Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bikin Pening Dibanding Blackpink (Bagian 1)
13 Desember 2018 14:05 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Tasaro Gk Penulis Novel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Anak perempuan saya yang baru saja genap 7 tahun menyeletuk sembari bermain pasir warna-warni, “Abah, Dae mau nonton Blackpink.”
ADVERTISEMENT
Saya tak terlalu yakin apa yang dia maksud. “Blackpink itu apa, Sayang?”
“Itu, yang shopping-shopping.”
Sehari kemudian, nama Maimon Herawati bersliweran di lini masa media sosial dan beberapa berita media massa. Benang merahnya sama: Blackpink.
Saya pernah berinteraksi dengan Mbak Maimon pada masa lalu dan sedikit mengenal idealismenya. Saya terinspirasi buku-buku yang ia tulis, ikut mengurus beberapa judul di penerbit tempat saya dulu bekerja, dan berbincang intens bertahun-tahun setelah itu ketika ia pulang dari bersekolah di luar negeri.
Saya sedikit mengerti apa yang ia perjuangkan dan kagum dengan keteguhan tekadnya untuk membela sesuatu yang dianggap sebuah kebenaran. Dia sama sekali bukan sosok yang layak Anda musuhi.
Saya berbeda pendapat dengan Mbak Maimon dalam beberapa hal, pernah sangat tajam, tapi itu tidak membuat saya kehilangan rasa hormat saya kepadanya sebagai penulis, pendidik, dan aktivis dakwah. Dia ikut melahirkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang sangat menjadi alasan mengapa kemudian saya menjadi seorang penulis.
Meski saya akhirnya ke luar, secara organisasi, dari komunitas hebat itu, saya tidak akan bohong bahwa spirit saya menulis masih sama dengan ketika kali pertama saya belajar di FLP dan merasa tidak pernah ke luar dari norma menulisnya. Ya, tentu saja beberapa orang, mungkin agak banyak, tidak setuju dengan pendapat saya itu.
ADVERTISEMENT
Mereka beranggapan cara bercerita saya sudah terlalu nyeleneh, bahkan menelikung dakwah. Itu tidak terlalu saya pikirkan.
Hal yang coba saya sampaikan adalah saya sedikit lebih mengenal Mbak Maimon dibanding sekian ribu orang yang meneken petisi ‘Usir Maimon Herawati’ itu. Jika Anda termasuk penanda tangan petisi itu, dan dengan apa yang saya sampaikan tidak setuju, saya akan membela Mbak Maimon dalam batasan tertentu.
Anda sudah merasa bagaimana, kok, yakin sekali punya hak mengusir sesama anak bangsa dari Indonesia? Apalagi, alasannya hanya karena seorang Maimon Herawati berhasil membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merekomendasikan iklan Blackpink berhenti tayang di berbagai stasiun TV.
Bahwa Anda beda pendapat, Anda harus percaya diri, cara berpikir Anda, referensi Anda, cara Anda menyampaikan pendapat cukup ilmiah untuk mendebatnya. Bukan sekadar merasa berhak mengusir seseorang dari negeri yang lebih butuh kerja nyata dibanding provokasi itu ini.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri sewaktu tahu ada petisi untuk menuntut iklan Blackpink turun dari layar TV agak-agak penasaran. Apakah penyebabnya? Berbagai media massa, termasuk kumparan memberitakan peristiwa saling lempar petisi terkait hal ini.
Sejak Maimon menggalang petisi penghentian iklan, disahut dengan petisi ‘Usir Maimon Herawati dari Indonesia’ dilanjut petisi yang berbunyi sebaliknya. Nama Presiden Jokowi pun ditaut-tautkan membuat konteksnya semakin meleset. Lembaga Sensor Film sudah memastikan iklan itu lolos sensor untuk penonton berusia 13 tahun ke atas.
Ya, tentu kita tahu masalahnya bukan itu. Sama saja film Suzzana yang diperuntukkan bagi dewasa tapi ditonton anak-anak TK.
Namun, saya sungguh-sungguh heran, sebelumnya. Sebenarnya, yang disasar petisi itu apa?
Tunggu, tunggu, saya akan menjelaskannya. Jangan buru-buru berpraduga.
ADVERTISEMENT
Kelompok penyanyi Korea, perempuan terutama, setahu saya gaya menyanyinya memang begitu, kostumnya selalu begitu. Hal semacam ini sudah berlangsung lama, saya kira. Saya mencari tahu, apakah karena rok mininya hingga mereka layak dihentikan penampakannya?
Eh, tapi, bahkan iklan sampo Agnez Mo pun beda-beda tipis, saya kira. Agnez beradegan konser di atas panggung dengan rok sangat minim dan saya belum mendengar protes perihal penampilannya itu. Juga beberapa penyanyi lain, duo ini itu, trio ini itu, asli Indonesia, pakaian dan gaya panggungnya, bagi saya, kok, tidak jauh beda dengan Blackpink tapi mereka tidak tersandung petisi apa pun.
Jadi apa masalahnya?
Oh, setelah saya pikir-pikir, kok, saya khawatir, masalahnya justru ada pada saya.
ADVERTISEMENT
Ya, saya menganggap biasa sesuatu karena selama bertahun-tahun melihatnya sebagai hal yang biasa sehingga kepekaan norma saya berkurang. Apa itu yang terjadi juga dengan sebagian orang. Mungkin termasuk Anda?
Sebagai contoh. Sejak jadi murid SD, saya maniak tenis. Belum pernah bermain tenis satu gim pun, tetapi tidak pernah absen mengikuti setiap musim tenis yang dimulai Januari hingga November, setiap tahun. Kalender tenis pria (ATP) dan wanita (WTA) selalu saya ikuti.
Jika sedang beruntung, sepanjang tahun saya menonton pertandingan pada empat Grand Slam yang jumlahnya puluhan partai. Terutama jika Roger Federer, Rafael Nadal, Maria Sharapova, Serena Williams, Belinda Bencic bermain. Saya bisa menerangkan pukulan khas setiap pemain top 10 dunia kepada Anda, sedangkan Anda sama sekali tidak tertarik mendengarkannya.
ADVERTISEMENT
Sedari Yayuk Basuki berpasangan dengan Nana Miyagi dan Andre Agasi memakai rambut palsu yang dikucir, saya sudah menonton tenis. Emosi di dalam tenis susah saya ceritakan karena saya lebih pandai menikmatinya.
Terutama pada kelompok putri, kostum para pemain mungkin membuat Anda berpikir fans tenis semacam saya menonton pertandingan lebih karena tertarik dengan pakaian mereka, teriakan mereka, dibanding benar-benar memerhatikan duel pukulan mereka. Jika Anda sesekali melongok tenis putri, Anda tahu dari tahun ke tahun pakaian mereka semakin mengerut saja.
Akan tetapi, satu-satunya perempuan yang saya berkewajiban menerangkan kepada dia perihal ini, sudah ‘khatam’ memahami kegilaan saya terhadap tenis. Ya, istri saya tidak pernah kuat menemani saya menonton tenis berjam-jam dan selalu memihak lawan petenis favorit saya setiap waktu, tetapi dia sama sekali tidak pernah curiga saya ke luar fokus dari pertandingan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Saya sekarang berpikir, jangan-jangan itu yang terjadi. Bertahun-tahun saya berpikir biasa saja dengan perempuan berpakaian ‘minim’, sehingga ketika iklan Blackpink bersliweran, saya tak lagi merasa biasa-biasa saja?
Pula, karena alasan ‘sok berkualitas’ saya tak lagi menonton sinetron Indonesia dan setiap sempat saya hanya menonton serial-serial Barat, kepekaan itu semakin lumutan?
Bahkan, dalam film Winnie The Pooh, yang jelas-jelas diperuntukkan bagi semua umur pun, Anda akan menemukan adegan suami istri berkecupan. Itu tidak akan menemukannya di layar televisi nasional, bukan?
Itu berlaku juga bagi Anda yang biasa mengunduh drama Korea, yang mau seimut apa pun ceritanya, tetap ada adegan kemesraan pasangan belum menikah yang masuk ke penglihatan Anda, mendekam dalam alam bawah sadar Anda.
ADVERTISEMENT
Belum lagi tema LGBT yang jika Anda perhatikan, selalu eksis di tontonan mana pun. Mulai dari serial profesor kriminal di How to Get Away with Murder sampai serial pemadam kebakaran 911.
Kadang betul-betul tidak masuk akal, sekadar mengakomodasi sebagai partisipasi demokrasi. Anda tentu tahu bahkan pada film segala umur Beauty and The Beast pun memiliki karakter LGBT.
Lalu, adegan itu bertahun-tahun Anda tonton, Anda rasa biasa, tidak ada masalah di sana, jauh kok, dari kehidupan Anda. Sampai kemudian Anda lupa, Andalah yang berubah, bukan orang lain. Mereka yang tidak biasa dengan tayangan semacam itu, mereka yang memiliki keteguhan standar norma dan agama yang spesifik, akan menolaknya.
Penanda tangan petisi “Usir Maimon Herawati dari Indonesia” itu mungkin sama dengan saya. Mereka susah mengerti, apa yang sebenarnya dipermasalahkan orang-orang? Mereka menganggap orang-orang yang beda dengan mereka bermasalah padahal bisa jadi mereka, juga saya, yang bermasalah.
ADVERTISEMENT
Pada titik tertentu, akhirnya saya tetap merasa apa yang ditempuh Mbak Maimon memang harus dilakukan. Bukan buat saya, Anda, atau orang-orang yang bertumbuh pada dekade yang sama. Namun, untuk anak-anak kita. Agar mereka tidak jadi ‘terbiasa’ semacam kita.
Saya hanya berpikir kemudian bahwa, kepekaan ini tidak boleh berhenti pada Blackpink. Sebab, ada yang lebih membikin pening dibanding Blackpink. Ada yang bagi saya jaaaauh lebih berbahaya dibanding dampak repetisi reff “Black Pink!” dan tarian mereka.
Hal yang saya maksud sudah ada di rumah Anda, sudah dikonsumsi anak-anak Anda, setiap hari, sedangkan Anda sama sekali tidak curiga.