Konten dari Pengguna

Ajuj & Kinanthi (episode 7)

Tasaro Gk  Penulis Novel
Juru Cerita, penulis novel tetralogi Muhammad saw., pengajar jurnalistik, guru PAUD.
24 Juli 2018 0:19 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ajuj & Kinanthi (episode 7)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
"Suatu saat, mencintai adalah memutar hari tanpa seseorang yang engkau sayangi. Sebab, dengan atau tanpa seseorang yang engkau kasihi, hidup harus tetap dijalani."
ADVERTISEMENT
***
Di langit bulan setengah
”Pak...”
Kinanthi menghampiri bapaknya yang mengaso di depan rumah. Duduk berselonjor kaki di dipan bambu di teras berlantai tanah itu. Ketika Ajuj masih suka datang ke rumah Kinanthi, dia kerap mengajak Kinanthi memancing undur-undur di teras rumah itu. Di pojok-pojok rumah, tanah lembut kecokelatan. Di situ tempat kesukaan undur-undur meliangi tanah membuat rumah. Bentuknya seperti kawah, bundar sempurna, licin, semakin ke bawah semakin mengerucut, seperti tumpeng terbalik.
Cara memancing undur-undur yang istimewa. Menggunakan lidi runcing, Ajuj memutar-mutar ujungnya di pusat sarang sampai muncul undur-undur berperut montok dan berjalan mundur itu. Jika sudah punya satu undur-undur, memancing teman-temannya menjadi lebih mudah.
ADVERTISEMENT
Ajuj meminta Kinanthi mencabut sehelai rambut panjangnya, dijadikan tali. Ujungnya diikatkan ke perut undur-undur. Setelah diikat, undur-undur malang itu kemudian dijadikan umpan. Dia dimasukkan ke liang temannya, satu per satu. Begitu mendarat ke tanah, biasanya undur-undur tidak diam lama. Ujung perutnya langsung menusuk-nusuk ke tanah. Seluruh badannya sampai kepala segera tenggelam ke tanah.
Sudah begitu, Ajuj lalu menarik helai rambut itu. Selain undur-undur umpan yang menggantung, undur-undur penghuni sarang pun ikut tertarik keluar. Bergelantungan. Puas hati jadinya. ”Undur-undur bisa buat obat mujarab, Thi,” kata Ajuj suatu kali. Kinanthi tidak terlalu memikirkan benar tidaknya omongan Ajuj. Dia menikmati saja.
”Ono opo, Nduk? Ada apa? Sini duduk sama Bapak.”
ADVERTISEMENT
Mangun, bapaknya Kinanthi, mengubah cara duduknya. Tidak lagi berselonjor, supaya Kinanthi bisa bergabung dengannya, bersantai di dipan bambu itu. Mangun meraih cangkir berkopi pahit dari meja bambu di sampingnya. Menyeruputnya nikmat.
”Kenapa?” Tangan Mangun terangkat, membelai rambut panjang Kinanthi dengan sayang. Perlahan dan khidmat. Suaranya agak serak. Seperti juga perilaku laki-laki itu yang cenderung melankolis. Tidak pernah emosional. Tidak pernah marah-marah. Banyak tersenyum, dengan mata seperti cermin.
Kinanthi ragu-ragu. Kepalanya menunduk. ”Bu Guru minta murid sekolah beli buku tulis tebal,” kalimat Kinanthi tertahan, ” dua, Pak.”
Mangun menghentikan belaiannya. ”Harganya berapa, Nduk?”
”Satunya dua ratus lima puluh.”
”Kalau dua berarti sama dengan uang sekolahmu sebulan?”
ADVERTISEMENT
Kinanthi mengangguk. Dia mengerti, jumlah itu besar bagi bapaknya. Iuran bulanan saja sudah enam bulan tidak terbayar. Ditambah dua buku tebal itu, tentu pusing bapaknya mencari cara untuk melunasinya.
”Ndak apa-apa. Itu urusan Bapak. Nanti Bapak yang menghadap Bu Guru.”
Mangun tersenyum, mendamaikan kisruh hati anak perempuannya.
Berhasil. Kinanthi tampak lebih tenang. Wajahnya kemudian terangkat perlahan. ”Pak....”
Mangun memiringkan kepala, memberi pesan kepada Kinanthi bahwa dia siap mendengarkan omongan apa pun dari bibir anaknya. ”Ada apa lagi, cah ayu?”
”Perempuan baulawean itu apa, to, Pak?”
Air muka Mangun berubah. Sedikit keruh. Namun, dia tersenyum lagi. ”Kamu dengar dari siapa, Nduk?”
”Yu Sumikem. Katanya, simbok perempuan baulawean.”
ADVERTISEMENT
Mangun mengempas napas. Rasanya berat. ”Itu ndak benar, Nduk. Ndak usah didengarkan.” Mangun separuh berbisik. Dia tidak mau, istrinya, simboknya Kinanthi, yang sedang menidurkan Hasto di kamar mendengar obrolan itu.
”Kata Yu Sumikem, simbok suaminya banyak. Semua mati.”
”Bapak ndak mati,” potong Mangun.
Kinanti terdiam. Mangun mengelus lagi rambut anak perempuannya. ”Kita ini orang miskin, Thi. Banyak yang ngenyek, merendahkan, karena mereka punya penghidupan yang lebih baik. Biarkan saja. Tidak usah didengarkan, jangan juga dilawan.”
”Tapi, orang-orang menghina Bapak, karena Bapak tukang judi, bukan karena miskin.”
Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Kinanthi. Tidak dipikir panjang, tidak juga bermaksud mendebat. Lugu. Takarannya sama persis dengan apa yang dia dengar. Orang-orang mengatakan begitu, seperti itu juga yang ia tanyakan kepada bapaknya.
ADVERTISEMENT
”Kalau Bapak kaya, biar pun tukang judi, mereka tidak akan menghina Bapak,” jawab Mangun enteng.
”Kata Pak Guru, judi itu haram. Dosa,” kata Kinanthi ngeyel, tidak mau kalah.
Mangun masih bisa tersenyum. ”Mereka yang berbicara begitu juga ndak memberi pertolongan kepada keluarga kita, to? Cuma bisa menghina, merendahkan, tetapi ndak mau mengulurkan bantuan. Sama saja. Dosa itu namanya.”
Kinanthi sebenarnya tidak setuju. Namun, dia tidak tahu bagaimana cara membahasakan ketidaksetujuannya. Menurut batinnya, karena bapaknya tukang judilah dia jadi tidak punya teman. Karena bapaknya tukang judilah, orang-orang selalu mencibir setiap dia pergi ke langgar.
Kata Sumikem, yang kadang-kadang ikut mengajari anak-anak membaca iqro di langgar, uang haram hanya akan membuat segala hal yang dihasilkan juga ikut haram. Jika dibelikan gaplek, gapleknya jadi haram. Jika gapleknya dimakan, darah yang mengalir juga jadi tidak berkah. Kinanthi memakan apa pun yang dibawa pulang bapaknya. Karena bapaknya setiap hari berjudi, berarti apa pun yang ia bawa pulang adalah hasil judi. Berarti makanan yang ia telan semua haram. Pakaian yang dia kenakan juga haram. Jadinya, teman-teman mengaji enggan berdekat-dekat dengan Kinanthi. Takut kecipratan haram.
ADVERTISEMENT
Sekarang, karena bapaknya tukang judi, Ajuj tidak boleh lagi berteman dengan Kinanthi. Tapi, Kinanthi menahan semua itu di hati. Termasuk tentang peristiwa di tegalan dekat tlogo siang tadi. Dia tidak mau bapaknya yang sedang pening bertambah pusing.
”Kamu malu, punya bapak seperti bapakmu ini, Thi?”
Kinanthi menggelang pelan. Tidak bohong, dia sayang bapaknya yang tidak pernah marah, selalu tersenyum, dan berkata-kata lembut. Seandainya dia bukan tukang judi....
”Bagi Bapak, yang penting anak Bapak ndak malu punya bapak seperti bapakmu ini. Bapak ndak mau mendengarkan cemoohan orang. Tidak ada gunanya.”
Kinanthi diam saja. Mangun mengerti, anaknya belum puas dengan jawabannya. Mau dijawab bagaimana lagi? Dia berusaha mengalihkan perhatian hati Kinanthi. ”Kamu tahu artinya kinanthi, Nduk?”
ADVERTISEMENT
Kinanthi menggeleng.
”Kinanthi artinya pelipur lara. Obat untuk rasa sakit. Kamu itu obat rasa sakit Bapak. Kalau kamu tersenyum, Bapak sudah tidak merasakan sakit apa pun. Tidak peduli orang menyakiti Bapak, asal kamu tidak benci Bapak, rasa sakit itu hilang.”
Kinanthi tidak tahu harus berkomentar bagaimana.
”Bapak beri tahu, ya. Kinanthi itu juga salah satu tembang jawa. Tembang jawa itu banyak, sesuai dengan urut-urutan kehidupan manusia. Dari bayi sampai mati.”
Kinanthi menyimak mata bapaknya. Mencermati setiap kata-katanya. Pada saat yang sama, di luar rumah, jangkrik-jangkrik semakin ramai mengerik-ngerik. Berisik angin menginjaki dedaun pohon randu. Langit masih lengang bintang.
”Tembang pertama, namanya Maskumambang. Menggambarkan jabang bayi dalam kandungan ibunya. Mas artinya belum ketahuan apakah dia akan menjadi laki-laki atau perempuan. Sedangkan kumambang artinya hidup jabang bayi itu mengambang dalam kandungan ibunya.”
ADVERTISEMENT
Kinanthi mengangguk-angguk. Benaknya membayangkan Hasto sewaktu masih dalam perut simboknya.
”Tembang kedua, namanya Mijil. Artinya, bayi tadi sudah lahir. Sudah diketahui laki-laki atau perempuan, ”Mangun lagi-lagi mengelus rambut Kinanthi, ”selanjutnya ... tembang Kinanthi. Asalnya dari kata kanthi atau tuntun. Artinya dituntun, supaya setiap anak manusia bisa berjalan menempuh kehidupan di alam dunia.”
Kinanthi tersenyum. Bangga, namanya ternyata memiliki arti yang bahkan susah dia mengerti.
Mangun meneruskan kalimatnya, “Tembang setelah Kinanthi adalah Sinom. Artinya kanoman. Bekal untuk para remaja supaya menimba ilmu sebanyak-banyaknya.”
Mangun menyeruput kopinya untuk kali terakhir. Ampas kopi itu terasa bergerunjal di bibir. Ia menyeka butiran hitam itu dengan ujung surjannya. ”Nah, selanjutnya adalah tembang Asmarandana. Artinya rasa cinta kepada seseorang,” Mangun menoleh ke Kinanthi yang sekarang menunduk malu, ”itu sudah kodrat dari Pangeran, Gusti Allah. Semua orang pada saatnya pasti mengalami jatuh cinta.”
ADVERTISEMENT
”Gambuh adalah terusan dari Asmarandana. Asalnya dari kata jumbuh. Artinya, kalau dua orang, laki-laki dan perempuan, sudah jumbuh, cocok, sebaiknya disatukan dalam sebuah pernikahan.”
”Bapak ini. Aku masih kecil, to,” potong Kinanthi merasa tidak nyaman dengan bahasan bapaknya.
”Eh, sebentar lagi kamu sudah jadi perawan, lho, Nduk. Harus tahu,” sanggah Mangun.
”Setelah Gambuh, urutan selanjutnya adalah Dandanggula. Menggambarkan hidup seseorang yang sedang bahagia. Apa yang diingini bisa terlaksana. Punya keluarga, anak, harta yang cukup. Makanya, orang yang bombong atine, senang hatinya, dikatakan sedang ndandanggula.”
Mangun diam sebentar. Seperti ada yang dia pikirkan.
”Masih ada yang lain, Pak?”
Setengah terhenyak, Mangun tertawa kecil. Lamunannya buyar, ”Ini tembang yang sulit, Nduk. Namanya Durma. Artinya weweh atau berderma. Seharusnya, ketika seseorang sudah hidup serbacukup, akan muncul dalam hatinya keinginan untuk berbagi. Keinginan untuk menolong sesamanya yang sedang mengalami kesulitan.”
ADVERTISEMENT
Kinanthi bengong, ”Kita ndak pernah ada yang menolong, ya, Pak?”
Satire senyum Mangun menanggapi omongan Kinanthi. Mau dikomentari bagaimana? Dia hanya mengatakan apa yang dia lihat. Kesulitan hidup mengimpit tidak ada habisnya. Seperti ketika dia hanya bisa membawa pulang bethon, biji buah nangka,untuk direbus istrinya. Pengganti gaplek untuk makan sekeluarga. Tak ada gaplek, bethon pun jadi. Berhari-hari itu terjadi. Tidak pernah ada yang menolong, kecuali bang plecit, yang ujung-ujungnya mencekik.
”Setelah kita bisa bersikap durma, sebaiknya kita melakukan pungkur. Artiya menyingkir dari segala nafsu angkara murka. Hal yang dipikir adalah bagaimana menolong orang lain. Tidak lagi memikirkan kepentingan pribadi. Semua untuk orang lain. Tembangnya juga bernama Pungkur. ”
ADVERTISEMENT
”Dua tembang terakhir, namanya Megatruh dan Pocung. Megatruh artinya putus nyawa. Seseorang harus rela untuk kembali kepada Sang Pencipta, jika saatnya sudah tiba. Tembang terakhir adalah Pocung. Hidup kita akan berakhir dengan kain mori putih atau pucung kemudian dikubur.”
Sampai di sini, Kinanthi merinding. Pandangannya beralih dari pintu dan jendela. Apa pun yang berhubungan dengan pucung atau pocong, selalu membuatnya takut. Seperti juga kebanyakan anak-anak lain.
“Kamu sudah paham sekarang, Nduk?”
Kinanthi menatap bapaknya sekadarnya.
”Namamu itu penuh makna. Bagian dari perjalanan hidup manusia yang semua orang akan mengalaminya. Nama kamu bukan main-main. Kamu ndak boleh lagi minder kalau diejek teman-temanmu. Ndak usah didengar. Semua orang nantinya sama, je. Semua akan jadi pucung. Akan dikubur. Tidak peduli kaya atau miskin.”
ADVERTISEMENT
Kinanthi mengangguk, meski hatinya terantuk-antuk. Bagaimana bisa membusungkan dada, sedangkan yang dia miliki hanyalah keagungan sebuah nama?
”Ngobrol apa, to? Kok, sepertinya asyik sekali? Lupa waktu. Ini sudah malam, je.” Simboknya Kinanthi muncul di pintu. Wajahnya seperti rupa pekerja gundah yang seharian mencangkuli sawah namun tak seberapa diupah. Dia adalah kombinasi bagus terhadap sosok suaminya. Mangun begitu mudah tersenyum, perempuan ini sebaliknya. Jika Mangun suka berkata-kata lembut, bicara perempuan ini meletup-letup. Sedikit kasar, lebih sering ketus. Usianya telah melewati angka empat puluh tahun. Namun, garis keremajaan masih tersisa sedikit pada wajahnya, juga sinar matanya.
Simboknya Kinanthi dulunya kembang desa. Menikah empat kali, semua suaminya meninggal. Tidak ada yang berani menikahinya lagi, selain Mangun; bapaknya Kinanthi. Pernikahan itu terjadi belasan tahun lalu, beberapa tahun sebelum kelahiran Kinanthi. Dari pernikahan dengan Mangun, simboknya Kinanthi melahirkan dua anak: Kinanthi dan Hasto. Enam anak dari empat pernikahan sebelumnya hidup menyebar di berbagai kota. Mengadu nasib. Berita miring beredar, mereka mengerjakan usaha-usaha haram. Jadi preman, bandar judi togel, pembuat miras oplosan, bahkan melacurkan diri.
ADVERTISEMENT
”Ini, Mbokne. Kinanthi pengin tahu tentang tembang-tembang Jawa.” Bapaknya Kinanthi menggeser lagi letak duduknya. Simboknya Kinanthi tidak lantas duduk di situ.
”Sudah malam. Kamu besok sekolah, to, Thi. Sana tidur.”
Tidak menunggu dua kali disuruh, Kinanthi menuruti perintah simboknya. Dia bergegas turun dari dipan dan masuk rumah. Rumah reyot berdinding papan dan gedhek. Cuma ada dua ruangan. Ruang tengah diisi lemari tua dan dan dipan bambu. Ruang satunya kamar tidur yang digunakan bersama-sama satu keluarga.