Konten dari Pengguna

Ajuj & Kinanthi (Episode 30)

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
24 Agustus 2018 16:00 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Suatu saat, mencintai adalah memutar hari tanpa seseorang yang engkau sayangi. Sebab, dengan atau tanpa seseorang yang engkau kasihi, hidup harus tetap dijalani."
ADVERTISEMENT
Pantai Shuwaikh, hari-hari terakhir.
Siang tadi Borte menjemput Kinanthi. Setelah mengiyakan tawaran untuk bekerja ke Amerika, Kinanthi menelepon Borte dan mengabarinya.
Borte merasa gembira sama kuatnya dengan rasa gelisah memikirkan perjalanan Kinanthi kemudian. Menjelang petang itu, berbarengan dengan suaminya dan beberapa orang Indonesia, Borte membawa Kinanthi untuk sedikit berekreasi. Langkah berani, mengingat Kinanthi belum memiliki kartu identitas. Sewaktu-waktu dia bisa diringkus polisi.
"Nekat sekali-kali tidak apa-apa," ujar Borte meyakinkan Kinanthi.
Pergi ke Pantai Shuwaikh sebenarnya merupakan agenda suami Borte dan teman-temannya. Para bapak gemar mengisi waktu libur mereka dengan kegiatan-kegiatan rekreasi, termasuk menjala ikan sesekali. Borte memutuskan mengajak Kinanthi untuk mengobrol lebih leluasa. Selain itu, untuk memberinya nasihat-nasihat sebelum berangkat ke Amerika, tentu saja. Rombongan kecil itu menyewa sebuah mobil untuk rekreasi kali ini. Hanya butuh lima belas menit, sampailah ke pantai tujuan.
ADVERTISEMENT
Para lelaki menurunkan perlengkapan satu-satu. Perahu karet dipompa. Jala disiapkan. Borte mengajak Kinanthi duduk-duduk di bebatuan.
"Kamu yakin dengan rencanamu, Kinanthi?"
Borte merapikan rambutnya yang diombang-ambing angin laut. Diselipkan ke belakang telinga.
"Iya, Mbak. Saya bingung kalau harus tetap tinggal di sini."
"Amerika itu asing sekali, lho."
Kinanthi mengusap kening. "Saya sudah berusaha cari kerja di sini, Mbak. Hasilnya selalu sama."
Semakin petang, orang-orang ramai berdatangan. Mobil-mobil di area parkir juga mulai berdesak-desakan.
"Umur kamu belum tujuh belas, kan?"
Kinanthi menggeleng.
Tangan Borte mengelus ubun-ubun Kinanthi yang dibungkus kerudung. "Kamu kuat sekali, Thi."
Kinanthi tidak menjawab. Dia melautkan pandangannya. Orang-orang mulai mengambangkan tubuh mereka di air.
Berkecipakan. Maghrib turun. Orang-orang shalat di pinggir pantai. Pakaian masih basah, plastik menjadi sajadah.
ADVERTISEMENT
Laki-laki perempuan sama saja. Mereka tidak berganti pakaian atau repot-repot mencari air tawar untuk berwudhu. Praktis sekali.
"Tetap kirim kabar kalau sudah di Amerika, ya, Thi."
"Pasti, Mbak."
Borte melambaikan tangannya ke laut. Suaminya memamerkan ikan besar di genggaman. Borte tertawa kecil ketika ikan licin itu lepas dari tangan suaminya dan kembali terjebak dalam jala.
Kinanthi memerhatikan sekelompok perempuan bercadar yang tak ragu turun ke laut. Mereka juga hendak berenang. Semakin gelap semakin aman bagi mereka rupanya.
"Jadi, kapan kamu berangkat, Thi?"
"Katanya beberapa hari ini, Mbak."
"Cepat sekali, ya?"
Kinanthi mengangguk lagi. Borte melanglangkan pandangannya ke pertemuan kaki langit dan garis laut. "Hati-hati."
Dua hari setelah hari menjala ikan itu, Kinanthi dijemput oleh sekeluarga yang tampaknya menyenangkan. Suami istri dan lima anak mereka yang masih kecil-kecil. Mereka, anak-anak itu, masih di bawah usia sepuluh tahun.
ADVERTISEMENT
Kinanthi terlebih dulu dibawa ke rumah keluarga itu di pinggiran kota. Rumahnya menyenangkan. Tidak terlalu beda dengan rumah-rumah mewah warga Kuwait lainnya. Hanya, di rumah majikan Kinanthi yang baru ini tidak terlalu banyak barang mewah tak berguna. Segalanya terasa lebih etnik karena melibatkan kayu dan segala macam bahan alami.
Berselang beberapa hari setelahnya, keluarga itu berangkat ke Amerika. Bagi Kinanthi, ke mana pun layak dicoba selain padang pasir panas dan para majikan ringan tangan.
***
Miami, sore yang seharusnya indah.
Tubuh Kinanti ambruk berdebam. Dia berusaha memegangi perut dan kening sekaligus. Perut; karena terasa sesak oleh sodokan tongkat baseball di tangan Azzam, majikan laki-lakinya. Kening, untuk luka mencucurkan darah segar akibat pukulan hak sepatu Layla: majikan perempuannya. Tangan yang memegang perut coba bergerak ke saku gamis rahasianya, namun terhenti seketika karena genggaman tangan Azzam mengunci pergelangan tangannya. Tangan Azzam yang lain bergerak cepat mengeluarkan pisau kecil dari saku gamis Kinanthi. "Ini pisaumu yang legendaris itu?"
ADVERTISEMENT
Kinanthi tak mengerti. Dia hanya salah menghidangkan kopi karena terlalu banyak gula, sore itu, dan pukulan bertubi-tubi menyarangi tubuh dan kepalanya. Kesalahan yang sama entengnya dengan alasan mengapa dua majikannya itu memukulinya beberapa hari terakhir. Kemarin karena lupa mematikan televisi, kemarin lusa karena air meluber di kamar mandi, kemarinnya lagi karena terlambat bangun. Kesalahan-kesalahan sepele yang harus dibayar dengan remuk redam sekujur tubuhnya.
Hari ini paling parah. Sambil menahan sakit, Kinanthi menguatkan diri untuk bangkit. Paling tidak duduk dan menggeser tubuhnya agar bisa menyender ke tembok apartemen mahal itu.
"Hanya segitu saja kemampuanmu, perempuan liar?" Layla melempar sepatu hak tingginya. Reflek, Kinanthi melindungi wajahnya. Sepatu itu membentur dada Kinanthi. Meringis lagi Kinanthi. Benaknya masih tidak mengerti.
ADVERTISEMENT
"Saya salah apa, Tuan? Nyonya?"
Layla berkacak pinggang, "Salahmu adalah lahir ke dunia!"
Teriakan Layla mengingatkan Kinanthi kepada seseorang. Entah siapa. Siapa?
"Biar kamu tidak penasaran," lanjut Layla. Suaminya sudah menyingkir dari ruang makan itu. Tinggal lima bocah: tiga laki-laki, sisanya perempuan, menyaksikan adegan itu dengan ekspresi wajah dikejam-kejamkan.
"Pukulan itu untuk membalas pukulanmu di muka kakakku: Zazkia."
Ingatan Kinanthi seketika kembali ke rumah mewah dengan barang-barang mahal tetapi tidak berguna itu. Layla kalap lagi. Dia memungut apel washington di meja makan lalu melemparkannya kencang ke kepala
Kinanthi. "Kamu kira enak dipukul seperti itu? Ini titipan dari Zazkia. Biar kamu rasa!"
Seolah-olah, Layla ingin menghabiskan semua barang di atas meja untuk menghajar Kinanthi. Pertahanan gadis itu memang sudah habis.
ADVERTISEMENT
Seketika pening kepalanya terasa sangat menggigit. Sakit di lambung pun begitu mencekat. Dia ambruk, bertepatan dengan botol air mineral penuh air yang dilempar Layla mengenai dadanya.
Kinanthi siuman dengan mulut geragapan. Dia masih menggeletak di lantai dapur dengan sekujur tubuh basah kuyup. Layla berdiri dengan ember di tangannya. Kinanthi langsung tahu sesuatu yang baru saja menimpanya. Nyeri di kening dan perutnya masih terasa. Seperti diremas-remas lambungnya.
"Jangan pura-pura! Cepat bersihkan rumah. Kami mau pergi belanja.
Awasi anak-anak. Kalau terjadi apa-apa dengan mereka, awas kamu."
Sampai langkah kaki dua majikannya menjauh, Kinanthi masih belum sadar betul apa yang terjadi. Dia hanya paham, hidupnya akan berkali lipat lebih sulit dibanding sebelumnya. Ini Amerika. Negara asing yang dia tidak mengenal siapa-siapa. Di Kuwait atau negara Arab lain, dia masih cukup mudah bisa mencari sesama orang Indonesia. Di sini? Tidak ada harapan.
ADVERTISEMENT
Kinanthi menunda pikiran-pikiran itu. Dia berusaha bangkit dan mulai memilah apa dulu yang harus dia lakukan untuk membuat dapur itu terlihat seperti sebelum ada keributan ini. Sambil memunguti barang-barang di lantai, Kinanthi mengutuki diri sendiri. Dia telah masuk perangkap. Suami istri gila itu sudah mengincarnya sejak lama.
Membawa Kinanthi ke Amerika jelas bagian dari rencana. Di Kuwait,
Kinanthi masih hafal bagaimana mencari perlindungan. Di sini, di tanah Paman Sam, dia tidak tahu apa-apa. Kinanthi teringat hari-hari pertama di Amerika yang biasa-biasa saja. Keluarga ini sungguh aktor-aktor yang baik. Mereka bisa bersikap sebagai majikan menyenangkan satu minggu penuh.
Pekan kedua ini baru mereka membuka topengnya. Memberi tahu Kinanthi siapa mereka sebenarnya. Kinanthi merasakan perutnya sakit bukan main. Sodokan tongkat baseball ke perut tentu membuat kerusakan pada organ dalam. Sakitnya tak mampu lagi Kinanthi tahan.
ADVERTISEMENT
Dia mulai terisak meskipun tidak menghentikan kerjanya sama sekali.
Dapur itu akhirnya bisa dia buat cukup bersih berbarengan dengan suara ribut di ruang keluarga. Kinanthi berjalan dengan tangan merambati dinding. Benar-benar butuh penyangga supaya tidak terpelanting ke lantai. Apa yang Kinanthi lihat di ruang tengah seketika membuat seluruh badannya lungkrah.
Lima anak majikannya sudah mengubah ruangan itu menjadi kapal karam. Makanan menumpahi karpet, sofa, dan lantai. Dua anak menangis karena terjatuh dari kursi, dua anak berkelahi berebut remote televisi, satu anak lagi masih asyik mengacak-acak buku-buku bapaknya.
"Orangtua kalian akan sangat marah."
Tidak ada yang mendengar. Sempoyongan, Kinanthi menghampiri anak paling besar yang sedang mengacak-acak buku.
"Husein. Itu buku-buku kuliah ayahmu. Dia akan sangat marah."
ADVERTISEMENT
Bukan memberi jawaban yang menyenangkan, Husein, anak sembilan tahun itu, malah menyeringai sambil melemparkan buku tebal di tangannya ke arah Kinanthi, tepat di kepalanya. Kinanthi ambruk seketika.
Dia berusaha menahan amarah. Jika tidak memikirkan akibatnya, bisa saja dia mengambil tongkat baseball dan membunuh semua anak bertingkah setan itu dalam satu jam.
Namun, dia tahu, akibat dari perbuatan itu sungguh tidak terbayangkan. Sedangkan, luka lecet satu anak yang tidak disebabkan langsung olehnya saja, Kinanthi bisa digebuki oleh Layla dan suaminya.
Karena itu, Kinanthi mencoba mempertahankan kesabarannya.
Dia lalu mendekati Aisya, si bungsu yang menangis karena jatuh dari kursi. Dia berusaha menggendongnya. Entah bagaimana pasangan itu mengajari anak-anaknya. Aisya yang baru lima tahun itu begitu fasih menggunakan jemarinya yang berkuku panjang untuk mencakari muka Kinanthi yang berusaha mendiamkan tangisnya.
ADVERTISEMENT
Sambil menjerit kesakitan, Kinanthi menurunkan Aisya dari gendongannya. Dia berdiri limbung dengan air mata mengair bah. Bingung harus melakukan apa. Pada saat yang sempurna itu, pintu apartemen terbuka. Azzam dan Layla masuk dan langsung histeris.
"Apa-apaan ini?!"
Kinanthi sudah pasrah. Dia tinggal bersiap-siap saja kejadian siksaan yang lebih buruk akan menimpanya. Layla menghampirinya dan langsung menyeret kerudungnya. Begitu kerudung itu tanggal, Layla menjambak rambut Kinanthi tanpa ampun.
"Sini kamu!"
Azzam yang masuk kemudian lebih dulu mengamankan buku-bukunya.
Anak-anak mereka seketika manjadi penurut begitu ayahnya turun tangan. Kelima-limanya duduk manis di sofa sementara ayahnya mengembalikan setiap buku ke tempatnya semula. Lelaki itu menyumpah-nyumpah. Tidak ada orang lain yang ia salahkan selain Kinanthi.
ADVERTISEMENT
"Kamu belum tahu rasanya disetrika?"
"Saya akan melawan sampai mati jika Nyonya hendak melakukannya."
"Apa!" Gerakan Layla terhenti sejenak. Tidak menyangka Kinanthi akan menentang kalimatnya. "Kamu bilang apa?"
"Saya Muslim, Nyonya Muslim. Anda manusia, saya juga. Mengapa begini tega?"
Tangan Layla segera menghajar pipi Kinanthi. "Jangan membuat persamaan antara kita. Saya majikan, kamu pembantu!" Setelah berteriak begitu, tanpa melepaskan jambakannya, Layla memasang kabel setrika.
"Saya peringatkan, Nyonya. Saya akan melawan sampai mati."
"Coba saja," jawab Layla santai.
Pada saat detik terakhir Layla hendak menggenggam batang setrika, bersamaan dengan kebulatan tekad Kinanthi untuk melawan, bel pintu berbunyi. Keributan di depan pintu apartemen terdengar kemudian.
Layla mengurungkan niatnya. Tampaknya, dia sudah tahu siapa orang yang membunyikan bel. "Sementara kamu selamat. Tapi, jangan senang dulu. Saya akan membuat kamu menyesal karena menantang majikan."
ADVERTISEMENT
Kinanthi bernapas lega karena tidak harus melakukan perlawanan mati-matian hari ini. Dia menyelinap ke "kamar"-nya di samping dapur karena ketika majikannya menerima tamu, itulah yang akan diperintahkan kepadanya. Berdiam diri di kamar dan haram memperlihatkan diri kepada orang-orang.
"Kinanthi!"
Kinanthi tidak cukup punya waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya. Dia segera meraih kerudung hitamnya yang lain ketika namanya dipanggil berkali-kali oleh majikannya. Kali ini, nada panggilan itu cukup bersahabat. Artinya, tamu atau siapa pun orang yang tadi berkunjung masih berada di ruang depan.
"Kinanthi, sini. Ini Tuan Ali, adik suami saya. Mereka akan tinggal di apartemen sebelah."
Kinanthi mengangguk dalam ketertundukannya. Tentu haram baginya mengangkat muka kepada lawan jenis, terlebih yang derajatnya dianggap lebih di atasnya.
ADVERTISEMENT
"Sementara ini, Tuan Ali belum punya pembantu. Jadi, kamu bantu membersihkan apartemen mereka. Juga menjaga anak-anak mereka.
Anak-anak lucu ini nanti akan sering bermain dengan anak-anak saya." Kinanthi mengelap keringat di keningnya. Pertanda buruk lainnya telah datang. Lima anak majikannya pun sudah membuat hidupnya begitu susah ditata. Sekarang, ditambah para sepupunya, tak terbayang bagaimana susahnya.
"Sekarang kamu ikut Nyonya Humaira, istri Tuan Ali, ke apartemen mereka. Kerja yang baik, ya."
Kinanthi mengangguk lagi. Dia lantas mengambil peralatan dasar pembersihan ruangan. Semacam pertolongan pertama pada apartemen kosong yang hendak ditempati.
Seperti dugaan Kinanthi sebelumnya. Apartemen yang akan ditempati keluarga Ali itu luasnya sama dengan milik kakaknya: Azzam. Masih kosong melompong. Dia mulai melakukan tugasnya sembari sesekali melirik keasyikan dua keluarga itu bersenda gurau. Para orangtua mengobrol serius tentang desain ruangan, anak-anak berlarian ke sana ke sini.
ADVERTISEMENT
Kinanthi mulai menghitung jumlah anak-anak baru yang dia yakin memiliki kemampuan sama untuk merepotkan hidupnya dibanding lima anak majikannya. Satu ... tiga ... lima. Sempurna. Kakak adik yang kompak dalam banyak hal, termasuk berapa mereka ingin memiliki anak.
Sekarang, Kinanthi tinggal mengalikan kerepotan yang akan dijalaninya dengan jumlah anak pasangan Ali dan Humairah. Kinanthi membatin, hidupnya akan segera berakhir dengan memilukan.
Dua lengan Kinanthi cukup repot membawa keresek besar dengan barang-barang belanjaan memenuhi kedua tas belanjaan tersebut. Tidak seperti kemarin-kemarin, Layla menyuruh Kinanthi berangkat sendiri ke supermarket dekat apartemen tanpa pengawasan dia atau suaminya.
Suami istri itu tadi pagi keluar apartemen membawa kelima anaknya. Mungkin jalan-jalan. Menghabiskan waktu minggu pagi dengan menghamburkan uang mereka ke pusat-pusat hiburan.
ADVERTISEMENT
Namun, Kinanthi cukup curiga dengan daftar belanjaan yang ditulis majikannya pagi ini. Panjang dan macam-macam. Seolah-olah, keluarga itu hendak mengadakan pesta kecil di rumahnya. Acara makan-makan yang mengundang beberapa kenalan. Ke luar apartemen tanpa pengawasan tentu saja hal yang menyenangkan bagi Kinanthi. Gerak-geriknya bebas tanpa pandangan curiga. Wajahnya bisa terangkat merdeka. Berbeda jika dia keluar rumah bersama dua majikannya. Kepalanya lebih banyak menunduk seolah memberi tahu semua orang bahwa dia bukan bagian dari keluarga itu.
Dia adalah pelengkap rumah yang tugasnya mengoperasikan segala peralatan rumah tangga sebagai sebuah kutukan. Jika orang Arab itu menyewa tenaga bule untuk mengerjakan berbagai macam-macam pekerjaan di apartemen mereka, niscaya biaya yang harus mereka keluarkan sepuluh kali lipat dari yang dijanjikan kepada Kinanthi.
ADVERTISEMENT
Dijanjikan. Sebab, dengan perkembangan hari-hari terakhir yang terus memburuk, Kinanthi tak yakin dia akan menerima gaji. Melengkapi rekor pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga yang belum pernah menerima hak sebagai pekerja yang setiap hari memeras tenaga.
Kinanti keluar dari lift di lantai lima, lokasi apartemen majikannya. Dia tertatih menempuh lorong menuju pintu apartemen itu. Beberapa kali dia berpapasan dengan penghuni apartemen lainnya. Para tetangga yang tidak dikenalnya. Seorang lelaki berdasi dengan wajah hispanik yang kental. Dia menatap kerudung Kinanthi, bukan wajahnya. Jadi, dia menilai kerudung Kinanthi, bukan siapa dirinya. Pandangannya menyelidik.
Barangkali dia berpikir, dua keresek di tangan kanan dan kiri Kinanthi disisipi bom berdaya ledak tinggi. Entahlah.
Sampai juga akhirnya. Kinanthi memencet bel. Pintu dibuka sedikit, masih tertahan oleh rantai berwarna emas.
ADVERTISEMENT
"Kinanthi." Wajah Layla tampak separuh. "Masuk," katanya ramah,"ada tamu istimewa untuk kamu."
Tamu istimewa? Benak Kinanthi bertanya-tanya. Entah mengapa, setiap nada bicara dan ekspresi wajah majikannya tampak simpatik, Kinanthi justru mencium aroma bahaya, kejadian yang tidak menyenangkan.
Sambil mengangguk pelan, Kinanthi lalu masuk dengan kehatihatian. Takut-takut dia mencari tahu ke ruang tamu, siapa seseorang yang disebut "tamu istimewa" oleh majikannya.
"Oooo, Kinanthi. Apa kabar?"
Berhenti detak jantung seketika. Kinanthi merasa itu benar-benar terjadi pada dirinya atau paling tidak akan menimpanya dalam waktu beberapa detik ke depan. Mati aku. Perempuan yang sekilas dia kenal namun wajahnya membekas selamanya di benak Kinanthi berdiri dengan senyum yang dibuat-buat. Zazkia!
"Kenapa? Kamu tampak gemetaran, Kinanthi. Tidak usah takut.
ADVERTISEMENT
Bereskan dulu barang belanjaanmu. Saya juga masih jetlag. Simpan dulu rasa takutmu." Zazkia duduk lagi di sofa seperti tidak terjadi apa-apa. Dia melanjutkan obrolan dengan suaminya sembari menyeruput minuman dari gelas kristal di tangannya. Layla bergabung dengan kakak dan suaminya.
Kinanthi masih gemetaran. Dia sungguh sudah menghitung kejadian buruk apa yang akan dia alami. Dia kemudian berlalu ke dapur, mengeluarkan satu per satu bahan belanjaan sembari mengira-ngira, kapan Zazkia memulai balas dendamnya.
Sepanjang hari itu, justru tidak terjadi apa-apa. Layla sesekali masuk ke dapur, memberi pengarahan kepada Kinanthi, apa-apa yang harus diolah untuk makan siang para majikan. Saat menu makan siang terhidang: segala yang berhubungan dengan kambing dan macam-macam daging, Kinanthi masih belum menemukan tanda-tanda Zazkia hendak melancarkan balas dendamnya. Malah dengan santai, Zazkia memuji masakan hasil olahan Kinanthi berkali-kali. Namun, tetap saja Kinanthi merasa semua berjalan dengan tidak wajar. Dia cepat-cepat kembali ke dapur, duduk di pojok ruangan, dan menunggu namanya dipanggil untuk melakukan ini itu yang diinginkan majikan. Bunyi sendok garpu beradu, candaan dua keluarga dan celoteh lima anak Layla yang tiba-tiba bersikap manis dan menggemaskan tumpang tindih atau bersahut-sahutan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, di dapur, Kinanthi memainkan ujung kerudungnya untuk mengurangi rasa tegang. Bibirnya bergetar, keringat mulai berlompatan. Dia sadar benar, keluarga ini memiliki cara meneror yang canggih dan efektif. Seperti sekarang, mereka membiarkan Kinanthi menakut-nakuti diri sendiri sementara mereka justru bersenda gurau dan tertawa-tawa.
Acara mengisi perut selesai. Dua orang tamu dari Kuwait itu dipersilakan untuk tidur siang. Mungkin akan sedikit berjejal. Apartemen itu hanya memiliki dua kamar utama. Ruang yang dipakai untuk kamar oleh
Kinanthi hanyalah sebidang lantai yang dikepung lemari dan difungsikan sebagai tempat tidur di samping dapur.
Pembagian ruangan sudah disiapkan sebelumnya. Pasangan Ali dan Layla bersama semua anaknya menempati satu kamar. Zazkia dan suaminya menempati satu kamar sisanya.
ADVERTISEMENT
Kinanthi membereskan sisa-sisa santap siang itu sendirian.
Perlahan-lahan karena jika ada keributan sedikit dan para majikan terbangun, itu dihitung sebagai kesalahan besar. Piring-piring dicuci, gelas-gelas kembali ke raknya, noda lemak di atas lantai dibersihkan. Selesai mengerjakan semuanya, Kinanthi kembali ke dapur. Duduk di pojok ruangan, menunggu namanya dipanggil. Tidak boleh tidur. Itu kesalahan besar.
Menjelang petang, suara Layla mulai melengking-lengking, memanggil nama Kinanthi. Siap-siap memasak menu makan malam. Seolah-olah, tidak ada hal yang terpikirkan oleh perempuan itu kecuali makan. Kesibukan di dapur mulai memanas. Dua tamu agung sudah bangun. Mereka mulai membincangkan objek jalan-jalan di sekitar apartemen dan beberapa yang agak jauh dari lokasi itu.
Kinanthi berdoa dalam hati supaya mereka benar-benar pergi. Namun, doa itu tidak pernah sampai ke langit, barangkali. Sekumpulan manusia pemakan daging itu tidak beranjak dari apartemen sampai larut malam. Kinanthi menghitung pergantian jam dengan hati berdebar-debar.
ADVERTISEMENT
Jadi, jam berapa mereka akan memulai balas dendamnya?
Lepas tengah malam tidak ada apa-apa. Kinanthi terkantuk-kantuk di kursi dapur. Meletakkan kepala di meja pun tidak berani. Khawatir jika sekonyong-konyong namanya dipanggil. Beberapa kali kepalanya membentur dinding. Setiap itu terjadi, dia terjaga sesaat sebelum terkantuk-kantuk kembali.
Menjelang pagi, mata Kinanthi membuka tutup dengan perlahan. Berusaha tetap terjaga, tetapi rupanya dia masih manusia. Ketika itulah samar-samar sesosok dengan senyum tersungging dia lihat berdiri di depannya. Samar ... semakin jelas dan terang. Zazkia!
Gelagapan, Kinanthi mengucek matanya dan memaksa kesadarannya seratus persen terjaga. "E ... ada apa, Nyonya?"
Zazkia yang pagi itu melepas kerudungnya, mengangkat bahu tanpa menanggalkan senyumnya. Rambut ikal kemerahan menjuntai ke pundak.
ADVERTISEMENT
Matanya bercelak, bibirnya bergincu.
Zazkia menyidekapkan tangan sembari menyenderkan bahu kanannya ke dinding dapur. "Kamu tahu? Saya butuh satu bulan berobat jalan akibat tangan kotormu itu meninju kepalaku."
Rupanya ini saatnya. Kinanthi berupaya menegarkan hati, namun tak mampu ia pungkiri, rasa waswas memompa jantungnya.
"Kamu tahu, sejak itu aku bersumpah, ke mana pun kamu lari, aku akan menemukanmu dan membalas perbuatanmu dengan balasan berkali lipat."
Kinanthi menelan ludah. Kepalanya tertunduk lemah.
"Kamu cukup licin. Tetapi, kamu belum tahu siapa perempuan yang sedang kamu hadapi. Di Kuwait kamu bisa selamat, tetapi tidak di sini."
Zazkia menghamburi Kinanthi, mencopot paksa kerudungnya dan mulai menjambaki rambutnya. Kinanthi menjerit-jerit sambil berusaha meloloskan diri. Kali ini dia tidak berani melakukan pembalasan.
ADVERTISEMENT
Dia hanya menjerit-jerit sambil berharap Zazkia merasa puas dan menghentikan aksinya. Tetapi tidak. Zazkia menunggu berbulan-bulanuntuk melampiaskan dendamnya. Dia menikmati jeritan Kinanthi dan bernafsu untuk melipatgandakannya. Kuku-kuku tangannya mencakari wajah Kinanthi kemudian mencekik lehernya dengan sekuat tenaga.
Kinanthi memegangi pergelangan tangan Zazkia, berusaha mengendurkan cekikan itu. Tetapi, rupanya Zazkia telah kemasukan setan atau sebaliknya. Dia menjerit histeris dan terus berusaha menghabisi napas Kinanthi dengan segera.
"Zazkia!"
Suami Zazkia yang entah siapa namanya melerai kemarahan istrinya.
Dia menarik tubuh Zazkia dari belakang. Menanggulangi rontaan Zazkia yang semakin menjadi. Kinanthi mundur ke tembok, memegangi lehernya yang nyeri. Rambutnya kusut masai.
"Biarkan! Lepaskan! Biar saya bunuh dia!"
Zazkia masih saja berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya.
ADVERTISEMENT
Matanya memerah, melotot, urat lehernya tegang, wajahnya mengejang.
"Ssssst .... Itu akan mendatangkan masalah bagimu, Zazkia. Tenanglah dulu. Dia tidak akan ke mana-mana."
Kinanthi memerhatikan perdebatan suami istri itu dengan napas memburu.
"Layla ... tenangkanlah kakakmu dulu."
Layla yang baru saja keluar dari kamar karena terbangun oleh suara keributan mengiyakan permintaan kakak iparnya. Dia memapah Zazkia ke dalam kamar.
Suami Zazkia menatap Kinanthi dengan tatapan meruncing. Dia menghampiri gadis itu lalu mencengkeramkan tangan kokohnya ke rahang Kinanthi. "Ini baru permulaan. Kamu harus tahu itu!"
Kinanthi tidak berkata-kata lagi. Dia tergagap-gagap dengan kedua mata yang berkunang-kunang dan berair. Suami Zazkia
meninggalkan Kinanthi dalam keadaan seperti itu. Tubuh Kinanthi luruh. Batinnya, matanya, ruhnya, dan seluruh
ADVERTISEMENT
jiwanya menangis pada saat bersamaan. Dia tahu, keluarga ini sedang merancang sebuah skenario untuk membunuhnya perlahan-lahan. Benar janji suami Zazkia. Hari itu adalah permulaan. Setelahnya, setiap jam dalam sehari semalam, Kinanthi dihadiahi siksaan yang oleh majikannya diganti nama menjadi "pelajaran". Memang, hanya pelajaran yang diulang-ulang.
Tulang belulang Kinanthi mulai terbiasa dengan pukulan dan tendangan. Wajahnya berbilur-bilur oleh cakaran dan tamparan. Untuk bagian ini menjadi spesialisasi Layla dan Zazkia. Lima anak Layla ditambah lima anak Ali dan Humaira juga menyumbang kecil-kecilan. Mereka mulai belajar melempar sepatu dengan benar. Benar-benar mengenai tubuh
Kinanthi dan meninggalkan memar. Ali dan Humaira cenderung tidak ikut campur. Mereka tahu Kinanthi menjadi pengganti samsak untuk latihan fisik keluarga itu, tetapi mereka tidak ikut campur. Tidak ikut campur tetapi diam saja.
ADVERTISEMENT
Azzam dan Layla pasangan yang sungguh kreatif. Segala macam benda yang ada di apartemen itu bisa dijadikan alat olahraga sempurna.
Dilempar, dipukulkan, atau "sekadar" ditimpakan ke tubuh Kinanthi.
Sepekan berlalu, Kinanthi telah menjadi setengah mayat setengah manusia. Jalannya sempoyongan, pandangannya nanar, harapan hidupnya menggantung di awan. Dia tinggal berjarak sedikit lagi dari bunuh diri. Ingatan tentang Ajuj sudah tidak menolong sama sekali.
Siang itu, ketika suasana begitu lengang, Kinanthi memandangi lanskap di luar apartemen dari jendela kaca di seberang dapur. Dia memang hanya bisa berlama-lama di seputaran kanan kiri dapur. Orang-orang sedang tidur siang. Memang itu yang mereka lakukan setiap perut terisi kenyang.
Kinanthi mulai berpikir bagaimana caranya menghancurkan jendela kaca itu dan terjun dari ketinggian itu. Tidak usah dipikirkan apa akibatnya. Mati tidak akan mengubah apa pun. Toh, Kinanthi merasa hidupnya tidak cukup ditukar dengan surga.
ADVERTISEMENT
"Mau kabur? Jangan pernah berpikir kamu sanggup melakukannya."
Kinanthi menoleh dengan gemetaran. Tanpa menoleh pun tubuhnya memang gemetaran. Karena berbagai "pelajaran", juga oleh kelaparan.
Di belakangnya, Azzam berdiri bersandar dinding. Pandangan matanya menyilet. Dia menghampiri Kinanthi dengan langkah terhuyung.
Sekali tangkap, pergelangan tangan Kinanthi terkunci mati. Azzam menyeret Kinanthi yang lunglai menuju kamar perempuan yang merasa kelahirannya sebagai sebuah kutukan itu. Bukan kamar dalam arti sebenarnya, melainkan sebidang lantai yang dikepung lemari dan beberapa perabotan.
***