wah, rezeki kita bagus hari ini. Ada kiriman kenduri dari Mbah Gogoh ini lho.”
ADVERTISEMENT
“O. Taruh saja di meja.”
Sekilas, Mangun melirik wajah istrinya. Mboknya Kinanthi melengos. Dia lalu keluar rumah, menuju kakus.
“Duduk, Juj.”
“Nggih, Pak.”
Bapaknya Kinanthi memperlakukan Ajuj seperti tamu istimewa. Bukan anak di awal belasan tahun yang belum tahu apa-apa. Dengan baik-baik, dia mempersilakan Ajuj duduk di kursi tua di depan dipan bambu ruangan itu.
“Kinanthi masih sakit, setelah hujan-hujan kemarin. Panas. Ndak mau makan.”
Wajah Ajuj memperlihatkan gelisah. ”Saya dengar dari orang-orang, Pak.”
Mangun mengangguk-angguk sambil menoleh ke kamar. ”Iya, kemarin Kinanthi naik gunung mencari kamu. Bapak sudah katakan, kamu baik-baik saja. Sekarang Kinanthi sudah lebih tenang. Sudah bisa tidur.”
Ajuj tidak bersuara. Hatinya lumayan lega, tetapi bibirnya tidak bisa bersuara untuk sementara. Sampai kemudian, ”Saya pamit dulu, Pak.”
ADVERTISEMENT
”Lho, kesusu. Kok, terburu-buru.”
“Eh, nganu. Mbah Gogoh sedang repot menganyam tikar pandan. Kulo mau bantu-bantu.”
Mangun mengangguk-angguk. ”Ya, sudah.” Dia bangkit lalu berjalan menuju kamar. ”Tunggu sebentar ya, Juj. Bapak ada sedikit buat jajan kamu.”
Ajuj buru-buru berdiri. ”Ndak usah, Pak. Ndak usah.”
”Eh ... ndak apa-apa.”
Ajuj berjalan mundur menuju pintu. ”Saestu. Sungguh-sungguh, Pak. Ndak usah. Itu sengaja dibuat untuk Kinanthi, kok. Matur nuwun, saya pulang dulu. Pareng.”
Mangun termangu. Bahkan tidak sempat dia jawab salam pamitan Ajuj. Menggeleng-geleng. Tidak habis pikir, mengapa berbeda jauh antara Ajuj dan orang tuanya.
”Bapak kasih berapa si Ajuj?” Simboknya Kinanthi datang sekonyong-konyong dengan wajah yang masih mbesengut. ”Duit kita kan segitu-gitunya, Pak. Mosok dikasih ke orang. Ndak bisa nasi kenduri kita makan selama seminggu.”
ADVERTISEMENT
Mangun tidak berminat menanggapi kalimat istrinya. Dia menghampiri meja, mencomot jajan pasar yang masih tergelar utuh di atas tampah bawaan Ajuj.
”Bapak ini diajak rembukan, kok, diam saja.”
”Yang ngasih duit Ajuj itu siapa?” kata Mangun disela kunyahan gigi-giginya. ”Wong Ajuj ndak mau dikasih duit, kok.”
Simboknya Kinanthi melongo. Di luar dugaan memang. Namun, dia sudah telanjur ketus, aneh kalau berubah gapyak; ramah penuh senyum. Perempuan itu pun kemudian meninggalkan suaminya dengan gerakan gegas. Masuk lagi ke kamar yang pintunya ditutup kain warna kelabu pengganti pintu.