Konten dari Pengguna

Ajuj & Kinanthi (Episode 28)

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
24 Agustus 2018 15:34 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Suatu saat, mencintai adalah memutar hari tanpa seseorang yang engkau sayangi. Sebab, dengan atau tanpa seseorang yang engkau kasihi, hidup harus tetap dijalani."
Ajuj & Kinanthi (Episode 28)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Wajah lain Kuwait
"Kamu pasti akan cepat mendapatkan majikan baru." Kinanthi mendiamkan saja komentar perempuan berkulit gelap di sampingnya. Sejak tadi dia terus saja banyak bicara meskipun Kinanthi tidak memedulikannya.
"Di Kuwait, kalau kamu cantik, kamu akan banyak dicari sama calon
majikan. Hidup kamu akan enak," katanya lagi.
Kinanthi menatap tembok ruangan sempit itu. Ini lebih mirip sel penjara dibanding kamar penampungan. Perempuan yang dari tadi bicara saja itu orang Indonesia juga. Sepertinya dari daerah Indonesia Timur. Rambutnya keriting kecil-kecil.
Ada beberapa wanita lain di ruangan itu. Sebagian berwajah seperti orang India. Barangkali perempuan Bangladesh. Ada juga yang Melayu. Hanya ada dua perempuan dari Indonesia. Perempuan banyak bicara itu dan Kinanthi.
ADVERTISEMENT
Kinanthi sendiri sudah tidak yakin, apakah dia masih hidup atau sudah mati. Rentetan peristiwa sepanjang beberapa bulan ini menguras segala daya tahannya. Rasanya sudah menjadi orang gila. Gamis dan kerudung yang ia kenakan masih sama dengan yang ia pakai sejak kabur dari rumah Habdul Aziz. Entah itu terjadi kapan. Seminggu atau berapa lama? Kemampuan berhitung Kinanthi sudah menguap seiring tak pernah lagi otak cemerlangnya dipakai untuk berpikir.
Hal yang dia ingat setelah ditipu seseorang yang mengaku bernama Marwan itu, dia siuman di ruangan ini, dikelilingi perempuan-perempuan ini. Dari mulut perempuan banyak bicara itu, dia tahu, dirinya sudah dijual untuk entah kali ke berapa. Sekarang, dia berada di Kuwait. Itu tidak membuat perbedaan yang mencolok karena Kinanthi tidak pernah tahu apa perbedaan Riyadh, Jeddah, Makkah, dan Kuwait.
ADVERTISEMENT
Dia hanya tahu, di mana pun dia berada, dia masih terpenjara. Ketika terbangun di ruangan itu, dia lalu dipaksa oleh beberapa laki-laki untuk menjalani sesi pemotretan. Tak tahu untuk apa. Mungkin, syarat untuk dijual lagi. Ini semua mulai membuat Kinanthi benar-benar berpikir, sebentar lagi dia gila.
Satu hal yang dia syukuri hanyalah sebilah pisau pengupas buah
yang tidak berpindah tempat sejak dia meninggalkan rumah Habdul Aziz. Masih tetap berada di saku rahasia di ujung gamisnya. Membekaskan bilur-bilur merah pada kulit pergelangan kakinya. Pisau itu yang berkali-kali menyelamatkan Kinanthi dari usaha para laki-laki penyekap yang berhasrat mengganggunya. Bagi Kinanthi, saat ini, bunuh diri juga bukan sesuatu yang luar biasa. Toh, dia tidak meninggalkan seseorang yang akan menangisi kematiannya.
ADVERTISEMENT
Jika masih ada alasan mengapa bunuh diri sejauh ini hanya menjadi gertakannya semata, Kinanthi masih tak bisa lupa perbincangan kecilnya dengan Ajuj, entah berapa tahun lalu. Ketika Mbah Paijo, seorang renta yang rajin sekali bersembahyang di langgar, suatu subuh ditemukan menggantung di kamarnya sendiri. Lehernya dijerat tali rafia berlapis-lapis.
"Katamu orang bunuh diri itu masuk neraka, Juj?"
"Kata bapakku, hidup kita ini punya Allah, Thi. Ndak boleh orang mengakhiri hidupnya sendiri."
"Mbah Paijo itu rajin sembahyang. Masak masuk neraka?"
"Nanti ... aku tanya bapakku dulu, ya."
Beberapa hari setelah obrolan memusingkan itu, Ajuj mendatangi
Kinanthi dengan jawaban yang mantap. Kinanthi bisa membaca itu dari cara Ajuj tersenyum dan mengangkat dagunya.
ADVERTISEMENT
"Thi, aku sudah tahu jawabannya."
Kinanthi membinarkan matanya tanda antusias.
"Bapakku bercerita tentang kisah perampok yang sudah membunuh 99 orang dan masuk surga karena di akhir hidupnya dia taubat."
"Enak emen, sudah berbuat dosa banyak, kok, tetap masuk surga."
"Ya ndak begitu, Thi. Soal dosa tetap ada hitungannya. Tetapi, akhir hidup manusia itu yang menjadi penentu dia masuk neraka atau surga."
"Jadi, Mbah Paijo masuk neraka?"
Muka Ajuj seperti disiram lilin. Beku pucat. Menggeleng tak yakin.
"Aku lupa tanya bapakku dulu, Thi."
Sudah lama sekali ....
Kinanthi tersenyum sembari mengusap air mata. Dia mulai menghitung sendiri apa yang terjadi di sekujur usianya. Sudah lewat lima belas tahun. Dia sudah lupa kapan terakhir shalat dan berdoa kepada Gusti Allah. Dia sudah lupa kapan terakhir berbuat baik. Dia hanya ingat, sampai detik ini, bunuh diri adalah sesuatu yang akan selalu dia hindari.
ADVERTISEMENT
Mungkin bukan buat surga atau neraka. Namun, untuk kenangan kecilnya bersama Ajuj. Janji kecilnya untuk tidak pernah menyerah, sesakit apa pun hidup memperlakukan dirinya.
“Indonesia, ke luar ruangan!”
Kinanthi tidak bereaksi ketika namanya dipanggil. Perempuan banyak bicara di sampingnyalah yang ribut. Dia menggunakan ujung kerudung Kinanthi untuk mengeringkan pipi Kinanthi dari basah air mata. “Eh, itu pasti calon majikan kamu. Kamu harus kelihatan cantik. Kamu tidak boleh sedih,” kata perempuan itu sembari menyempurnakan kerudung Kinanthi yang mencang-menceng.
“Mungkin bukan saya,” Kinanthi sedikit mengelak, “bisa saja yang dimaksud itu mbak.”
Perempuan itu menggeleng. Senyumnya melebar sampai menongol deretan giginya yang kuning-kuning. “Mereka tidak pernah memanggilku Indonesia. Mereka memanggilku dengan sebutan yang sangat buruk.”
ADVERTISEMENT
Perempuan keriting kecil-kecil itu membuka buntalan kain. "Kamu makan shalaweet dulu. Biar segar badanmu. Majikanmu pasti suka." Perempuan itu mengansurkan roti berbentuk kerucut yang isinya daging ayam, bumbu, mayones, dan sayur hijau yang keras.
Aslinya, roti itu berbentuk bundar. Setelah dibentuk kerucut, shalaweet dipanggang dengan panas yang ditentukan. Makan siang di penampungan itu memang hanya terdiri dari satu shalaweet dan segelas air putih. Tidak cukup sekadar untuk mengganjal perut sekalipun. Kinanthi tidak menanggapi tawaran teman satu kamarnya.
“Ayo ... semangat!”
Bola mata Kinanthi bergerak. Dia menatap perempuan itu dengan sungguh-sungguh. Untuk kali pertama selama mereka terkurung dalam satu ruangan. Tadinya, Kinanthi mengira perempuan itu sudah lebih dulu gila dibanding dirinya. Namun, ketika melihat ada titik air di pojok matanya, Kinanthi merasa tersengat listrik.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba dia menghambur, memeluk perempuan itu sekuat tenaga. ”Mbak pasti bisa pulang. Pasti bisa pulang. Jangan menyerah.”
Perempuan itu meregangkan pelukan Kinanthi. Menatap wajahnya dengan sungguh-sungguh. Tangannya terulur, ujung jarinya menyeka air yang menetes dari sudut mata Kinanthi. Kepalanya menggeleng, ”Jangan sebut nama. Mengingat nama hanya akan membuat kenanganmu menjadi lebih menyakitkan.” Dia tersenyum. Senyum paling normal yang pernah dilihat Kinanthi. ”Ayo. Majikanmu sudah menunggu. Semoga beruntung.”
”Indonesia!”
Kinanthi terisak lagi. Perlahan, dia melepaskan pelukannya. Kali ini dia berusaha tersenyum, sebelum dia memantapkan diri ke luar dari ruangan itu. Mungkin untuk selamanya.
Seorang laki-laki; Kinanthi hafal benar wajah laki-laki ini---mendorong Kinanthi dengan kasar menuju lorong pengap menuju ruang utama rumah penampungan itu. Lelaki itulah yang berkali-kali membujuk Kinanthi untuk bersenang-senang. Sesuatu yang selalu bisa ia tepisi dengan pisau kecilnya.
ADVERTISEMENT
Mereka berjalan sebentar untuk sampai di ruang utama rumah terkutuk itu. Di sana sudah menunggu seorang laki-laki akhir 30-an tahun dan seorang perempuan. Barangkali istrinya. Sang perempuan menatap Kinanthi penuh selidik. Perempuan itu seperti layaknya perempuan Kuwait pada umumnya. Berkerudung lebar, berwajah Arab dengan hidung mancung dan kukuh. Bibir bergincu, mata bercelak hitam.
Untuk kali ini, entahlah, Kinanthi enggan menundukkan kepala. Dia balas menatap perempuan itu tanpa rasa jerih. Ditatap seperti itu, sang calon majikan mengernyitkan dahi. Dia berbicara beberapa kalimat kepada lelaki di sampingnya.
Kinanthi tak peduli. Dia memalingkan muka kemudian. Terjadi transaksi di depan mata Kinanthi. Sang calon majikan berbicara ini itu dengan lelaki pemilik agen tenaga kerja yang tampaknya tidak resmi ini. Kinanthi sudah maklum benar, dia terlanjur menjadi barang dagangan. Berpindah dari satu tangan ke tangan lain, sesuai permintaan.
ADVERTISEMENT
Proses transaksi selesai. Kinanthi mendapat tanda dari orang agen untuk mengikuti sepasang suami istri itu. Dia menurut. Sedan metalik menunggu mereka di luar rumah penampungan itu. Kinanthi disuruh duduk di belakang. Tidak ada penolakan. Kinanthi mengikuti perkembangan itu dengan hati yang sudah tidak lagi berdebar-debar. Baginya, hal seperti ini sudah biasa. Tidak ada lagi ketakutan yang menggigilkan badan. Lihat saja nanti. Hidup ini akan berjalan terus atau terhenti mati.
Perjalanan rombongan kecil itu tak lebih dari 30 menit. Kinanthi sempat terlelap sesaat. Tak sempat ia saksikan seperti apa wajah Kuwait yang pernah menjadi rebutan orang-orang tamak dunia itu. Begitu matanya terbuka, perjalanan sudah selesai.
Rumah berlantai tiga lagi. Sedan itu memasuki pintu gerbang yang tingginya tiga kali tinggi badan Kinanthi. Pakaian lusuh Kinanthi terlihat kontras dengan segala kemewahan yang menyambut Kinanthi sejak kali pertama menginjakkan kaki di rumah ke sekian yang ia kutuki.
ADVERTISEMENT
Namun, kali ini Kinanthi benar-benar tidak peduli. Dia melenggang tanpa beban. Tangannya menengadah, menjadi tempat mendarat serpihan oranye yang segera menutup telapak tangannya. Kedua majikan barunya berteriak-teriak. Mereka buru-buru masuk ke rumah. Menghindari hujan oranye.
Ketika disuruh masuk rumah besar itu, Kinanthi melangkah dengan biasa saja. Tidak takjub, tidak takut. Seperti ketika kulit arimu terbakar, engkau tak akan lagi merasakan kesakitan. Kulit ari kehidupan Kinanthi sudah mengelupas oleh banyak peristiwa. Dia sudah tidak lagi sanggup merasakan takut dan kekhawatiran.
”Kamu bersihkan badan kamu, dan langsung setrika baju-baju yang ada di situ. Saya ingin tahu hasil kerja kamu,” kata majikan perempuan Kinanthi sambil berlalu ke garasi setelah meletakkan bungkusan belanjaan di atas meja makan. Rupanya, sang suami cuma sebentar di rumah. Mengantarkan istrinya membawa pulang ”mainan baru” lalu pergi lagi untuk pekerjaan yang sebenarnya tidak harus dia lakukan. Semua orang Kuwait digaji tanpa harus bekerja. Diberi beasiswa sampai S2, dan terjamin hidup cukup seumur hidupnya.
ADVERTISEMENT
Kinanthi tercenung. Dia menyipitkan matanya, memandangi perempuan tak tahu diri yang memaksanya datang ke rumah ini kemudian menyuruhnya menyetrika timbunan pakaian tanpa memberi kesempatan kepadanya sekadar untuk duduk dan meminum segelas air putih.
Kinanthi tersenyum. Dia mulai kehilangan akal, tampaknya. Kinanthi justru mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan raksasa itu. Melihat perabotan serbamewah tetapi tidak berguna di seluruh sudut ruangan. Porselin China yang harga setiap satunya bisa untuk memberi makan TKW sepenampungan. Sepertinya mengasyikkan kalau bisa memalunya hingga pecah berantakan.
Di sampingnya ada harimau yang diawetkan. Sepertinya benar-benar harimau. Diwadahi kaca kotak seolah-olah masih hidup; menyeringai pamer dua taringnya yang sudah mati. Satu lagi benda tak berguna.
Lukisan-lukisan raksasa. Gambarnya acak-acakan. Tidak jelas apa maksudnya. Harganya pasti juga cukup untuk membayar seluruh hutang bapaknya Kinanthi. Jadi, hutang bapaknya Kinanthi yang tidak ada habisnya itu seharga dengan lukisan cakar ayam.
ADVERTISEMENT
Kinanthi tesenyum lagi. Pandangannya tertuju pada sepasang pedang panjang, seperti milik pemain anggar. Sudah berkarat sepertinya. Tidak sanggup lagi meski sekadar untuk mengiris bawang. Rumah mewah ini benar-benar dipenuhi barang-barang mahal tetapi tidak berguna.
”Hei! Apa yang kamu lakukan! Ayo cepat bekerja! Saya sudah mahal membeli kamu dari agen!
Kinanthi melirik sedikit ke arah majikan perempuannya. Lirikan yang semakin membuat perempuan Arab itu memelototkan matanya. ”Kamu sudah gila!”
Majikan perempuan itu terlihat marah betul. Dia lalu meraih alat pengepel berbatang panjang di dekat lemari. Dia memburu Kinanthi, tak sabar untuk mengempaskan batang besi itu ke tubuh perempuan yang hidupnya baru saja dia beli itu.
Kinanthi menghindari amukan majikannya dengan berlari mengitari meja di ruangan itu. Sesuatu yang membuat majikannya semakin kesetanan dan terus mengejar. Kinanthi menghampiri porselen China berukuran raksasa dan mencoba mengangkatnya. Ternyata berat. Majikan perempuannya menjerit tertahan. Tidak terbayangkan apa yang hendak dilakukan Kinanthi dengan barang mahal itu.
ADVERTISEMENT
Dia segera menghambur, memukulkan batang besi ke punggung Kinanthi. Kinanthi menjerit karena sakit. Namun, dia sudah telanjur gila. Maka, dia harus melanjutkan kegilaan itu. Dia menangkap batang besi itu sebelum dihajarkan ke tubuhnya untuk kesekian kali dengan tangan kiri. Selanjutnya, tangan satunya melayang, meninju muka majikan perempuannya, tepat kena jidatnya.
Rasanya puas melihat perempuan itu terjungkal, menimpa karpet empuk yang rupanya juga merupakan koleksi mahal tak berguna di ruangan itu. Majikan perempuan Kinanthi sontak berteriak-teriak minta tolong. Kinanthi berlari ke luar rumah. Seorang tenaga kemanan datang dari pos dekat gerbang. ”Sesuatu terjadi dengan Nyonya. Cepatlah tolong!” kata Kinanthi dalam Arab sekenanya.
Satpam itu langsung masuk rumah tanpa berpikir lagi. Kinanti berlari sekencangnya ke gerbang yang masih sedikit terbuka. Setelah mobil majikan laki-laki keluar, pintu itu belum sempat ditutup rapat. Kinanthi memanfaatkannya dengan baik. Berlari Kinanthi sekuat yang dia bisa. Menyeberang jalan, sebanyak-banyaknya berbelok, menyeberang jalan lagi. Berulang-ulang. Cara itu menurutnya bisa sedikit mengecoh siapa pun yang disuruh majikan pemarah itu memburunya.
ADVERTISEMENT
Kinanthi terus berlari sambil membayangkan anjing besar mengejarnya di belakang. Dia berhenti di pinggir jalan besar yang di atasnya mobil-mobil melaju dengan kecepatan gila-gilaan.
Dua bangkai mobil terserak di pinggir jalan. Di Kuwait, kecelakaan separah itu bisa terjadi di jalan begini luas. Orang-orang yang sudah memegang kemudi mobil berkendara seperti pemilik dunia. Mengebut seenaknya.
Namun, perempuan itu tidak punya pilihan. Dia harus menyeberang. Setelah berkali-kali menolah kanan dan kiri, dia berlari sekencangnya, menyeberang. Beberapa detik setelah dia mencapai pinggir jalan, sebuah truk melaju kesetanan di belakangnya. Kinanthi mengelus dada.
Gadis itu terus memacu kakinya yang mulai kelelahan. Dia melihat keramaian. Dipikirnya, kerumunan orang adalah peluang untuk melenyapkan diri.
***
ADVERTISEMENT