Konten dari Pengguna

Ajuj & Kinanthi (episode 26)

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
24 Agustus 2018 15:23 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ajuj & Kinanthi (episode 26)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Suatu saat, mencintai adalah memutar hari tanpa seseorang yang engkau sayangi. Sebab, dengan atau tanpa seseorang yang engkau kasihi, hidup harus tetap dijalani."
ADVERTISEMENT
***
Malam itu Kinanthi tidak bisa tidur lebih dari biasanya. Sudah beberapa kali Mustafa, adik-adiknya, Habdul Aziz sendiri, dan entah siapa lagi berbisik-bisik di luar pintu kamarnya. Memanggil namanya di tengah malam. Kinanthi teringat peristiwa Marni dan sama sekali tidak ingin mengalaminya sendiri. Dia selalu bertahan di dalam kamar sambil membalas bisikan-bisikan itu dengan suara yang agak kencang. ”Pergi, atau saya akan teriak!”
Biasanya, cara itu berhasil. Seisi rumah ini begitu ngeri terhadap Hindun; si nyonya besar. Entah bagaimana bisa begitu. Setiap Kinanthi mengancam akan melaporkan gangguan-gangguan Habdul Aziz dan anak-anaknya kepada Hindun, untuk sementara cara itu berhasil mengusir semua ancaman. Meski kemudian datang lagi di lain waktu.
ADVERTISEMENT
Malam ini, Kinanthi lebih gelisah dari biasanya, karena siang tadi Hindun, si nyonya rumah, pergi ke rumah sakit diantar anak-anak perempuannya. Mustafa juga ikut serta. Entah sakit apa nyonya itu. Mungkin berkaitan dengan lemak yang menggelayuti tubuhnya.
Meski Kinanthi benci setengah mati kepada majikan perempuannya, namun ketiadaannya berarti juga hilangnya perlindungan tidak langsung terhadap keamanan dirinya. Kinanthi tahu, beberpa hari ini dia akan mengenakan gamis Marni tampa pernah ganti.
Kekhawatiran itu terbukti lebih cepat dari dugaan Kinanthi.
Ketika sepanjang malam justru tidak ada gangguan, pagi hari, sewaktu hendak membersihkan kamar majikannya, Kinanthi merasa jantungnya akan berhenti berdetak saat Habdul Aziz mengurungnya di kamar besar itu.
ADVERTISEMENT
Ketika Kinanthi masuk, kamar tampak sepi. Dia mengira Habdul Aziz sedang ke rumah sakit menengok istrinya. Rupanya tidak. Dia bersembunyi di kamar mandi yang juga berada di dalam kamar itu.
Begitu Kinanthi sibuk dengan segala barang-barang berantakan dalam kamar itu, Habdul Aziz bergerak cepat, keluar dari kamar mandi menuju pintu kamar. Menguncinya dari dalam, lalu dengan gerakan menyebalkan, memperlihatkan kepada Kinanthi, bagaimana dia memasukkan anak kunci itu ke saku celananya.
Kinanthi bersikap waspada. Dia berjalan mundur menuju jendela. Ini lantai dua. Kinanthi melirik ke bawah dan membuat perkiraan, melompat dari ketinggian itu bisa meremukkan kedua kakinya.
”Mau ke mana, Kinanthi?”
”Saya akan teriak!”
”Percuma,” Habdul Aziz terus mendekat.
ADVERTISEMENT
“Mundur, Tuan!” Tangan Kinanthi bergerak cepat, merogoh saku rahasia di ujung gamisnya. Di situ selalu dia simpan pisau kecil Marni untuk berjaga-jaga. Dia menempelkan ujung pisau itu ke lehernya. ”Lebih baik mati. Mundur Tuan! Atau saya bunuh diri di kamar ini!”
Habdul Aziz terkejut dengan persiapan Kinanthi. Dua tangannya terangkat, seperti tukang parkir, berusaha menahan Kinanthi berbuat nekat.
”Kunci! Mana kunci!”
”Tenang, Kinanthi. Tenang.” Habdul Aziz mengulurkan anak kunci kepada Kinanthi. Kinanthi menggeleng. ”Buka pintu! Sekarang!”
Habdul Aziz mendengus. Tadinya, dia berpikir, kalau Kinanthi mau mengikuti permainanya, ketika tangan Kinanthi mengulur untuk menerima anak kunci itu, dia bisa melumpuhkan perempuan itu dalam satu entakan.
ADVERTISEMENT
Sialnya, ternyata Kinanthi perempuan pintar. Dia bergerak perlahan di belakang Habdul Aziz, sementara majikannya itu memasukkan anak kunci dan menbuka pintu. ”Kasih tahu saya kalau Tuan hendak keluar kamar. Saya akan membereskan kamar ini kalau Tuan ada di luar,” kata Kinanthi dengan bibir bergetar. Dia berusaha keras agar tetap tenang. Padahal jantungnya sudah benar-benar berdetak kacau. Habdul Aziz tidak menjawab. Dia membanting pintu dari dalam, tanda kesal.
Saat itulah tangis Kinanthi pecah tanpa mampu ia cegah. Setelah terpaku sejenak, dia buru-buru menuju tangga. Rumah benar-benar sepi siang itu. Barangkali semua anak-anak Habdul Aziz ada di rumah sakit, sementara bapaknya pura-pura sibuk dengan tokonya. Padahal tujuan utama dia tinggal di rumah hari itu adalah ingin menjebak Kinanthi.
ADVERTISEMENT
Kinanthi sampai di garasi dan tidak menemukan satu mobil pun di sana. Tiga mobil buatan Jerman milik keluarga itu semua dibawa ke rumah sakit, rupanya.
“Thi.”
Mau meledak rasanya dada Kinanthi melihat Yusman berdiri di belakangnya. Tadinya, ketika melihat semua mobil tak ada, dia mengira Yusman pun ikut ke rumah sakit. Rupanya tidak. Anak-anak Habdul Aziz mengemudi mobil mereka sendiri.
“Kamu kenapa?”
Kinanthi tidak bisa bicara. Dia menahan tangis dan deru di dadanya yang begitu menyakitkan. Yusman bisa mengira-ngira apa yang terjadi. Hanya ada Habdul Aziz di rumah, artinya apa pun yang terjadi terhadap Kinanthi tentu berkaitan dengan bos besar itu. Yusman merogoh kantung celana, mengambil telepon selulernya hampir sama besarnya dengan telepon rumah. Mengetik nomor yang sudah dia hapal.
ADVERTISEMENT
“Kita berangkat sekarang,” kata Yusman mantap. Kinanthi masih tidak bersuara. Dia ikut saja ke mana langkah Yusman. Termasuk ketika mereka mengendap-endap ke gerbang sembari menghindar dari perhatian para pekerja yang sibuk di ruang penjahitan. Yusman lebih dulu keluar gerbang, memastikan taksi yang tadi ia panggil lewat telepon sudah menunggu di ujung jalan. Berikutnya, dia memanggil Kinanthi. Mereka berdua lantas bergegas masuk ke taksi, secepat-cepatnya pergi meninggalkan rumah Habdul Aziz.
“Pak Yus, bagaimana nanti kalau Pak Yus ketahuan. “ Di dalam taksi, dalam perjalan ke SIR, Kinanthi mulai bisa menguasai dirinya. Semakin jauh dari rumah Habdul Aziz semakin terkumpul tenaganya untuk berkata-kata.
“Lebih mudah bagi saya, Thi. Driver kalau bosan dengan bosnya, tidak perlu repot. Mobil ditinggal lalu cari pekerjaan baru. Beda dengan perempuan, seperti kamu. Sudah jangan pikirkan saya.”
ADVERTISEMENT
Taksi melaju dengan kecepatan sedang. ”Apa yang harus saya lakukan setelah ini, Pak?”
”Mudah-mudahan kita bertemu dengan student yang baik. Yang mau bantu kamu mengurus kepulanganmu di KBRI.”
”Kalau tidak?”
”Jangan pesimis dulu. Kalaupun tidak bisa pulang, paling tidak kamu bisa mencoba majikan baru. Kalau beruntung kamu bisa mendapat majikan yang baik. Tidak semua orang Arab seperti Habdul Aziz.”
Yusman mengelap jidat. ”Saya sudah menghubungi orang SIR minggu lalu. Saya disuruh mencari seseorang bernama Pak Doelahadi. Mudah-mudahan dia memang bisa membantu kamu.”
”Dia pejabat KBRI, Pak?”
Yusman menggeleng, ”Bukan. Dia masiswa S3 di SIR.”
Kinanthi memucat.
“Paling tidak, dia orang tahu hukum, Thi. Orang pintar. Kata orang SIR yang saya hubungi, Pak Doel ini sering membantu TKW-TKW yang bermasalah. Mengantarkan mereka ke KBRI untuk mencari jalan keluar masalahnya.”
ADVERTISEMENT
Kinanthi terdiam. Berusaha memupuk harapan. Barangkali memang masih ada keberuntungan di negeri ini.
***
”Berapa umurmu sebenarnya?”
”14 tahun, Pak.”
”Subhanallah ... muda sekali.”
Kinanthi menundukkan kepala, ”Identitas saya dipalsukan sama orang yang masukin saya ke agen.”
”Jadi 17 tahun?”
Kinanthi mengangguk. Yusman yang duduk di sampingnya ikut-ikutan mengangguk sekadar menegaskan. ”Dia hampir diperkosa majikannya tadi pagi, Pak Doel.”
Doelahadi menatap Kinanthi dengan pandangan prihatin. Usia pria itu mungkin baru merangkak dari angka 30 tahun. Wajahnya bersih, matanya memancarkan kepedulian. ”Bagaimana kamu bisa lolos?”
”Saya mengancam mau bunuh diri, Pak.”
Doel menahan napasnya. Ini bukan kali pertama dia hadapi. Seorang TKW yang sudah begitu putus asa, dan mengira bunuh diri adalah pintuk ke mana saja.
ADVERTISEMENT
”Teman saya. Mbak Marni sekarang entah di mana. Katanya dimasukkan penjara oleh mereka.”
Wajah Kinanthi terangkat. Manik-manik matanya sudah sedari tadi basah. Doel tidak terburu-buru menanggapi kalimat terakhir Kinanthi. Dia menghela napas berat, ”Ada satu juta orang Indonesia di seluruh Arab. Kebanyakan dari mereka adalah driver seperti Pak Yusman dan pembantu rumah tangga seperti kamu, Kinanthi.” Doel menahan kalimatnya, ”banyak di antara mereka yang bermasalah seperti kamu dan teman kamu itu.”
Kinanthi mulai terisak lagi. Memelas, mengundang iba.
”Tapi selalu ada peluang untuk berusaha. Saya punya kenalan baik di KBRI. Kita bisa ke sana untuk mencari tahu, apa jalan keluar terbaik untuk masalahmu.”
Kinanthi mengangguk perlahan. Sekonyong-konyong, Kinanthi merasa Doel adalah orang yang tepat untuk disandari pengharapan, keinginan untuk merdeka. Hari itu juga, Doel mengantar Kinanthi menuju KBRI. Yusman yang sudah lega karena yakin Kinanthi berada di tangan yang benar kemudian berpamitan.
ADVERTISEMENT
Kinanthi berkali-kali menciumi tangan Yusman sebagai tanda terima kasih. Bagi Kinanthi, ketidakjelasan masa depan masih lebih baik dibanding bertahan di rumah Habdul Aziz. Sedangkan Yusman rela melepaskan pekerjaannya demi ketidakjelasan yang dicari Kitannthi itu. Terima kasih semacam apa lagi yang bisa disuarakan gadis itu?
”Ini tidak akan mudah. Tapi kita akan mencobanya. Kamu siap?” tanya Doel kepada Kinanthi sewaktu keduanya hendak masuk ke KBRI menemui kenalan Doel yang bekerja di tempat itu.
Kinanthi mengangguk. Pasal ”ini tidak mudah” yang dikatakan Doel tentu berkaitan dengan surat-surat keimigrasian Kinanthi yang ditahan Habdul Aziz sejak kali pertama dia memasuki rumah kubus itu. Namun, Kinanthi sudah memantapkan hatinya, apa pun yang terjadi, dia tidak akan kembali ke rumah itu.
ADVERTISEMENT
Setelah memarkir mobil, Doel lantas mengajak Kinanthi masuk ke gedung KBRI. Di depan ruangan layanan, mengular antrean perempuan-perempuan Indonesia dengan berbagai penampilan mereka. Sekilas pandang, engkau akan paham kebanyakan dari mereka datang bukan untuk urusan yang menyenangkan.
Seorang perempuan muda tertahan dalam antrean dengan tongkat dan kaki kananya diperban ketat persis di depan Kinanthi. Mereka baru berhasil merapat ke depan loket pendaftaran setelah antre hampir satu jam lamanya.
”Kenapa perempuan itu, Pak?” iseng Doel bertanya kepada petugas pendaftaran.
”Biasa, lompat dari lantai tiga,” jawab petugas enteng.
Kinanthi terhenyak di tempatnya berdiri. Lompat dari lantai tiga sudah biasa?
Doel menangkap kerisauan Kinanthi dari bahasa tubuhnya. “Kamu harus kuat. Memang begini keadaannya.”
ADVERTISEMENT
Meski ragu, Kinanthi mengangguk setuju. Mereka pun kemudian masuk ke ruangan khusus untuk para TKW yang bermasalah. Doel menyalami kenalannya yang hari itu memang sedang berdinas. Doel tampak berbasa-basi sebentar sebelum obrolan itu masuk ke inti yang dimaksud.
Kinanthi kemudian dihadapkan pada seorang petugas berwajah ramah. Umurnya kira-kira di atas 40 tahun. Kebapakan. Sesuatu di wajahnya mengingatkan Kinanthi kepada bapaknya.
“Nama majikanmu siapa, Nak?”
“Habdul Aziz.”
“Alamat?”
Kinanthi menyebut sebuah alamat yang susah payah ia ingat.
“Kenapa kamu kabur dari rumah majikanmu?”
”Tidak digaji, ” kalimat Kinanthi tersendat,”berkali-kali mau diperkosa.”
Petugas itu lalu meletakkan pulpennya. Seperti sudah tidak akan berurusan lagi dengan benda itu. ”Rencanamu selanjutnya apa? Keinginan setelah ini apa?”
ADVERTISEMENT
Kinanthi terdiam. Dia memang belum menyiapkan jawaban ini. Pulang ke Indonesia bukan jawaban tepat. Sebab, di tanah air pun dia tak tahu hendak ke mana. Belum lagi belitan utang kepada keluarga Edi yang akan terus mengejar-ngejarnya.
Kinanthi menggeleng lemah, ”Asalkan tidak kembali ke rumah Habdul Aziz.”
Petugas itu menoleh ke Doel sembari mengangkat tangannya. ”Banyak yang seperti ini Pak Doel. Setiap hari.”
Doel mengangguk-angguk. Dibandingkan dengan berbagai kasus yang ia temui, apa yang dialami Kinanthi memang tergolong ringan. Setidaknya, memang dia belum mengalami penyiksaan maupun pemerkosaan. Engkau harus menurunkan standar kejadian yang mengancam seseorang dalam kasus ini.
”Thi, coba kamu tunggu di luar sebentar. Saya mau bicara sebentar dengan bapak ini. Tunggu saya, ya.”
ADVERTISEMENT
Kinanthi mengangguk pelan, kemudian bangkit dan ke luar ruangan. Doel menatap kepergian gadis itu dengan iba yang menyayat. Kinanthi gontai berjalan menelusuri lorong panjang, menghampiri kursi semacam bangku taman yang hanya terisi dua orang.
”Pak, dia masih 14 tahun. Apa tidak ada yang bisa kita lakukan?” Doel memulai lobinya sepeninggalan Kinanthi.
Petugas itu menggeleng sambil tersenyum, ”Surat-surat anak itu masih ada di tangan majikannya. Sekarang kalau kita mau bilang ada penganiayaan, tidak ada buktinya. Kita bilang ada ancaman pemerkosaan, seluruh penghuni rumah itu pasti bersaksi sebaliknya.”
Doel menggaruk alisnya dengan gerakan kecil. Entah mengapa, Kinanthi mampu menyedot kemampuannya untuk berempati. Seolah kemungkinan sekecil apa pun akan ia coba, demi menyelamatkan masa depan Kinanthi. Sudah pasti setelah hari ini, jika dia menyerah lalu Kinanthi dikembalikan ke majikannya, kiamat sudah hidup gadis itu.
ADVERTISEMENT
Sementara Doel masih berupaya menemukan jalan keluar untuk Kinanthi, gadis yang menyedot perhatiannya itu duduk nelangsa di atas kursi, di lorong yang sibuk oleh lalu lalang orang dengan berbagai urusan.
”Mbak Kinanthi?”
Kinanthi yang sedari tadi melamun terhenyak sesaat. Dia tak menyadari kedatangan seorang laki-laki setengah baya di dekatnya. Mungkin umurnya mendekati setengah abad. Rambutnya berselang seling hitam dan putih. Ada kehangatan pada raut wajahnya.
”Iya, Pak.”
”Mbak datang sama Pak Doel, kan?”
Kinanthi mengangguk lagi. Masih dalam rasa heran yang menggebu.
“Saya Marwan. Tadi Pak Doel menelepon saya agar ke sini.”
Kinanthi menggeser duduknya, supaya orang bernama Marwan itu bisa lebih leluasa.
”Pak Doel itu orang baik, memang. Menolong orang terus.”
ADVERTISEMENT
Kinanthi mengangguk setuju.
“Saya ditolong Pak Doel dulu. Pindah kerja dari Dubai ke Ryadh ini. Dulu majikan saya galak sekali. Main pukul setiap hari.”
Kinanthi terhanyut oleh cerita laki-laki itu dan semakin kagum dengan kebaikan Doel; pria yang baru ia kenal selama beberapa jam.
“Saya sekarang kerja di majikan yang baik. Ini saya habis di-umroh-kan sama majikan saya. Tahun depan dinaikkan haji. Enaklah pokoknya.”
Kinanthi melongo. Hampir tidak percaya, masih ada orang bernasib baik di negeri asing ini. Terbit matahari baru dalam batin gadis itu.
”Mbak Kinanthi kalau mau boleh kerja di majikan saya. Soalnya memang lagi butuh satu pembantu lagi.”
”Benar, Pak?”
ADVERTISEMENT
”Iya. Pembantu yang dulu pulang kampung ke Purwokerto. Katanya, sih, mau menikah. Jadi tidak akan balik lagi. Nah, kalau mbaknya mau, saya antar ke majikan saya.”
”Sekarang?”
Marwan mengangguk, ”Iya.”
Wajah Kinanthi sumringah seketika. “Saya bilang ke Pak Doel dulu.”
“Eh, tidak usah.” Marwan menahan langkah Kinanthi. “Pak Doel masih sibuk begitu. Nggak enak kalau diganggu. Orang-orang pintar kalau sedang berbicara serius kan nggak bisa diganggu.”
Kinanthi berpikir sebentar. Ada curiga melintasi kepalanya.
”Eh, Mbaknya ini. Saya, kan, kenal baik dengan Pak Doel. Nggak akan macam-macam. Rumah majikan saya dekat dari sini. Pak Doel juga tahu. Cuma nyeberang jalan. Sebentar saja, nanti balik lagi ke sini.”
ADVERTISEMENT
”Nggak, ah, Pak. Nanti saja. Nunggu Pak Doel.”
”Ya sudah. Kalau begitu, biar saya yang minta izin ke Pak Doel, ya. Mbaknya di sini saja, biar cepet.”
Tanpa menunggu persetujuan Kinanthi, Marwan kemudian menghampiri ruangan tempat Doel dan petugas KBRI berbicara. Letaknya sekitar sepuluh puluh sampai dua puluh meter dari tempat Kinanthi duduk. Di ujung lorong. Tak berapa lama, Doel keluar dari ruangan. Di depan pintu, laki-laki itu berbicara dengan Doel. Tampak akrab sekali. Marwan membungkukkan badannya beberapa kali. Doel melambaikan tangannya ke arah Kinanthi. Kinanthi membalas lambaian itu sambil tersenyum.
Laki-laki beruban selang-seling itu kemudian berjalan menuju tempat duduk Kinanthi, sementara Doel kembali masuk ke ruangan petugas. ”Sudah saya pamitkan. Kata Pak Doel boleh saja, asal tidak lama-lama. Nanti Pak Doel menunggu di sini,” ujarnya kepada Kinanthi begitu sampai di hadapan gadis itu.
ADVERTISEMENT
”Benar begitu, Pak?”
”Pak Doel kenal baik dengan saya. Makanya dia minta tolong saya untuk mencari bantuan buat Mbak. Mbak Kinanthi jangan curiga sama saya. Masih banyak orang baik di tempat ini.”
Kinanthi mengangguk meski tetap masih ragu. Dia lalu bangkit mengikuti langkah Marwan. Keduanya berjalan dengan langkah agak memacu keluar dari KBRI. Marwan mengajak Kinanthi menyeberang jalan lalu menghampiri sebuah pertigaan yang di situ sudah terparkir mobil van warna hitam, mesinnya sudah dihidupkan.
”Pak Marwan sudah lama tinggal di sini?”
“Lima tahun,” jawab Marwan pendek. Tidak seramah sebelumnya. Kinanthi mengira hal itu karena cuaca. Suasana terik memang membuat orang enggan banyak bicara. Namun, perkiraan itu terlalu lugu rupanya. Ketika hendak membelok jalan, pintu tengah mobil van itu terbuka mendadak. Dua orang laki-laki; wajahnya sama-sama Indonesia. Kinanthi tidak memiliki cukup waktu untuk memahami apa yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Dia hanya sempat meronta sedikit, karena kekuatan dua laki-laki asing itu jauh melebihi yang dia miliki. Sekejap, Kinanthi sudah dipaksa duduk di dalam van yang langsung bergerak dengan kecepatan tinggi. Marwan membanting pintu dari dalam. Dia duduk di samping pengemudi. Kinanthi duduk diapit dua lelaki yang terus memeganginya. Salah seorang di antara keduanya lalu membekapnya dengan kapas basah beraroma khas. Aroma yang membuat bumi berputar bagi Kinanthi. Sesaat sebelum dia kehilangan kesadaran.
***