Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Ajuj & Kinanthi (Episode 22)
9 Agustus 2018 16:03 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Suatu saat, mencintai adalah memutar hari tanpa seseorang yang engkau sayangi. Sebab, dengan atau tanpa seseorang yang engkau kasihi, hidup harus tetap dijalani."
Bandung, menjelang Isya.
ADVERTISEMENT
”Dari mana, Thi? Tumben malam sekali.”
Eli menyambut kedatangan Kinanthi dengan ekspresi tidak enak dilihat.
”Maaf, Bu. Ada acara di tempat teman.”
Kinanthi menyelinap masuk setelah Eli menggeser tubuhnya dari pintu. “Kok, sampai malam sekali?”
“Rumahnya jauh, Bu. Di Soreang.”
“O, lain kali bilang, ya, kalau mau pergi-pergi.”
“Iya, Bu.”
Kinanthi bernapas lega. Hampir saja tadi dia beralasan ada les tambahan di sekolah. Sebuah alasan yang bodoh. Sebab, Eli rajin sekali mengecek kegiatan tambahan di sekolah Kinanthi. Memonitor kegiatan pembantunya yang pintar itu. Kalau saja Kinanthi bukan anak yang nilainya bagus dan dipuji guru-guru, tentu Eli tidak akan percaya begitu saja dengan alasan “ke tempat teman di Soreang.” Kali ini, Kinanthi bisa berlega hati.
ADVERTISEMENT
Apa jadinya jika Eli tahu, Kinanthi habis jalan-jalan ke Tangkuban Perahu? Apa yang akan dilakukan nyonya majikan tahu Kinanthi siang tadi memukul Gesit, kakak kelasnya, dengan botol minuman tepat di kepala? Untung tidak apa-apa. Gesit memang mengalami benjol di dahi, tetapi itu boleh dikatakan tidak apa-apa, dibanding misalnya dia mengalami perdarahan parah, dan mati di vila itu. Alamat buruk bagi masa depan Kinanthi.
Namun, Kinanthi tidak menyesal sudah memukul Gesit dengan kekesalan yang luar biasa. Itu pembelaan diri. Gesit hendak menyeret Kinanthi lebih jauh lagi masuk ke dunianya. Dunia pergaulan yang tidak ada batasnya.
Beberapa menit setelah meninggalkan vila, Kinanthi berjalan sendirian di jalan sepi menuruni kawasan Lembang. Hampir setengah jam kemudian, ketika hendak memasuki kawasan penduduk, Gesit menyusul Kinanthi dengan motor bertangki besarnya dan perban di kepala. Ada noda darah di keningnya.
ADVERTISEMENT
“Kinan, aku antar pulang. Maaf aku sudah kelewatan.”
”Ndak. Aku mau jalan kaki.”
”Bandung jauh sekali dari sini, Kinan.”
”Bukan urusanmu.”
Berkali-kali dibujuk, Kinanthi terus menolak. Dia menyetop angkot tanpa memikirkan bagaimana nanti dia membayar ongkosnya. Angkot yang lewat pada saat yang tepat. Kinanthi masih merasa bersyukur, Gesit tidak kalap. Seberapa kuat dia untuk menolak Gesit yang berbadan bongsor dan tenaga jauh lebih besar dibanding dirinya? Mungkin karena Gesit tidak terlalu pintar atau memang masih mencoba-coba, Kinanthi bisa membuatnya tidak berdaya.
Jadilah perjalanan menuju Bandung pengalaman luar biasa bagi Kinanthi. Berkilo-kilo jalan kaki, sesekali menumpang angkot dan menahan malu ketika harus mengatakan dompet hilang kepada sopirnya.
ADVERTISEMENT
”Thi.”
”Iya, Bu.” Kinanthi urung masuk ke kamarnya ketika Eli menyusulnya.
”Saya sudah mendaftarkan kamu di tempat kursus bahasa. Mulai Senin kamu masuk, ya.”
“Kursus bahasa apa, Bu?”
“Bahasa Arab.”
“Ta ... tapi di sekolah tidak diajarkan bahasa Arab, Bu.”
”Ah, ikut saja, biar kamu tambah pintar. Nanti kamu pasti tahu manfaatnya.”
Eli meninggalkan Kinanthi yang masih terbengong-bengong. Kursus bahasa Arab? Kinanthi masih tidak mengerti maksud Eli. Namun, rasa lelah membuat Kinanthi tidak terlalu memusingkannya. Dia lalu masuk ke kamar dan mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Jangan pikirkan apa-apa dulu. Sekarang tidur. Apa yang terjadi besok pikirkan besok.
***
ADVERTISEMENT
”Aziz!”
Ivan; bapak guru bahasa Sunda memanggil satu-satu muridnya. Setiap nama yang disebut maju ke depan untuk menerima kertas hasil ulangan.
”Istiqamah!”
Maju lagi. Ini tatar Sunda, tetapi nilai ulangan bahasa Sunda selalu asyik untuk dibahas. Memperoleh nilai tujuh pun sukarnya bukan main. Terutama ketika harus menulis aksara Sunda Kawi. Untung gurunya Ivan. Guru flamboyan yang disukai banyak orang. Siswa laki-laki menyukainya karena pembawaannya yang tidak kaku. Maklum, masih muda. Baru lulus kuliah dari universitas pinggir Bandung beberapa tahun lalu. Usianya 25 tahun atau kurang sedikit. Masih honorer.
Siswa perempuan sibuk berdehem, karena Ivan ini masuk kategori di atas rata-rata guru se-Indonesia. Tidak terlalu tinggi, tetapi proporsional. Dia cukup memerhatikan kepantasan penampilan. Rambutnya ikal, matanya bulat besar, alisnya tebal, bibirnya kecil. Begitu juga hidungnya. Penginnya memanggil Kak Ivan. Tetapi ini bukan Pramuka.
ADVERTISEMENT
”Asep!”
Siswa bernama Asep maju. ”Belajar lagi, ya,” kata Ivan. Asep mengangguk. Itu pertanda buruk nilainya di bawah enam.
”Kinanthi!”
Kinanthi bangkit dari tempat duduknya. Dia melangkah dengan tatapan setiap penghuni kelas itu. Belakangan, Kinanthi memang semakin merasa lain. Dia merasa, tingkah lakunya kian mengundang perhatian orang. Sebabnya apa, Kinanthi belum tahu. Namun, dia memahami kecenderungan itu hari demi hari.
Ivan menyambutnya dengan wajah sumringah. ”Thi ... setelah pelajaran kamu jangan keluar kelas dulu, ya.”
Kinanthi menganguk. Sekilas dia lihat kertas ulangannya. Enam. Turun satu nilai dari ulangan sebelumnya. Nilai terburuk dari semua bidang studi yang pernah ia dapat. Pembagian hasil ulangan terus berlangsung sampai 40 nama genap disebut.
ADVERTISEMENT
”Anak-anak. Saya sangat sedih karena belum juga mampu membuat kalian semua meraih nilai bagus di bidang studi bahasa Sunda. Saya berharap, sebelum ujian akhir semester kalian lebih rajin lagi belajar bahasa Sunda. Ingat, semua pelajaran penting. Namun, menguasai bahasa sendiri juga sebuah keutamaan. Jangan sampai bahasa Inggris kalian mendapat sembilan, bahasa sendiri hanya memperoleh angka lima.”
Seluruh isi kelas mengiyakan. Di mulut ”iya” di hati ”masa bodoh”.
Kinanthi bertahan di dalam kelas ketika bel jeda pelajaran dibunyikan. Sebenarnya, tanpa disuruh pun, dia tidak akan keluar kelas. Dulu ketika masih ada Euis, dia ke luar untuk ke masjid. Shalat dzuhur. Euis shalatnya rajin bukan main. Kinanthi berusaha mengimbanginya. Itu dulu. Sekarang, ketika Euis sudah tidak ada, Kinanthi tidak merasa ada yang harus diimbangi. Dia berdiam di kelas setiap hari.
ADVERTISEMENT
”Maju, Thi. Biar enak ngobrolnya.”
Kinanthi mengikuti saran Ivan. Dia berpindah duduk, persis di hadapan meja guru. Sebelumnya dia menoleh ke pintu kelas, dan mendapati beberapa kepala langsung melenyap. Teman-teman sekelasnya ingin tahu mengapa Ivan memintanya tinggal di kelas. Padahal, seharusnya dianggap biasa saja. Ivan sering melakukan hal seperti ini sehabis membagikan hasil ulangan. Bedanya, kali ini Kinanthi sendirian. Biasanya, Ivan menyuruh beberapa orang menemuinya bersama-sama.
”Kamu lagi ada masalah, Thi?”
Kinanthi menggeleng.
”Kok, nilai kamu turun?”
Kinanthi mengangkat wajah dengan ekspresi Pak, saya cuma turun satu nilai saja diributkan. Bukannya banyak teman lain mendapat nilai di bawah enam? Lagi pula saya, kan, orang Jawa, di wajahnya.
ADVERTISEMENT
”Lagi berantem sama pacar kamu, ya?”
Kinanthi menggeleng, ”Saya ndak punya pacar, Pak.”
”Ah, masak? Gesit itu siapamu?”
”Teman.”
”Ke mana-mana bareng?”
”Sekarang sudah ndak lagi.”
”Sudah putus?”
Kinanthi mulai merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan gurunya. Jelas ini sudah keluar tema. ”Memang ndak pernah nyambung, Pak.”
Ivan tersenyum, ”Ya, syukur kalau begitu. Kamu memang harus berhati-hati bergaul. Sekarang, anak perempuan harus lebih waspada. Pergaulan perkotaan bisa sangat berbahaya.”
Kinanthi mengangguk-angguk, ”Sudah, Pak? Saya mau belajar.”
”O, iya. Sudah-sudah. Silakan. Saya juga masih ada keperluan.”
Kinanthi mundur lagi ke kursinya. Ivan pamitan sebelum melangkah ke luar kelas. Kinanthi mengiyakan dengan anggukan. Dia segera mengeluarkan buku-bukunya. Mempersiapkan pelajaran setelah jeda istirahat.
ADVERTISEMENT
***